MB.com, Filsafat -- Mungkin bukan karakternya seekor monyet dengan
sabar menunggu dan tak terusik buah jambu yang berjatuhan ketika sore
sehabis hujan. Yeahhh….mungkin ada pula yang namanya monyet “terpilih”.
Ceriteranya si Monyet mendapat “bisikan” yang kurang lebih begini ; Jika kamu ingin berkuasa maka mendekat dan berbuat baik kepada yang memegang kekuasaan. Bisikan
sepertinya sekian lama terngiang ngiang di “hati” si monyet dalam
kelana hidupnya.
Suatu ketika Si Monyet menyaksikan seorang kakek yang
duduk dibawah pohon jambu. Segeralah si monyet teringat dengan bisikan tadi. “Nah ini dia,
pasti si kakek adalah penguasa pohon jambu ini”. Lantas si monyet
mendekat secara perlahan dan ia mengabaikan buah jambu segar yang
berjatuhan berserakan. Sedemikan sabarnya tidak ada buah jambu yang
mampu menggoda “kerakusan” si monyet. Sikapnya yang sabar dan terus
memperhatikan si kakek tanpa menggangu sedikitpun berhasil mendapatkan
perhatian si Kakek untuk “berdialog” dengan si Monyet.
Monyet : Tidak tuan kakek, saya sehat sehat saja.
Kakek : Mengapa kamu tidak memakan jambu ini.
Monyet : Saya tidak mau memakan jambu karena kakek tidak memberikannya.
Kakek : Monyet kok perlu ijin untuk makan jambu, tidak seperti umumnya monyet……
Si Monyet segera menyanggah sebelum si kakek meneruskan perkataanya. Anda tentu bisa menebak, manusia selalu member stigma bahwa yang namanya bangsa Monyet suka mencuri dan rakus.
Monyet : Mohon maaf kakek..saya tidak seperti umumnya monyet. Samalah seperti juga manusia memang banyak juga yang suka………..mohon maaf kakek saya tidak mau meneruskan kata kata saya.
Kakek: He he he katakan saja aku rapopo….kamu mau mengatakan apa?
Monyet : Saya tidak pernan mikir, tetapi saya adalah…….Monyet yang “terpilih”.
Kakek terkekeh dalam hatinya….He he he lucu jaman reformasi memang macam macam bisa terjadi. Ternyata ada juga ya istilahnya monyet yang terpilih. Okelah kalau begitu. “Sekarang apa keinginanmu karena aku memang kakek penguasa pohon jambu ini”.
Monyet berkata dalam hatinya bersyukur, karena kesabarannya dan tidak berlaku rakus, keinginan bertemu dengan penguasa pohon jambu terkabul juga.
Kakek : Hai monyet terpilih sekarang saya memberikannya. Silahkan makan sepuasnya.
Monyet : Mohon maaf kakek saya tidak bermaksud meminta makan jambu meskipun sejujurnya saya sangat lapar.
Kakek : Lantas apa yang kamu inginkan..
Monyet : Saya hanya ada satu keinginan.
Ohhhh begitu jadi kamu selama ini “berpuasa” untuk mencapai keingian itu silahkan katakan”, ujar si Kakek penguasa pohon jambu.
Monyet : Saya hanya ingin mengabdi kepada tuan.
Kakek : Hahhh…mengabdi bagaimana…….aku tidak paham bahasamu.
Monyet : Saya monyet menyaksikan kakek begitu lama duduk dibawah pohon jambu ini..sampai tua rambut kakek menjadi panjang dan lebat. Kakek sering menggaruk kepada yang gatal karena banyak kutunya. Saya ingin bekerja mencari dan membuang kutu di kepala kakek sampai habis bersih seluruhnya.
Ringkas ceritera si kakek sangat kagum, ternyata masih ada monyet yang berhati mulia dan akhirnya bersepakat. Si Monyet boleh “mengabdi” bekerja kepadanya sebagai pencari kutu. Sang waktu menyapanya setiap hari, minggu bahkan bulan menyaksikan si monyet membelai kepala si kakek ketika ia mencari kutu.
Tak kenal maka tak sayang. Tak sayang maka tak cinta. Terjadi berbagai dialog antara kakek dangan si monyet tentang berbagai dinamika, romantika dan dialektika kehidupan, baik kehidupan di monyet maupun kehidupan dunia manusia.
Dilingkungan pohon jambu yang rindang, angin dingin bertiup membelai kelopak mata kakek. Setengah mendengar setengah tidak si kakek merasa terkejut ketika si monyet bertanya. Apa maksudnya di kehidupan manusia ada istilah yang lagi ngetop. Apa itu arti dan maksudnya pencabutan hak politik?
Kakek : Ahhhh pertanyaan apa itu…….biarlah itu urusan manusia….
Itulah ucapan kakek yang terakhir… dia tertidur dan tak pernah bangun lagi….
Si Monyet akhirnya menjadi ahli waris sebagai penguasa pohon jambu.
[Syam Jr]