Gambar Hanya Ilustrasi
MB.com, OPINI - Mereka berjuluk “Mauerspechte”, para Pelatuk Tembok.
Orang-orang yang gelisah, yang dipembuka bulan September dengan teriakan
galak mengepulkan kemarahan bak asap yang keluar dari rongga mulut saat
musim salju tiba. Teriakan yang bersaut-sautan itu berbunyi, “Wir
wollen raus!”, “Kami mau pergi!”. Belasan ribu manusia memang sudah
eksodus terlebih dulu, berbondong-bondong menyeberang ke Austria. Musim
dingin hampir saja menjelang, sementara suhu politik malah naik ke titik
didihnya. Jalanan tiada henti dijejali ketidakpuasan, rumah-rumah susun
disesaki kasak-kusuk, banyak kepala yang tak kuasa tersandera
kegelisahan.
Dua bulan berselang, teriakan-teriakan itu terus
berlangsung. Malah makin hari makin membesar, makin menggema. Sampai
dengan cepat berubah bunyinya. Kini yang menyembul adalah “Wir bleiben
hier”, “Kami akan tetap di sini!”. Bila di masa lalu hanya ada aksi
grafiti, coret-coretan beragam rupa dan warna. Sekarang, “Wir bleiben
hier” berarti palu-palu mulai digenggam dan tak ragu untuk dibenturkan
ke sebuah tembok. Tembok panjang yang berumur lebih dari tiga dasawarsa.
Budaya pop melukiskan peristiwa ini melalui suara sengau Klaus Maine,
vokalis band rock Scorpion. Petikan liriknya mungkin bisa membantu
memulihkan memori kita. Simaklah, I follow the Moskwa, Down to Gorky
Park , Listening to the wind of change.
Dan “Mauerspechte”, para pelatuk tembok, pun makin bergiat
menggeroti dinding dengan mata palunya. Sedikit demi sedikit.
Mulut-mulut terdengar bersorak-sorai, menyemangati tak henti-henti.
Maka akhirnya tembok itu pun runtuh. Disanalah harinya, 9 November 1989.
Tembok Berlin, Berliner Mauer, menemui ajal di ujung ayunan palu, roboh
mencium tanah. Di seberang benua, Fukuyama buru-buru beriang gembira,
menyesapi sebongkah kemenangan. Ditulislah literatur olok-olok bertajuk
“The End of History and the Last Man”. Perang Dingin ditutup sudah
layarnya. Petinggi-petinggi CIA membuka botol-botol sampanye-nya, kerja
keras berdekade lamanya berimbal pesta pora. Rejim “Merah” seantero
planet berkeping-keping ditelan sehimpun doktrin pengkhiantannya
sendiri. Blok Barat menang. Bukan sebuah kemenangan total melawan
sosialisme, namun segenggam kemenangan yang pasti atas kesesatan
revisionisme.
Jika di setiap kemenangan penting melahirkan satu kelompok
dimabuk kemenangan pada satu sisi dan kelompok yang tetap kekeuh dan
waspada di sisi lain. Maka pada tiap-tiap kemunduran besar, ditemui pula
setidaknya dua jenis golongan manusia. Golongan yang pertama, tiada
lain adalah mereka yang jatuh dalam kapitulasi, menyerah! Mereka dengan
cepat menyeberang ke kubu lawan. Sebagian mereka yang lain memulai hobi
baru: memperkosa prinsip-prinsip ilmiah plus mempereteli elan
perjuangannya sendiri. Tiada lain, kesemua itu mereka niatkan demi
setajuk pembenaran agar tampak rujuk dengan “perubahan” jaman. Mulut
mereka lalu berkoar: “Tak peduli apa warna kucingnya, yang penting bisa
menangkap tikus”. Orang-orang dari golongan ini bisa bernama Karl
Kautsky, Deng Xiaoping, Erich Honecker, Dilma Rousseff atau siapa pun.
Di jaman “menjadi kiri itu sexy”, tentu anda membutuhkan
seceret besar kopi hitam, hanya untuk membaca ensiklopedia kelompok kiri
sejagad raya. Bahkan lebih setengah abad selepas Bolshevik mendirikan
negara klas buruh pertama di dunia, demi untuk mengetahui risalah di
satu benua saja, mata anda masih akan letih mengeja ratusan kelompok
merah, sayap kiri atau partai yang menyatakan diri Marxis. Ramai sekali,
berjibun, selayaknya deretan kaos Che Guevara yang laris manis
dijajakan di kaki lima, dijual oleh sekretariat organisasi atau dipajang
pada lapak-lapak yang lebih mahal. Demonstrasi itu keren, menjadi
aktivis itu up to date dan melempar batu ke barisan polisi akan bisa
menjadi cerita manis yang membuat lawan jenismu meleleh jatuh hati.
Namun, bagai bunyi pepatah melayu, air pun ada pasang
surutnya: untung dan malang itu berganti-ganti; tak selamanya senang.
Tahun berganti, kejadian demi kejadian berlangsung. Organisasi ambruk.
Mungkin karena kesalahan fundamental. Bisa pula akibat
kesalahan-kesalahan dungu yang tak perlu, tapi gemar diulang-ulang.
Sekretariat pun mulai sepi, kawan-kawan seperjuangan mulai pergi. Ada
yang pamit mencari nafkah dan tak hendak kembali. Ada yang pusing
ditodong menikahi kekasihnya. Tak sedikit yang diam-diam menerima
lamaran kantor-kantor NGO bergaji mumpuni. Sebagian mantan pimpinan
malah sudah lebih dulu angkat kaki, menerima pinangan borjuasi. Menjadi
kiri sekarang benar-benar tak lagi sexy. Suasananya malah mulai
terdengar melankoli.
Menjadi kiri kiranya adalah soal benar atau salah. Dan
benar atau salah selalu memiliki konsekuensi, mengandung resiko dan
segenap pertaruhan. Terkadang pertaruhan itu menjadi sangat keras dan
sangat mahal. Maka baiknya, secepatnya kita menuju ke golongan kedua.
Golongan yang memiliki pendirian yang berbeda disaat badai sejarah
sedang menghantam kencang. Mereka ini golongan manusia yang memutuskan
bangkit dari keterpurukan. Umumnya jumlah golongan ini pada mulanya
tidak banyak, tapi bisa sangat menentukan dikemudian hari. Pada masa
sulit tersebut, mendapati Blok Timur hancur, ketika
intelektual-intelektual kiri linglung sambil mengelus jidatnya, seorang
pria berjanggut malah lantang bersikap.
Kalimat yang akan dihaturkan ini milik Fidel Castro.
Pemimpin sebuah negeri, yang ibaratnya cuma sebesar upil di tengah
luasnya peta global yang sedang dikuasai Imperialis. Kuba benar-benar
tampak seperti RT kecil dengan penduduk minim yang mendiami kepualauan
besar yang tak lagi sehaluan dengan mereka. Castro dengan tegas berucap,
“Kita berada dalam situasi khusus, salah satu periode yang paling sulit
dalam sejarah kita. Mengapa? Karena kini kita sendirian melawan
imperium. Jadi apa yang dibutuhkan? Bersatu, berani, semangat patriotik
dan revolusioner. Hanya orang yang lemah, para pengecut, yang menyerah
dan mundur ke perbudakan. Seorang yang terhormat, berani, seperti kita
ini, tidak akan menyerah atau mundur ke perbudakan”.
Bila pada dekade terakhir ini sekurang-kurangnya api anti
imperialisme kembali menyala dan bahkan makin berkobar-kobar di Amerika
Latin. Bila tahun-tahun ini tak sedikit manusia di berbagai benua begitu
familiar dengan nama mendiang Hugo Chavez, lengkap dengan
pencapaian-pencapaiannya. Jika media sosial dewasa ini ramai-ramai
mengelu-elukan Jose Mujica, ikon kesahajaan yang ideal dari seorang
pemimpin. Mohon diingat dengan baik. Kesemua itu, satu diantaranya,
karena di masa paling sulit, dijaman ketika mayoritas kepala tak lagi
memiliki kepercayaan yang sama, di periode kesendirian yang paling
menakutkan, terdapat orang-orang yang tak sudi menyerah!
Bahkan bunyi ketukan palu “Mauerspechte” sama sekali tak
membuat mereka gundah apalagi berniat melompat ke seberang jalan. Dan
tak terpikirkan bagi mereka untuk berucap “Wir wollen raus!”, “Kami mau
pergi!”.
[Lenggah M]
Senin, 15 September 2014