Logo

Logo
Latest News
Wednesday, September 24, 2014

Ketika Menjadi Kiri itu (Tak lagi) Sexy

Gambar Hanya Ilustrasi

MB.com, OPINI - Mereka berjuluk “Mauerspechte”, para Pelatuk Tembok. Orang-orang yang gelisah, yang dipembuka bulan September dengan teriakan galak mengepulkan kemarahan bak asap yang keluar dari rongga mulut saat musim salju tiba. Teriakan yang bersaut-sautan itu berbunyi, “Wir wollen raus!”, “Kami mau pergi!”. Belasan ribu manusia memang sudah eksodus terlebih dulu, berbondong-bondong menyeberang ke Austria. Musim dingin hampir saja menjelang, sementara suhu politik malah naik ke titik didihnya. Jalanan tiada henti dijejali ketidakpuasan, rumah-rumah susun disesaki kasak-kusuk, banyak kepala yang tak kuasa tersandera kegelisahan.

Dua bulan berselang, teriakan-teriakan itu terus berlangsung. Malah makin hari makin membesar, makin menggema. Sampai dengan cepat berubah bunyinya. Kini yang menyembul adalah “Wir bleiben hier”, “Kami akan tetap di sini!”. Bila di masa lalu hanya ada aksi grafiti, coret-coretan beragam rupa dan warna. Sekarang, “Wir bleiben hier” berarti palu-palu mulai digenggam dan tak ragu untuk dibenturkan ke sebuah tembok. Tembok panjang yang berumur lebih dari tiga dasawarsa. Budaya pop melukiskan peristiwa ini melalui suara sengau Klaus Maine, vokalis band rock Scorpion. Petikan liriknya mungkin bisa membantu memulihkan memori kita. Simaklah, I follow the Moskwa, Down to Gorky Park , Listening to the wind of change.

Dan “Mauerspechte”, para pelatuk tembok, pun makin bergiat menggeroti dinding dengan mata palunya. Sedikit demi sedikit. Mulut-mulut terdengar bersorak-sorai,  menyemangati tak henti-henti. Maka akhirnya tembok itu pun runtuh. Disanalah harinya, 9 November 1989. Tembok Berlin, Berliner Mauer, menemui ajal di ujung ayunan palu, roboh mencium tanah. Di seberang benua, Fukuyama buru-buru beriang gembira, menyesapi sebongkah kemenangan. Ditulislah literatur olok-olok bertajuk “The End of History and the Last Man”. Perang Dingin ditutup sudah layarnya. Petinggi-petinggi CIA membuka botol-botol sampanye-nya, kerja keras berdekade lamanya berimbal pesta pora. Rejim “Merah” seantero planet berkeping-keping ditelan sehimpun doktrin pengkhiantannya sendiri. Blok Barat menang. Bukan sebuah kemenangan total melawan sosialisme, namun segenggam kemenangan yang pasti atas kesesatan revisionisme.

Jika di setiap kemenangan penting melahirkan satu kelompok dimabuk kemenangan pada satu sisi dan kelompok yang tetap kekeuh dan waspada di sisi lain. Maka pada tiap-tiap kemunduran besar, ditemui pula setidaknya dua jenis golongan manusia. Golongan yang pertama, tiada lain adalah mereka yang jatuh dalam kapitulasi, menyerah! Mereka dengan cepat menyeberang ke kubu lawan. Sebagian mereka yang lain memulai hobi baru: memperkosa prinsip-prinsip ilmiah plus mempereteli elan perjuangannya sendiri. Tiada lain, kesemua itu mereka niatkan demi setajuk pembenaran agar tampak rujuk dengan “perubahan” jaman. Mulut mereka lalu berkoar: “Tak peduli apa warna kucingnya, yang penting bisa menangkap tikus”. Orang-orang dari golongan ini bisa bernama Karl Kautsky, Deng Xiaoping, Erich Honecker, Dilma Rousseff atau siapa pun.

Di jaman “menjadi kiri itu sexy”, tentu anda membutuhkan seceret besar kopi hitam, hanya untuk membaca ensiklopedia kelompok kiri sejagad raya. Bahkan lebih setengah abad selepas Bolshevik mendirikan negara klas buruh pertama di dunia, demi untuk mengetahui risalah di satu benua saja, mata anda masih akan letih mengeja ratusan kelompok merah, sayap kiri atau partai yang menyatakan diri Marxis. Ramai sekali, berjibun, selayaknya deretan kaos Che Guevara yang laris manis dijajakan di kaki lima, dijual oleh sekretariat organisasi atau dipajang pada lapak-lapak yang lebih mahal. Demonstrasi itu keren, menjadi aktivis itu up to date dan melempar batu ke barisan polisi akan bisa menjadi cerita manis yang membuat lawan jenismu meleleh jatuh hati.

Namun, bagai bunyi pepatah melayu, air pun ada pasang surutnya: untung dan malang itu berganti-ganti; tak selamanya senang. Tahun berganti, kejadian demi kejadian berlangsung. Organisasi ambruk. Mungkin karena kesalahan fundamental. Bisa pula akibat kesalahan-kesalahan dungu yang tak perlu, tapi gemar diulang-ulang. Sekretariat pun mulai sepi, kawan-kawan seperjuangan mulai pergi. Ada yang pamit mencari nafkah dan tak hendak kembali. Ada yang pusing ditodong menikahi kekasihnya. Tak sedikit yang diam-diam menerima lamaran kantor-kantor NGO bergaji mumpuni. Sebagian mantan pimpinan malah sudah lebih dulu angkat kaki,  menerima pinangan borjuasi. Menjadi kiri sekarang benar-benar tak lagi sexy. Suasananya malah mulai terdengar melankoli.
Menjadi kiri kiranya adalah soal benar atau salah. Dan benar atau salah selalu memiliki konsekuensi, mengandung resiko dan segenap pertaruhan. Terkadang pertaruhan itu menjadi sangat keras dan sangat mahal.  Maka baiknya, secepatnya kita menuju ke golongan kedua. Golongan yang memiliki pendirian yang berbeda disaat  badai sejarah sedang menghantam kencang. Mereka ini golongan manusia yang memutuskan bangkit dari keterpurukan. Umumnya jumlah golongan ini pada mulanya tidak banyak, tapi bisa sangat menentukan dikemudian hari. Pada masa sulit tersebut, mendapati Blok Timur hancur, ketika intelektual-intelektual kiri linglung sambil mengelus jidatnya, seorang pria berjanggut malah lantang bersikap.

Kalimat yang akan dihaturkan ini milik Fidel Castro. Pemimpin sebuah negeri, yang ibaratnya cuma sebesar upil di tengah luasnya peta global yang sedang dikuasai Imperialis. Kuba benar-benar tampak seperti RT kecil dengan penduduk minim yang mendiami kepualauan besar yang tak lagi sehaluan dengan mereka. Castro dengan tegas berucap, “Kita berada dalam situasi khusus, salah satu periode yang paling sulit dalam sejarah kita. Mengapa? Karena kini kita sendirian melawan imperium. Jadi apa yang dibutuhkan? Bersatu, berani, semangat patriotik dan revolusioner. Hanya orang yang lemah, para pengecut, yang menyerah dan mundur ke perbudakan. Seorang yang terhormat, berani, seperti kita ini, tidak akan menyerah atau mundur ke perbudakan”.

Bila pada dekade terakhir ini sekurang-kurangnya api anti imperialisme kembali menyala dan bahkan makin berkobar-kobar di Amerika Latin. Bila tahun-tahun ini tak sedikit manusia di berbagai benua begitu familiar dengan nama mendiang Hugo Chavez, lengkap dengan pencapaian-pencapaiannya. Jika media sosial dewasa ini ramai-ramai mengelu-elukan Jose Mujica, ikon kesahajaan yang ideal dari seorang pemimpin. Mohon diingat dengan baik. Kesemua itu, satu diantaranya, karena di masa paling sulit, dijaman ketika mayoritas kepala tak lagi memiliki kepercayaan yang sama, di periode kesendirian yang paling menakutkan, terdapat orang-orang yang tak sudi menyerah!

Bahkan bunyi ketukan palu “Mauerspechte” sama sekali tak membuat mereka gundah apalagi berniat melompat ke seberang jalan. Dan tak terpikirkan bagi mereka untuk berucap “Wir wollen raus!”, “Kami mau pergi!”.

 [Lenggah M]

Senin, 15 September 2014
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Ketika Menjadi Kiri itu (Tak lagi) Sexy Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi