MB.com, RESENSI - Kapitalisme Indonesia, yang didukung militer, unik dan berbeda dari kapitalisme di banyak negara. Meski sudah lewat 20 tahun lebih sejak kemunculannya, Rise of Capital masih
punya relevansi dengan kondisi sosial-ekonomi dan politik Indonesia
saat ini. Di saat banyak orang merindukan masa Orde Baru, buku ini
seakan mengingatkan betapa banyak sisi buruk rezim itu. “Relevansi buku Rise of Capital lebih
relevan lagi dengan tanda-tanda bangkitnya kembali Orde Baru,” ujar
sejarawan Hilmar Farid dalam peluncuran buku terjemahan ini di Jakarta.
Fay, panggilan Hilmar Farid, ingat
respon luas ketika buku ini terbit pada 1987. Masyarakat, khususnya kaum
intelektual dan aktivis, saat itu memasuki puncak kebosanan terhadap
Orde Baru. Karya-karya ilmiah yang lahir mayoritas hanya puja-puji
terhadap rezim yang militeristik itu. Buku Robison ibarat pelepas
dahaga, “Karena mengisi kekosongan kritik ekonomi-politik dan bukan cuma
kritik moral.”
Buku ini berisi pembahasan tentang
bagaimana kekuasaan dikonstruksi, orang menjadi kaya, dan proses yang
terkait dengan kekuasaan negara. Menurut Robison, Indonesia punya
realitas berbeda dibandingkan negara lain di mana kapitalisme
bertumbuh-kembang seiring munculnya kelas menengah. Di Indonesia, peran
individu hampir tak signifikan karena Orde Baru mengontrol hampir setiap
sendi kehidupan. Pun tak ada kapitalisme yang dibangun dari atas ke
bawah (top-down).
Kapitalisme Baru
Militer, yang memiliki peran ekonomi
setelah nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing pada paruh kedua
1950-an, menjadi pemain penting. Tujuan awalnya untuk mengatasi
kekurangan anggaran, namun kenyataannya berbeda 180 derajat.
Perusahaan-perusahaan militer juga menjadi mekanisme bagi para perwira
agar dapat meningkatkan kekuatan politik dan ekonomi mereka. “Mereka
juga berperan sebagai sumber perlindungan dan kekayaan pribadi serta
memberikan fasilitas jalan bagi para pribadi tersebut masuk ke dalam
kelas kapitalis,” tulis Robison.
Militer membuka jalur pengembangan
kapitalisme baru bagi negara di bawah Ibnu Sutowo yang mengendalikan
Pertamina. Berbagai anak perusahaan Pertamina berdiri di mana-mana.
Bidang usahanya beragam. Akumulasi kapitalnya luar biasa besar.
Pertamina menjadi keran keuangan negara terpenting. Soeharto sendiri
memberi kebebasan bergerak pada Ibnu Sutowo hingga menjadikan Pertamina
seolah “negara dalam negara”.
Dalam praktiknya, militer bukan hanya
menjadi kelas kapitalis tersendiri yang berhadapan dengan kapitalis
Tionghoa ataupun asing. Dalam banyak kasus, mereka juga berpatungan
dengan dua golongan kapitalis lainnya. Militer biasa melakukannya dengan
menjual lisensi atau urun modal sembari mendudukkan wakil-wakilnya
dalam perusahaan-perusahaan yang dibentuk. “Seringkali sulit untuk
menentukan apakah sebuah perusahaan milik pensiunan perwira merupakan
perusahaan swasta atau dijalankan atas nama komando militer, atau
keduanya.”
Sementara militer berjalan dengan
bisnisnya, Soeharto lebih memilih jalan yang ditempuh para teknokrat,
yang menjadi sandaran kebijakan Soeharto ketika baru berkuasa. Indonesia
pun mengandalkan kucuran dana dari lembaga-lembaga macam
Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI) maupun Dana Moneter
Internasional (IMF), yang kemudian menjerat Indonesia dalam tumpukan
utang.
Pada perkembangannya, dua jalur
kapitalisme itu saling berbenturan. Friksi dalam tubuh militer, yang
sengaja dibangun Soeharto, menimbulkan dualisme. Ketika akhirnya
Pertamina terjerat krisis dan Soeharto memecat Ibnu Sutowo, para
kapitalis pro-Barat dengan dukungan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro
berada di atas angin. Konglomerasi militer pun merosot. “Kemerosotan
yang cepat menunjukkan ketidakmampuan,” tulis Robison.
Terpuruknya Kapitalisme Pribumi
Konglomerat Tionghoa, sementara itu,
tetap menangguk keuntungan terbesar. Merekalah yang mendapatkan lisensi
untuk menjalankan berbagai proyek negara. Mereka pula yang mendanai
perusahaan-perusahaan negara atau militer. Mereka sudah merintis
kerjasama saling menguntungkan seperti itu sejak Orde Lama, ketika
Soeharto masih jadi panglima daerah. Pengusaha macam Liem Swie Liong
pada akhirnya menjadi pemain terpenting dalam perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, kapitalis pribumi harus
terpuruk. Pemerintah Orde Baru tak memberi perhatian memadai. Di
beberapa tempat, kapitalisme pribumi akhirnya malah mati. “Kelemahan
relatif dari elemen pribumi dalam kelas kapitalis adalah tidak adanya
partai borjuis kuat yang mampu menantang hegemoni formal aparatur negara
yang dilakukan militer,” tulis Robison.
Buku ini menyajikan paparan lengkap
mengenai munculnya kelas kapitalis di Indonesia. Selain itu, mematahkan
tesis umum bahwa tak ada borjuasi di Indonesia. Transisi demokrasi,
sebagaimana teori konvensional bahwa demokrasi akan datang seiring
pembangunan lembaga-lembaganya, tak berlaku di Indonesia. “Institusi
demokratis yang menggantikannya tetap dikuasai kekuatan-kekuatan
kapitalis yang mempraktikkan kapitalisme seperti di masa Orde Baru,”
ujar Vedi Hadiz, pembahas lain dalam acara launching itu.
[Historia]