Logo

Logo
Latest News
Wednesday, September 24, 2014

Lawu, Episode Mendaki Melarung Rindu


MB.com, Wisata --- Hari berbilang cukup pagi ketika kaki melangkah di tanjakan super terjal menuju Candi Cetho. Ojekku tak cukup kuat menapakinya, padahal sudah tukar abang ojek plus motornya di tengah perjalanan sebelumnya karena ojek default-ku sudah menyerah dengan medan tanjakannya. Masih untung pemandangan kebun teh menghampar cantik mengobati kegondokan hati akibat buruknya servis ojek. Dua temanku yang berangkat bersama dari terminal Tirtonadi; Adhi dan Shopie, sudah lebih dahulu bergabung bersama dua belas anggota team kami di dalam basecamp pendakian. Hanya berjeda tak sampai sepuluh menit, barangkali. Kuucapkan salam memasuki basecamp, malu-malu menyapa anggota team yang baru kukenal; Duo Arif, Anto, Galuh, Yungky, Zee, Alex dan Johan. Selebihnya Dhanny, Nina, Lia, Peppy sudah menjadi pemain lama di hadapanku.

Terharu. Mereka sudah mempersiapkan sarapan untuk kami bertiga, padahal aku sudah membeli nasi pecel seharga Rp. 5000,00 per bungkus di Pasar Karangpandan tadi. Isinya? Sudah sangat lengkap, nasi segambreng dengan telur bulat, pecel khas daerah Solo dan sekitarnya dengan varian gendar basah (semacem lontong, tapi ndak dibungkus dan lebih kenyal, bahannya dari nasi yang diolah dengan garam. Kalau versi keringnya kita biasa jumpai menjadi produk kerupuk puli, dalam nama lain karak atau gendar). Untukku yang terbiasa hidup di Kota Surabaya, harga lima ribu rupiah dengan porsi seperti ini sudah sangat terbilang murah pakai banget.

Breakfast session is done. Kami berkemas, nasi bungkus tetap terangkut, setidaknya masih bisa dimakan untuk nanti siang, meninggalkan Basecamp Candi Cetho yang mulai ramai dikunjungi peziarah menyambut nyepi esok hari. Udara sejuk menyapa. Puncak Hargo Dumilah terpampang di depan mata. Kami memulai langkah, meniti pelataran Candi Cetho dengan serak bebatuan arca yang tertata entah mengikuti pola apa. Belakangan baru aku tersadar, ternyata lambang lingga-yoni terhampar ketika kita melihatnya dari atas.

 lingga yoni

 Dan perjalanan kami berlalu dalam hitungan jam. Lelah? Tentu saja. Kapok? Selalu menghampiri ketika mendaki, tetapi jeda satu minggu sudah lupa dan selalu ingin mendaki lagi. Pos I, Pos II, Pos III dilalui dengan tawa dan senda gurau di antara tarikan nafas yang terengah. Nutrijel, nutrisari, manisan buah ciremai menjadi pelengkap logistik kami sepanjang pendakian.

 pos II

“Nanti di Pos II kita bongkar kompor dan nesting buat bikin teh hangat.” kalimat ini seolah menjadi penyemangat kami untuk segera mencapai Pos II. Sederhana, tetapi pendakian selalu mengingatkanku mensyukuri hal-hal kecil yang lebih sering terlupa. Bahkan untuk sekedar mendapatkan secangkir teh hangat yang minumnya pun harus berbagi tetap membutuhkan perjuangan lebih.

Pos IV hanya menyisakan sepetak lahan kecil yang sepertinya tidak mencukupi untuk mendirikan tenda untuk menampung anggota team kami. Sebuah shelter alakadarnya yang hanya cukup menampung empat orang dengan ketinggian atap minimalis, hanya bisa diakses dalam posisi duduk lesehan, juga tidak akan cukup membantu. Menurut informasi Dhanny selaku komandan team ini, perjalanan kami menuju warung “Mbok Yem”, pos terakhir sebelum puncak masih sangat jauh. Jalur Candi Cetho adalah trek pendakian Lawu yang terpanjang dibanding jalur Cemoro Sewu maupun Cemoro Kandang. Sementara terang langit sudah mulai menyisakan kelabu oleh kabut, terlebih karena waktu maghrib sudah menghampiri. Dhanny memandu kami untuk tetap berjalan sampai batas titik lelah.

Hujan yang semakin menderas menjadi tantangan lebih untuk laju langkah kaki. Dingin semakin menjadi ketika pekat malam benar-benar menjadi perangkap. Tidak semua peserta membawa headlamp atau senter, dua tiga orang harus berjalan dan berbagi dengan satu alat penerangan. Team mulai terpisah-pisah. Aku di depan masih bersama Peppy dan beberapa teman, ketika sampai pada site dengan kontur cukup datar, hampir saja kami memutuskan untuk membuka tenda, sayangnya sudah ada beberapa tenda tereksisting. Aku dan Peppy berunding cepat, menurutnya, setelah ini akan bertemu padang savana dengan pilihan tempat mendirikan tenda yang lebih banyak. Jadi kami pun memutuskan untuk meneruskan perjalanan. Ternyata setelah ini, jalur masih jauh dari bersahabat, berkontur tajam, naik-turun tanpa lahan datar yang bisa dipilih untuk membuka tenda.
Dhanny pada posisi sweper ternyata tertinggal jauh dari rombonganku di depan. Kami beberapa kali berhenti supaya tidak terpisah jauh. Aku tak kuat menahan dingin ketika berhenti terlalu lama, ancaman hypothermia membayangiku. Kaku, lemas, dan seolah energi merosot begitu saja. Posisiku kini benar-benar berada di depan, bergerak perlahan untuk mengusir dingin, sembari tetap memperhatikan kerlip headlamp di belakangku untuk menjaga jarak. Tak urung keputusanku ini membuat Adhi menegurku tegas untuk berhenti menanti seluruh anggota team terkumpul. Aku menurut dan dihinggapi rasa bersalah, menahan dingin yang menusuk. Tidak hanya aku, semua juga berjibaku dengan hawa dingin. Dhanny tak bisa menyembunyikan emosinya ketika team kami utuh berkumpul. Sedikit rasa kesal membuatnya enggan untuk memberi masukan dimana sebaiknya kami membuka tenda. Aroma savana sudah di depan mata, tetapi contour site masih belum cukup datar untuk nenda. Cukup lama kami dilanda kegalauan karena Adhi dan beberapa teman mencoba mengexplore area sekitar, mencari tempat datar dengan bantuan penerangan yang sangat minimal. Sampai akhirnya, Dhanny kembali memandu kami, meneruskan sedikit langkah, dan bertemu lembah dengan plank bertuliskan Pos 5.

Alhamdulillah, meski dingin luar biasa, teman-teman cowok berhasil mendirikan flysheet besar dengan perkuatan dua kayu yang tertancap di tanah, sisa pendaki sebelum kami. Hujan semakin menderas, lebih dari dua jam ke depan kami masih harus bertahan meringkuk di dalam flysheet karena tenda beberapa kali gagal didirikan.

Rasanya tidak tega membiarkan teman-teman cowok berjibaku di bawah hujan. Tapi membantunya pun aku ditolak tegas oleh Adhi. Kami coba menyalakan kompor, ternyata ada sedikit masalah, dan Adhi menjanjikan nanti akan diurus setelah shelter selesai. Aku pun hanya diam, tidak mau menambah masalah menjadi semakin rumit. Beruntung ada trangia yang bisa kugunakan untuk menjerang air. Minuman hangat pun tersaji sedikit mengurangi hawa dingin yang mendominasi.
Perlahan hujan mereda, kami berhasil mendirikan keempat tenda kami. Teman-teman sudah mengganti baju basahnya dengan yang kering dan hangat. Adhi dan Peppy mulai ribut soal kompor yang nggak bisa-bisa dinyalakan. Aku membantu sekedar memotong sayuran. Dan ketika makan malam siap, aku sudah enggan keluar tenda, memilih terlelap, mencoba mengusir dingin dengan berbalut sleeping bag.

 hutan cemara pos 5

Semalaman dingin tidak terusir sempurna meski berbalut kantong tidur. Tempat kami ngecamp, konon adalah medan pertempuran Prabu Brawijaya, ketika dalam masa pelarian dikejar anaknya sendiri Raden Patah karena perbedaan akidah sekaligus pengejaran oleh pasukan Adipati Cepu, sebuah hamparan lembah yang hembusan anginnya siap membekukan raga. Sungguhan! Yang namanya Gunung Lawu itu dinginnya lebih-lebih ketimbang gunung lain dengan ketinggian setara.
Berkas matahari pagi sangat membantu kami mengusir hawa dingin. Sinarnya menampakkan keindahan hamparan hutan cemara yang mengelilingi area camp pos 5, berimbang dengan vegetasi savana. Setelah sarapan dan acara menjemur berapa benda basah imbas kehujanan semalam, kami mengemasi tenda dan segala property pendakian.

 the team

Perjalanan pendakian masih melintas hamparan savana luas sejauh mata memandang. Puncak Hargo Dumilah beberapa kali terlihat. Aku sempat meminta izin untuk membuang sampah perut, sementara teman-teman asik berfoto berlatar savana selama menungguku. Kubangan air yang cukup besar menarik perhatian kami untuk kembali berfoto. Refleksi awan di atas air tampak indah, kontras dengan biru langit yang setia menaungi segala keindahan, mengobati setiap lelah yang menyapa langkah. Tempat ini bernama Tapak Menjangan, sebuah lembah yang menyimpan cadangan minuman untuk satwa (Menjangan) yang biasa melintas. Kusempatkan mencicipi kandungan airnya. Dingin dan segar meskipun sebagian besar merupakan air tampungan hujan. Sepintas, aku masih membayangkan pertempuran Prabu Brawijaya dengan Raden Patah, atau dengan pasukan Adipati Cepu yang mengejarnya di tempat selapang ini seperti di film-film kolosal.
 
 meninggalkan jejak di tapak menjangan

Cantigi dan Edelweis, duet komposisi vegetasi selain savana dan cemara yang menemani kami meniti tanjakan. Hingga tanpa terasa, kami tiba di Hargo Dalem, sebuah bangunan sederhana yang dipercaya sebagai tempat moksa Sang Prabu. Level Hargo Dalem ini sejajar dengan Warung Mbok Yem, yang selama ini seolah sebagai tempat destinasi segala bentuk pemenuhan kebutuhan akan makanan, justru mengecewakan karena semua jajanan kadung sold out, hanya tersedia mie instant dan teh. Kalau dua jenis itu sih kami juga juga sudah sangu, Mbok!

Dhanny tidak mengizinkan anggota teamnya mendaki hingga Puncak Hargodumilah, katanya, nanti waktu turunnya terlalu sore, ada baiknya memilih supaya tidak terperangkap oleh gelap. Aku menurut meski sedikit kecewa karena target mencapai pucak harus dilepas, apalagi setelah semalam sudah dianggap membangkang karena berjalan terlalu cepat meninggalkan rombongan. Tetapi aku selalu paham untuk menghormati dan mendukung keputusan orang yang sudah kita anut kepemimpinannya, selama masih di jalan kebenaran. Karena muncak sendiri jelas bukan pilihan tepat, meskipun kondisi pendakian cukup ramai, kecil kemungkinan tersesat, dan berbagai spekulasi positif lainnya. Tapi bukankah sudah banyak korban di gunung yang cedera dan bahkan kehilangan nyawa karena lalai meninggalkan kelompoknya? Aku lebih memilih opsi safeplay, dan menganggap Allah belum menurunkan ridho untukku menapak Hargo Dumilah. Toh setiap pendakian, terlepas muncak atau enggak, selalu menyimpan cerita dan kenangan tersendiri, bukan?

 titik tertinggi (versi kami)

 Kami sempat berhenti beristirahat di dekat Sendang Drajat, mata air yang sepertinya cukup ‘Sakral’ keberadaannya di Gunung Lawu. Menyapa ramah setiap pendaki yang melintas, menunggu giliran Sholat dan menikmati minuman hangat.

 telaga sarangan dilihat dari ketinggian

Kakiku melangkah mantap, menapak pijakan curam, turunan berbatu, yang tak henti-henti menyiksa persendian lutut. Arak-arak mega mengiring perjalanan, hamparan perbukitan membentuk komposisi refleksi biru Telaga Sarangan yang siap menjadi pelipur lelah perjalanan.

Tiba di pos 1, Cemoro Sewu, kumandang adzan Magrib terdengar dari pengeras suara desa di bawah sana. Aku semakin bersemangat melanjutkan langkah, menyambut jajan pentol sederhana dan segelas teh hangat yang terasa begitu istimewa, menjadi penawar lelah selepas mendaki. Dan perjalanan melarung rindu ini pun terpenuhi.

[Endah Lestariati]
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Lawu, Episode Mendaki Melarung Rindu Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi