Agama Katolik Roma mula- mula dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor . Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya, salah satunya yang akan di uraikan disini adalah suku Lio/Lise yang sekarang telah menjadi Suku mayoritas di pulau Flores . Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores khususnya Suku Lio/Lise masih memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama dalam Suku Lio/Lise sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara, sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Hal ini menimbulkan proses penyebaran agama katholik oleh misionaris mengalami stagnasi yang cukup serius. Disini saya mencoba mengajak anda untuk melongok ke salah satu desa yaitu desa Watuneso. Watuneso, sekarang sudah di tetapkan sebagai kecamatan Lio Timur adalah salah satu bagian wilayah administrasi kabupaten Ende yang mana berbatasan langsung dengan desa Watas/Wolowiro, wilayah administrasi kabupaten Maumere. Dalam Historia sejarah, Watuneso juga pernah menorehkan beberapa peristiwa penting berkaitan masuknya Agama Katholik ke beberapa wilayah Lise lainya.
Masuknya agama Katholik di desa Watuneso dan sekitarnya.
Mula – mula, pada sekitar kurun waktu 1900-an, Ajaran agama Katholik mulai di perkenalkan oleh para misionaris di desa Pu’u Naka yang sekarang menjadi desa watuneso. Namun pada waktu itu masyarakat belum memahami dengan baik dan belum bisa menerima ajaran agama katholik. Hal ini disebabkan masyarakat masih menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme. Tentunya ini sangat bertolak belakang dengan ajaran yang di bawahkan oleh para misionaris tersebut. Akan tetapi berkat kegigihanya, secara perlahan mereka dapat memasuki rana ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat setempat lewat pelayanan – pelayanan kasih sehingga mereka akhirnya mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat desa Lise.
Pada tanggal 27 september 1909 ada beberapa orang yang berasal dari Tana Lise ini di antaranya; Bakal Raja Lio Pius Rasi Wangge, dan kapitan Pius Nggai Tani pergi ke lela unutk di permandikan menjadi seorang Nasrani Tulen. Yang mana diketahui nama – nama ini adalah pemengang Hak Ulayat sebagian wilayah Lise. Atas dasar inilah, para misionaris mulai meningkatkan intensitas pelayanan dan mulai memperluas proses penyebaran agama katholik di seluruh wilayah Lise.
Pelayanan Ke wilayah Lise
Kemudian pada bulan November 1911 sampai September 1912; Seorang pastor yang akrab disapa pater Looijmans dari Lela secara rutin mengunjungi beberapa wilayah pegunungan Lise untuk memberikan pelayanan dan ajaran agama katholik. Pada waktu itu, seluruh kegiatan keagamaan berpusat di lela. Setelah setahun melayani masyarakat Lise, pater Looijmans pun di pindahkan kedaerah lain dan tugas melayani masyarakat Lise di gantikan oleh Pater Th,. Rouppe v.d Voldt.
Pada tahun, 1913 Pater. Rouppe v.d Vordt dari Nita ini mengadakan perjalanan singkat ke wilayah Lise lewat Watuneso dan Aemalu serta mempermandikan satu orang anak di desa Wolo Lele A.
Ritual Keagamaan dan pembangunan gereja Di Watuneso
Tanggal 23 maret, 1920; Pater De lange yang ditemani oleh Pater. Aug. Suntrup pergi ke Watuneso untuk merayakan ritual keagamaan yaitu upacara Minggu Palma. Kemudian Pater De Lange dan Pater Aug. Suntrup meneruskan perjalanannya ke Desa Wonda untuk melayani masyarakat di sana .
Bulan Juli 1926; Bruder Coloman mulai membangun gereja di desa watuneso yang mana proses pembangunan gereja tersebut di arsiteki oleh beliau sendiri. Meskipun dengan sarana yang belum memadai beliau tetap menyelesaikan pembangunan gereja tersebut. Sehingga pada tanggal 24 april 1946; Mgr. Verstralen datang untuk meresmikan watuneso sebagai sebuah Stasi dari Paroki Wolowaru.
Seiring penyebaran dan pelayan tersebut, masyarakat mulai mengenal agama Katholik, dan jumlah pemeluk ajaran katholik di wilayah Lise mengalami peningkatan yang sangat pesat.tahun937 - 1940Pater W. Maas mulai mengunjungi Stasi Watuneso secara rutin dan mempermandikan banyak anak- anak balita di Stasi Watuneso dan sekitarnya. Tentunya hal ini di Bantu oleh Pater Alfons Lessage dan Pater Lambert. Namun setelah itu Tugas tersebut dilanjutkan oleh dilanjutkan oleh Pater Lambert dan pater Karel kale yang sudah mengabdi sejak tahun 1937. setelah tahun 1946 tugas pelayanan tersebut di emban oleh pater H. Nales sampai kedatangan Pater Theodorus Joseph Visser .SVD
Watuneso Ditetapkan sebagai Paroki Baru
11 januari 1951, Berdasarkan Surat Keputusan De Apostolisch Vicaris De Kleine Soenda Einladen No. 184 tanggal 11 januari 1951 Stasi Watuneso akhirnya ditetapkan sebagai Paroki termuda kala itu dengan Pastor parokinya Pater Theodorus Joseph Visser . SVD yang meliputi beberapa Stasi lainya seperti; Stasi Iliwodo, Stasi Wonda, Stasi Fendo, Stasi Wololele A, Stasi Wolonio dan Stasi Detupera.
Penobatan Pastor Theodorus Joseph Visser . SVD sebagai pastor paroki watuneso tentunya direspons sangat antusias oleh masyarakat setempat. Pater Visser, tentunya tidak bekerja sendiri, beliau ditemani oleh pater Jan Loeters berkebangsaan Jerman (1979 – 1983 ) serta Pater Esteban Maximo berkebangsaan Spanyol.
Sejak ditetapkan sebagai pastor Paroki Watuneso, Pater Theodorus Joseph Visser. SVD telah memberihkan kontribusi yang sangat besar untuk masyarakat watuneso, seperti pembangunan Jembatan, sekolah, kapel dan menyediakan sarana transportasi serta penerangan listrik. Berbagai sarana untuk menunjang pelayanan keagamaan pun juga disediakan oleh beliau seperti; Menerbitkan Buku Jala Da Gheta Surga, Menerjemahkan Injil dalam bahasa Lio.
Dibidang Seni, beliau juga membentuk Group Musik dengan fasilitas alat-alat Band yang di bawahkannya dari Belanda negeri asalnya.
Dibidang Olahraga; Beliau Berhasil memberdayakan pemuda dan pemudi watuneso dengan membentuk Club Bola Voli dan Club Bola Kaki yang bernama Roket.
Selain itu, beliau juga banyak membantu kaum miskin dengan menyumbangkan beras, gandum pakaian serta mendirikan rumah sederhana untuk kaum papa.
Tidak hanya sampai di situ, Pater Visser juga kerap mendirikan kapel-kapel di hampir seluruh daratan Flores sehingga kalau dihitung, berjumlah 118 kapel. Itu pu belum termasuk sumbangan sekolah-sekolah di beberapa daerah lainya. Di Desa Lelu, beliau juga mendirikan Mesjid bagi masyarakat disana supaya dapat menjalankan Ibadah dengan baik. Hubungan Kristen dan Islam di wilayah ini sangat harmonis, toleransi antar umat beragama pun terjaga dengan baik sehingga tidak pernah ada perselisihan. Salah Satu faktor penunjang terciptanya keharmonisan disini adalah adanya pertalian darah dalam satu garis keturunan yang sudah di wariskan pula oleh nenek moyang..
Pada bulan February 1991 – 1994 Pater Maximus Seno menjadi pastor paroki watuneso, karena Pater Theodorus Joseph Visser SVD telah memasuki masa pensiun dalam usia 77 tahun dan akhirnya menjalani masa purna baktinya dipanti jompo seminari tinggi Ledalero. Bulan Mei 1994 – 2001 tugas tersebut di gantikan oleh Romo Yosef liwu. Pr dan selanjutnya di dampingi oleh Romo Dominikus Wawo. Pr pada bulan april 1998 – februari 2001. Setelah Romo Yosef Liwu pindah Romo Dominikus didampingi oleh Romo Felix Jawa pada tahun 1999 -2002. Tahun 2001 – 2008 Klemens Soa Pr. Melayani Umat watuneso di dampingi oleh Romo Thomas Aquino Bhose tahun 2002 – 2006.
Pada tanggal 1 maret 2006 – 14 september 2008 Romo Nobertus Joni Pr. Di tetapkan sebagai pastor pembantu paroki watuneso, sehingga tanggal 15 september 2008 ditetapkan sebagai pastor paroki watuneso sampai saat ini.
Sekian Dan Terima kasih
Hasil Survei;
1. Jumlah rata – rata umat tahun 2007: 5.129 jiwa/1.015KK ( Kepala Keluarga )
2. Jumlah rata – rata Lingkungan (17) dan 57 KUB ( Komunitas Umat Basis )
Penulis; Sumarlin Bato
Buku Pustaka ; “Memperingati 50 Tahun Paroki Santa Maria Watuneso”. Lio , Ende – Flores NTT