MB.com, Wisata --- Hari berbilang cukup pagi ketika kaki
melangkah di tanjakan super terjal menuju Candi Cetho. Ojekku tak cukup
kuat menapakinya, padahal sudah tukar abang ojek plus motornya di tengah
perjalanan sebelumnya karena ojek default-ku sudah menyerah dengan
medan tanjakannya. Masih untung pemandangan kebun teh menghampar cantik
mengobati kegondokan hati akibat buruknya servis ojek. Dua temanku yang
berangkat bersama dari terminal Tirtonadi; Adhi dan Shopie, sudah lebih
dahulu bergabung bersama dua belas anggota team kami di dalam basecamp
pendakian. Hanya berjeda tak sampai sepuluh menit, barangkali. Kuucapkan
salam memasuki basecamp, malu-malu menyapa anggota team yang baru
kukenal; Duo Arif, Anto, Galuh, Yungky, Zee, Alex dan Johan. Selebihnya
Dhanny, Nina, Lia, Peppy sudah menjadi pemain lama di hadapanku.
Terharu. Mereka sudah mempersiapkan sarapan
untuk kami bertiga, padahal aku sudah membeli nasi pecel seharga Rp.
5000,00 per bungkus di Pasar Karangpandan tadi. Isinya? Sudah sangat
lengkap, nasi segambreng dengan telur bulat, pecel khas daerah Solo dan
sekitarnya dengan varian gendar basah (semacem lontong, tapi ndak
dibungkus dan lebih kenyal, bahannya dari nasi yang diolah dengan garam.
Kalau versi keringnya kita biasa jumpai menjadi produk kerupuk puli,
dalam nama lain karak atau gendar). Untukku yang terbiasa hidup di Kota
Surabaya, harga lima ribu rupiah dengan porsi seperti ini sudah sangat
terbilang murah pakai banget.
Breakfast session is done. Kami berkemas,
nasi bungkus tetap terangkut, setidaknya masih bisa dimakan untuk nanti
siang, meninggalkan Basecamp Candi Cetho yang mulai ramai dikunjungi
peziarah menyambut nyepi esok hari. Udara sejuk menyapa. Puncak Hargo
Dumilah terpampang di depan mata. Kami memulai langkah, meniti pelataran
Candi Cetho dengan serak bebatuan arca yang tertata entah mengikuti
pola apa. Belakangan baru aku tersadar, ternyata lambang lingga-yoni
terhampar ketika kita melihatnya dari atas.
lingga yoni
Dan perjalanan kami berlalu dalam hitungan jam. Lelah? Tentu saja.
Kapok? Selalu menghampiri ketika mendaki, tetapi jeda satu minggu sudah
lupa dan selalu ingin mendaki lagi. Pos I, Pos II, Pos III dilalui
dengan tawa dan senda gurau di antara tarikan nafas yang terengah.
Nutrijel, nutrisari, manisan buah ciremai menjadi pelengkap logistik
kami sepanjang pendakian.
pos II
“Nanti di Pos II kita bongkar kompor dan
nesting buat bikin teh hangat.” kalimat ini seolah menjadi penyemangat
kami untuk segera mencapai Pos II. Sederhana, tetapi pendakian selalu
mengingatkanku mensyukuri hal-hal kecil yang lebih sering terlupa.
Bahkan untuk sekedar mendapatkan secangkir teh hangat yang minumnya pun
harus berbagi tetap membutuhkan perjuangan lebih.
Pos IV hanya menyisakan sepetak lahan kecil
yang sepertinya tidak mencukupi untuk mendirikan tenda untuk menampung
anggota team kami. Sebuah shelter alakadarnya yang hanya cukup menampung
empat orang dengan ketinggian atap minimalis, hanya bisa diakses dalam
posisi duduk lesehan, juga tidak akan cukup membantu. Menurut informasi
Dhanny selaku komandan team ini, perjalanan kami menuju warung “Mbok
Yem”, pos terakhir sebelum puncak masih sangat jauh. Jalur Candi Cetho
adalah trek pendakian Lawu yang terpanjang dibanding jalur Cemoro Sewu
maupun Cemoro Kandang. Sementara terang langit sudah mulai menyisakan
kelabu oleh kabut, terlebih karena waktu maghrib sudah menghampiri.
Dhanny memandu kami untuk tetap berjalan sampai batas titik lelah.
Hujan yang semakin menderas menjadi
tantangan lebih untuk laju langkah kaki. Dingin semakin menjadi ketika
pekat malam benar-benar menjadi perangkap. Tidak semua peserta membawa
headlamp atau senter, dua tiga orang harus berjalan dan berbagi dengan
satu alat penerangan. Team mulai terpisah-pisah. Aku di depan masih
bersama Peppy dan beberapa teman, ketika sampai pada site dengan kontur
cukup datar, hampir saja kami memutuskan untuk membuka tenda, sayangnya
sudah ada beberapa tenda tereksisting. Aku dan Peppy berunding cepat,
menurutnya, setelah ini akan bertemu padang savana dengan pilihan tempat
mendirikan tenda yang lebih banyak. Jadi kami pun memutuskan untuk
meneruskan perjalanan. Ternyata setelah ini, jalur masih jauh dari
bersahabat, berkontur tajam, naik-turun tanpa lahan datar yang bisa
dipilih untuk membuka tenda.
Dhanny pada posisi sweper ternyata
tertinggal jauh dari rombonganku di depan. Kami beberapa kali berhenti
supaya tidak terpisah jauh. Aku tak kuat menahan dingin ketika berhenti
terlalu lama, ancaman hypothermia membayangiku. Kaku, lemas, dan seolah
energi merosot begitu saja. Posisiku kini benar-benar berada di depan,
bergerak perlahan untuk mengusir dingin, sembari tetap memperhatikan
kerlip headlamp di belakangku untuk menjaga jarak. Tak urung keputusanku
ini membuat Adhi menegurku tegas untuk berhenti menanti seluruh anggota
team terkumpul. Aku menurut dan dihinggapi rasa bersalah, menahan
dingin yang menusuk. Tidak hanya aku, semua juga berjibaku dengan hawa
dingin. Dhanny tak bisa menyembunyikan emosinya ketika team kami utuh
berkumpul. Sedikit rasa kesal membuatnya enggan untuk memberi masukan
dimana sebaiknya kami membuka tenda. Aroma savana sudah di depan mata,
tetapi contour site masih belum cukup datar untuk nenda. Cukup lama kami
dilanda kegalauan karena Adhi dan beberapa teman mencoba mengexplore
area sekitar, mencari tempat datar dengan bantuan penerangan yang sangat
minimal. Sampai akhirnya, Dhanny kembali memandu kami, meneruskan
sedikit langkah, dan bertemu lembah dengan plank bertuliskan Pos 5.
Alhamdulillah, meski dingin luar biasa,
teman-teman cowok berhasil mendirikan flysheet besar dengan perkuatan
dua kayu yang tertancap di tanah, sisa pendaki sebelum kami. Hujan
semakin menderas, lebih dari dua jam ke depan kami masih harus bertahan
meringkuk di dalam flysheet karena tenda beberapa kali gagal didirikan.
Rasanya tidak tega membiarkan teman-teman
cowok berjibaku di bawah hujan. Tapi membantunya pun aku ditolak tegas
oleh Adhi. Kami coba menyalakan kompor, ternyata ada sedikit masalah,
dan Adhi menjanjikan nanti akan diurus setelah shelter selesai. Aku pun
hanya diam, tidak mau menambah masalah menjadi semakin rumit. Beruntung
ada trangia yang bisa kugunakan untuk menjerang air. Minuman hangat pun
tersaji sedikit mengurangi hawa dingin yang mendominasi.
Perlahan hujan mereda, kami berhasil
mendirikan keempat tenda kami. Teman-teman sudah mengganti baju basahnya
dengan yang kering dan hangat. Adhi dan Peppy mulai ribut soal kompor
yang nggak bisa-bisa dinyalakan. Aku membantu sekedar memotong sayuran.
Dan ketika makan malam siap, aku sudah enggan keluar tenda, memilih
terlelap, mencoba mengusir dingin dengan berbalut sleeping bag.
hutan cemara pos 5
Semalaman dingin tidak terusir sempurna
meski berbalut kantong tidur. Tempat kami ngecamp, konon adalah medan
pertempuran Prabu Brawijaya, ketika dalam masa pelarian dikejar anaknya
sendiri Raden Patah karena perbedaan akidah sekaligus pengejaran oleh
pasukan Adipati Cepu, sebuah hamparan lembah yang hembusan anginnya siap
membekukan raga. Sungguhan! Yang namanya Gunung Lawu itu dinginnya
lebih-lebih ketimbang gunung lain dengan ketinggian setara.
Berkas matahari pagi sangat membantu kami
mengusir hawa dingin. Sinarnya menampakkan keindahan hamparan hutan
cemara yang mengelilingi area camp pos 5, berimbang dengan vegetasi
savana. Setelah sarapan dan acara menjemur berapa benda basah imbas
kehujanan semalam, kami mengemasi tenda dan segala property pendakian.
the team
Perjalanan pendakian masih melintas hamparan savana luas sejauh mata
memandang. Puncak Hargo Dumilah beberapa kali terlihat. Aku sempat
meminta izin untuk membuang sampah perut, sementara teman-teman asik
berfoto berlatar savana selama menungguku. Kubangan air yang cukup besar
menarik perhatian kami untuk kembali berfoto. Refleksi awan di atas air
tampak indah, kontras dengan biru langit yang setia menaungi segala
keindahan, mengobati setiap lelah yang menyapa langkah. Tempat ini
bernama Tapak Menjangan, sebuah lembah yang menyimpan cadangan minuman
untuk satwa (Menjangan) yang biasa melintas. Kusempatkan mencicipi
kandungan airnya. Dingin dan segar meskipun sebagian besar merupakan air
tampungan hujan. Sepintas, aku masih membayangkan pertempuran Prabu
Brawijaya dengan Raden Patah, atau dengan pasukan Adipati Cepu yang
mengejarnya di tempat selapang ini seperti di film-film kolosal.
meninggalkan jejak di tapak menjangan
Cantigi dan Edelweis, duet komposisi
vegetasi selain savana dan cemara yang menemani kami meniti tanjakan.
Hingga tanpa terasa, kami tiba di Hargo Dalem, sebuah bangunan sederhana
yang dipercaya sebagai tempat moksa Sang Prabu. Level Hargo Dalem ini
sejajar dengan Warung Mbok Yem, yang selama ini seolah sebagai tempat
destinasi segala bentuk pemenuhan kebutuhan akan makanan, justru
mengecewakan karena semua jajanan kadung sold out, hanya tersedia mie
instant dan teh. Kalau dua jenis itu sih kami juga juga sudah sangu,
Mbok!
Dhanny tidak mengizinkan anggota
teamnya mendaki hingga Puncak Hargodumilah, katanya, nanti waktu
turunnya terlalu sore, ada baiknya memilih supaya tidak terperangkap
oleh gelap. Aku menurut meski sedikit kecewa karena target mencapai
pucak harus dilepas, apalagi setelah semalam sudah dianggap membangkang
karena berjalan terlalu cepat meninggalkan rombongan. Tetapi aku selalu
paham untuk menghormati dan mendukung keputusan orang yang sudah kita
anut kepemimpinannya, selama masih di jalan kebenaran. Karena muncak
sendiri jelas bukan pilihan tepat, meskipun kondisi pendakian cukup
ramai, kecil kemungkinan tersesat, dan berbagai spekulasi positif
lainnya. Tapi bukankah sudah banyak korban di gunung yang cedera dan
bahkan kehilangan nyawa karena lalai meninggalkan kelompoknya? Aku lebih
memilih opsi safeplay, dan menganggap Allah belum menurunkan ridho
untukku menapak Hargo Dumilah. Toh setiap pendakian, terlepas muncak
atau enggak, selalu menyimpan cerita dan kenangan tersendiri, bukan?
titik tertinggi (versi kami)
Kami sempat berhenti beristirahat di dekat Sendang Drajat, mata air yang
sepertinya cukup ‘Sakral’ keberadaannya di Gunung Lawu. Menyapa ramah
setiap pendaki yang melintas, menunggu giliran Sholat dan menikmati
minuman hangat.
telaga sarangan dilihat dari ketinggian
Kakiku
melangkah mantap, menapak pijakan curam, turunan berbatu, yang tak
henti-henti menyiksa persendian lutut. Arak-arak mega mengiring
perjalanan, hamparan perbukitan membentuk komposisi refleksi biru Telaga
Sarangan yang siap menjadi pelipur lelah perjalanan.
Tiba di pos 1, Cemoro Sewu, kumandang adzan
Magrib terdengar dari pengeras suara desa di bawah sana. Aku semakin
bersemangat melanjutkan langkah, menyambut jajan pentol sederhana dan
segelas teh hangat yang terasa begitu istimewa, menjadi penawar lelah
selepas mendaki. Dan perjalanan melarung rindu ini pun terpenuhi.
[Endah Lestariati]