Dari Relasi Upeti ke Mitra Strategis karya Prof. Liang Liji. Penerbit:
Penerbit Buku Kompas. Terbit: Januari, 2012. Tebal: xviii + 594 hlm.
MB.com, RESENSI - Liang Liji menelusuri hubungan Tiongkok-Nusantara berdasarkan kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno. Sejarah kuno Indonesia tak bisa
dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis
berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa. Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975
dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini,
menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab
sejarah Tiongkok kuno.
Liang Liji lahir di Bandung pada 1927.
Dia dibesarkan dalam dua etos kebudayaan, Tionghoa dan Indonesia. Dia
mengalami masa pendudukan Belanda, Jepang, revolusi, dan awal
kemerdekaan. Lulus dari jurusan bahasa Indonesia Fakultas Bahasa Timur
Universitas Peking pada 1954, dia lalu mengabdi di universitas tersebut
selama setengah abad lebih. Dia juga pernah menjadi anggota tim
penerjemah Presiden Sukarno saat melawat ke Tiongkok pada 1956.
Menurut Liji, sumber-sumber sejarah yang
kaya dan otentik dari kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno masih belum
digali dan dikenal di Indonesia dalam pengkajian sejarah hubungan kedua
negara. Padahal Tiongkok memiliki keunggulan dalam tradisi penulisan
sejarah. Bahkan sejak zaman Xia (2140-1711 SM), Tiongkok sudah memiliki
suatu sistem penulisan sejarah, yang kemudian terus mengalami
penyempurnaan.
Sejak dua ribu tahun lalu, di masa
Dinasti Han (206 SM-220 M), sejumlah kitab mencatat hubungan resmi
antara Tiongkok dan Nusantara. Liji mengawali pembahasan buku ini dengan
membahas kitab-kitab tersebut, yakni Han Shu Di Li Zhi (Kepustakaan Dinasti Han-Catatan Geografi) dan Hou Han Shu (Kepustakaan Dinasti Han Lanjutan).
Dalam kitab Hou Han Shu
disebutkan, Ye Diao adalah negara di Asia Tenggara yang mengirim utusan
dan mempersembahkan upeti kepada Wu Di, Kaisar Dinasti Han. Ye Diao
adalah tiruan bunyi dari kata Sanskrit, Javadvipa, untuk menyebut Jawa
atau Sumatra. Ada ahli yang menganggap bahwa Ye Diao adalah kerajaan
yang didirikan di Banten pada 65 SM. Nama rajanya, yang disebut dengan
nama Diao Bian, juga salinan bunyi dari kata Sanskrit, Devavarman.
Selain kitab-kitab sejarah yang ditulis
pejabat istana, juga bermunculan buku catatan perjalanan dari utusan
kaisar dan pendeta Budha Tiongkok yang pernah berkunjung ke Nusantara.
Ini dimulai pada zaman Samkok atau Tiga Kerajaan (220-280) –akibat
perpecahan Dinasti Han. Di antaranya Zhu Ying dan Kang Tai yang untuk
kali pertama memperkenalkan keadaan sosial-budaya dan adat istiadat
Nusantara.
Hubungan Tiongkok-Nusantara mencapai
puncaknya pada masa Dinasti Ming dengan tujuh kali muhibah Laksamana
Cheng Ho. Para cendekiawan Tiongkok yang mendampingi Cheng Ho membuat
catatan perjalanan; umumnya menggambarkan keadaan sosial-budaya di
Nusantara. Tak heran jika di masa inilah terdapat bahan sejarah paling
kaya dan lengkap mengenai hubungan kedua bangsa. Di antaranya Ming Shi (Sejarah Dinasti Ming) dan Ming Shu Lu (Catatan
Kejadian Aktual Dinasti Ming) yang merupakan koleksi terbesar dengan
2.965 jilid dan 16 juta karakter Tionghoa. Yang menarik, Dinasti Ming
sampai membuat kamus bahasa Melayu-Tionghoa yang disebut Man La Jia Yi Yu (Kumpulan Kata-kata Negeri Malaka).
Berdasarkan pembacaan Liji atas
kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno, Tiongkok menganggap wilayahnya
sebagai “negara suzerin” atau “negara atasan”, sedangkan daerah-daerah
lain di sekitarnya termasuk Nusantara sebagai “negara vasal” atau
“negara bawahan” yang harus memberikan upeti kepada negara suzerin.
Upeti tersebut bisa diartikan sebagai tanda pengakuan, kesetaraan,
hubungan diplomatik, atau pembukaan hubungan dagang.
Buku Liji ini juga menjangkau periode
sejarah modern, yang ditandai dengan masuknya kolonialisme dan berimbas
pada porakporandanya hubungan Tiongkok-Nusantara. Untunglah hubungan
ekonomi dan kebudayan tak ikut terputus karena adanya perantau Tionghoa
yang menetap di Nusantara. Mereka mulai melepaskan pandangan
tradisionalnya “daun gugur kembali ke akarnya” menjadi pandangan baru
yang lebih realistis: “bibit jatuh berakar di buminya”. Pandangan inilah
yang mendorong mereka ikut dalam arus gerakan kemerdekaan.
Liji menyebut beberapa etnis Tionghoa
yang terlibat dalam pergerakan nasional Indonesia. Ada Kwee Thiam Hong,
Oey Kay Siang, John Lauw Tjian Hok, dan Tjio Djien Kwie yang ikut dalam
Sumpah Pemuda. Ada Liem Koen Hian, pendiri Partij Tionghoa Indonesia
pada 1932. Ada juga Oei Tjong Hauw, Oei Tiang Tjoei, Tan Eng Hoa, dan
Liem Koen Hian yang menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Setelah kemerdekaan, hubungan
Tiongkok-Indonesia mengalami pasang-surut. Sejumlah peristiwa sempat
meretakkan hubungan kedua negara itu: dari masalah dwikewarganegaraan,
PP 10 tahun 1959 yang mengakibatkan puluhan ribu etnis Tionghoa terusir
dari daerah-daerah pedalaman, hingga pembekuan hubungan pada 30 Oktober
1967.
[Historia]