Roestam Effendi (kiri). Suasana sidang Majelis Rendah Belanda (Tweede Kamer der Staten General).
MB.com, TOKOH ---- Dia lantang bicara. Dari halaman koran sampai ruangan perlemen Belanda, dia menuntut Indonesia merdeka. Kejadiannya pada 1935. Entah apa yang
berkecamuk dalam pikiran Roestam Effendi kala itu. Usai Ratu Wilhelmina
memberikan sambutan, seluruh hadirin bersorak: “Leve Oranje!” Saat itu
pula dengan lantangnya Roestam berpekik: “Indonesia Merdeka!” Semua
orang panik. Petugas keamanan menyeretnya dan menghajar sampai babak
belur.
Tak seperti pemuda pergerakan lainnya,
namanya jarang dibicarakan. Namun, dia satu-satunya orang Hindia Belanda
yang pernah menjadi anggota Majelis Rendah Belanda (Tweede Kamer der Staten General) di Negeri Belanda mewakili Partai Komunis Belanda.
Roestam lahir di Padang, 13 Mei 1903. Setelah lulus Hogere Kweekschool voor Indlanse Onderwijzers
(sekolah tinggi guru untuk guru bumiputra) di Bandung, dia menjadi guru
HIS (sekolah dasar) di Siak Sri Indrapura, Riau. Sebelum pergi ke
Belanda, dia sempat menjadi kepala sekolah di Adabiah, Padang. Dia
merasa memiliki kemerdekaan untuk berbuat, sehingga kala itu dia juga
terjun ke dunia politik dan aktif menulis.
Drama sajaknya, Bebasari, yang
ditulisnya pada 1920-an, dilarang pemerintah kolonial Belanda, ketika
akan dipentaskan para murid MULO di Padang dan mahasiswa kedokteran di
Batavia.
Perlawanan kaum komunis di Silungkang
pada 1926 berdampak besar. Sekalipun dikenal nonkooperasi, Roestam tak
menyetujui pemberontakan itu. Dinas Intelijen Politik (PID) berusaha
menjebloskannya ke penjara. Dia buru-buru meninggalkan Padang menuju
Belanda.
Di negeri Belanda, Roestam belajar
jurnalistik bersama dengan A. Rivai dan Adinegoro. Dia aktif bergerak di
Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin Mohammad Hatta, dengan
mengurus majalah PI. Dia, yang juga bertindak sebagai penghubung PI
dengan organisasi-organisasi lainnya, terpengaruh kaum radikal. Hal itu
tampak dalam tulisan-tulisannya yang dimuat dalam Links Socialist, De Opbouws, De Anti Muiliteristi, dan De Branding.
Harry A. Poeze menyebut Roestam sebagai
Stalinis. Tapi dia punya lakon istimewa sebagai orang Hindia Belanda
pertama yang jadi anggota Majelis Rendah Belanda. Saat itu umurnya 30
tahun, termuda di antara seratus anggota yang ada.
“Memang sebelum saya, telah ada juga
beberapa putra Indonesia dicalonkan oleh Partai Komunis Belanda, pada
tiap-tiap pemilihan, seperti Tan Malaka, Alimin, Semaun, Muso, Darsono,
tetapi tidak ada yang terpilih. Sayalah putra Indonesia yang pertama
menduduki kursi parlemen Belanda, malahan sebagai anggota termuda dari
semuanya,” tulisnya dalam memoar pendeknya, Menyusuri Kenang-Kenangan Perjuangan Masa Mudaku.
Suatu kali dalam rapat pemilihan di Tiel
dia mengatakan, “Kaum buruh harus mendukung perjuangan kami di
parlemen, juga dengan kekerasan dan perlawanan bersenjata.” Pernyataan
itu segera membuatnya disidang.
Dalam sidang, Jaksa Agung bertanya, “Apa tak lebih baik kamu tinggal di Hindia? Apa yang kamu lakukan di sini?”
Roestam menyambar pertanyaan itu. “Anda
bertanya, untuk apa saya datang ke negeri Belanda. Saya jawab Anda
dengan pertanyaan pula: ‘Untuk apa Anda dan orang-orang Anda datang ke
Indonesia?” Hadirin di dalam persidangan menyambutnya dengan tepuk
tangan membahana.
Di parlemen, Roestam lantang berbicara. Suatu kali parlemen tengah ramai menyikapi insiden Kapal Zeven Provincien,
pemberontakan buruh-buruh kapal Hindia Belanda yang hingar dibicarakan
dunia internasional. Jan Schouten dari kubu antirevolusioner, pendukung
tindakan represif pemerintah kolonial, melontarkan kata-kata: “En de regering moet regeren!” (Pemerintahan harus memerintah) –maksudnya pemerintah kolonial berhak menindas pemberontak.
Roestam tak tinggal diam. Dengan garang dia membalas: “En mijn volk moet zeker creperen?” (dan bangsaku harus terus sengsara). Sontak semua orang terdiam.
Di kalangan kiri sendiri timbul polemik
ketika ada orang Indonesia yang jadi anggota parlemen. Banyak yang
menyebut bersatunya orang-orang dari kalangan buruh tani kulit putih dan
sawo cuma trik partai untuk mendulang konstituen. Ada juga yang
mencibir masuk ke parlemen yang dicap borjuis hanya pekerjaan tak ada
gunanya. Roestam menjawab berbagai kritikan dalam sebuah artikel koran
partainya dengan judul Waarom Indonesiers in de Kamer? (Kenapa Orang Indonesia Duduk di Majelis Belanda?)
“Front persatuan ini bukan ‘trik
pemilihan’ atau ‘komedi komunis’… Masuknya orang Indonesia ke dalam
Majelis Rendah pada saat perjuangan kita ini besar sekali artinya,
karena ia berarti dasar yang kokoh bagi kerjasama antara massa kaum
pekerja Indonesia yang tertindas dan diperbudak dengan kaum buruh dan
petani miskin yang terihsap di negeri Belanda,” tulis Roestam.
Roestam cukup lama berkiprah sebagai
anggota Majelis Rendah. Sejak 1933-1946. Dia keluar dari parlemen
sesudah partainya memecatnya karena dianggap tak ikut berjuang bagi
partai di masa perang. Tapi, menurut Harry Poeze, kemungkinan tuduhan
itu hanya alasan faksi-faksi di dalam partai yang menginginkan Roestam
disingkirkan.
Namun demikian Roestam telah banyak
berjasa sebagai penyambung lidah rakyat Hindia Belanda di negeri
penjajahnya. Polahnya yang seringkali nekat banyak diulas.
“Roestam Effendi wakil dari Party
Komunis Belanda di dalam parlemen hanya beroposisi. Menentang tiap-tiap
soeara dari Kapitalis. Membikin kegadoehan rapat. Dalam pemboekaan
parlemen di mana wakil2 Kapitalis berpakaian serba hebat, kaoem Komunis
dan kaoem kiri lainnya dari revolusioner Socialis dan Socialis Merdeka
berpakaian sebagai tani. Perboeatan mereka tak mengindahkan Wilhelmina.
Kadang kali melaloei djalannya dimana Wilhelmina akan berdjalan,” tulis
koran Revolusioner, 23 Juni 1946.