MB.com, OPINI - Apakah Sukarno menjadi seorang Trotskyis ketika mesti memilih pada jalan mana revolusi harus ditempuh?
Pada 1958 Presiden Sukarno pernah
menyampaikan beberapa kuliah tentang Pancasila di Istana Negara. Antara
lain ada kuliah tentang masing-masing sila, termasuk peri-kemanusiaan.
Di dalam kuliah tersebut Sukarno sempat menguraikan perbandingannya
antara Joseph Stalin dan Leon Trotsky, dua pemimpin revolusi Rusia.
Dalam membaca dan merenungkan komentar Sukarno ini tentu saja kita harus
catat waktu dan konteks yang berlaku pada saat itu. Pidato Sukarno pada
1958 itu dilakukan dua tahun setelah Nikita Kruschev, sebagai
Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet, membongkar
kejahatan-kejahatan politik Stalin melalui pidato di kongres partainya.
Pada waktu itu Kruschev mengatakan:
"We have to consider seriously and
analyze correctly [the crimes of the Stalin era] in order that we may
preclude any possibility of a repetition in any form whatever of what
took place during the life of Stalin, who absolutely did not tolerate
collegiality in leadership and in work, and who practiced brutal
violence, not only toward everything which opposed him, but also toward
that which seemed to his capricious and despotic character, contrary to
his concepts."
Sejak pidatonya itu, sedikit demi
sedikit mulai banyak data keluar tentang, meminjam istilah Sukarno:
“pembersihan”, “penangkapan” dan “pembunuhan” yang terjadi pada zaman
Stalin berkuasa. Fakta-fakta itu sebenarnya sudah mulai beredar dan
diketahui oleh Sukarno pada tahun 1958. Kalau kita lihat komentar
Sukarno, pengetahuan dan sikapnya terhadap hal yang pernah diungkapkan
oleh Kruschev itu memang tidak terlalu mengejutkan.
Apalagi di saat yang sama, secara
tertutup, mulai ada perbedaan retorika politik antara Beijing dan
Moskow. Perpecahan itu baru muncul terbuka sepenuhnya tahun 1961. Tetapi
gejalanya sudah mulai kelihatan pada tahun 1958 bahwa Beijing kurang
jodoh dengan kritikan tajam yang dilontarkan Kruschev kepada Stalin.
Bahkan pada 1956, Mao Tse Tung sudah menulis: “We’ve said before that with regard to Stalin, we should [see him as having been] three parts [bad] and seven parts [good].” Ini merupakan sikap yang jauh lebih lunak daripada yang dianut dan yang diungkapkan oleh Kruschev.
Sikap Sukarno dalam hal kejahatan yang
dilakukan Stalin lebih cenderung membenarkan apa yang dikemukakan oleh
Kruschev. Dalam hal ini, meski sikapnya jelas berbeda dari sikap Mao dan
Beijing, sikap Soekarno tidak akan mengejutkan untuk mayoritas dunia
kiri pada waktu itu.
Lain soal kalau kita membahas Trotsky.
Pada tahun 1958, Trotsky masih sasaran kutukan dari mayoritas kaum kiri,
baik yang berkiblat ke Moskow maupun Beijing. Trotsky, di mata
organisasi-organisasi komunis adalah seorang pengkhianat atau bahkan
agen CIA. Trotsky adalah figur yang digadang-gadang Lenin untuk
menggantikannya, tetapi kalah bertarung melawan Stalin. Kemudian dia
muncul sebagai pemimpin “Left Opposition” di Partai Komunis Uni Soviet.
Sesudah beberapa tahun bertarung, Trotsky diasingkan ke Turki tahun
1929. Pada tahun 1935 dia pindah ke Norwegia, kemudian Meksiko. Pada
tahun 1938 anaknya dibunuh oleh agen Stalin di Paris dan kemudian pada
1940 dia sendiri dibunuh oleh pelaku yang sama.
Kalau kita membaca uraian Sukarno adalah
jelas bahwa dia sama sekali tidak terima pengutukan terhadap Trotsky,
sesuatu yang lain daripada yang lain pada tahun 1950an di kalangan kaum
kiri. Untuk bisa melihat cara pandangnya Sukarno, bisa kita baca
pernyataannya dalam kursus Presiden Sukarno tentang sila
“Peri-kemanusian” Pancasila di Istana Negara, 22 Juli, 1958:
"Baik Trotsky maupun Stalin
menghendaki satu masyarakat adil dan makmur ala Rusia. …Mereka pun
mempunyai cita-cita atau masyarakat adil dan makmur, katakan komunisme.
Dua-duanya menghendaki komunisme, dua-duanya menghendaki menghilangkan
stelsel kapitalisme, dua-duanya menghendaki manusia tidak dihisap oleh
manusia lain, dua-duanya mau (me)niadakan exploitation de’l’homme,
dua-duanya ingin mengadakan masyarakat sama-rata, sama rasa, tanpa
kapitalisme. Tapi toh ada perdebatan, bentrokan kemudian yang hebat
sekali."
Di sini kita lihat Trotsky bukan sebagai
pengkhianat atau agen CIA tetapi seorang yang berbeda pendapat tentang
bagaimana mencapai masyarakat adil makmur, sama rata sama rasa. Sukarno
juga memberikan penilaiannya tentang kedua poin perbedaan Trotsky dengan
Stalin itu. Menurut Trotsky, kata Sukarno, Rusland “tidak dapat
mendirikan satu masyarakat sosialis atau komunis di Rusland saja, jika
kita pula menumbangkan kapitalisme di lain-lain negeri.” Buat Trotsky,
menurut Sukarno, revolusi harus diperluas ke negeri-negeri lain. Dan
ini juga sekaligus merupakan proses meneruskan revolusi anti-kapitalis
ke segala alam. “Tidak cukup perjuangan sekadar pada satu saat merebut politieke macht
(kekuasan politik), tampuk pimpinan pemerintah direbut oleh kaum
proletariat. Tidak cukup,” kata Sukarno. Dia pun kemudian mengatakan:
"…Trotsky berkata: “Kita punya
revolusi haruslah satu revolusi permanen, revolusi terus-menerus dan
memusatkan perhatian pada revolusi terus-menerus itu. Jangan sebentar
pun mengadakan adem pause, angan sebentar pun mengadakan pemusatan
pikiran kita pada apa yang dinamakan pembangunan di segala negeri.
Revolusi sosialis adalah revolusi permanen, kalau sosialisme hendak
tercapai."
"Trotsky berkata: “Tidak bisa
mendirikan sosialisme di satu negeri sebelum kapitalisme di seluruh
dunia gugur. Sosialisme hanya bisa berdiri di semua negeri bersama."
Sukarno juga membuat perbandingan dengan
Stalin yang ingin membangun “sosialisme di satu negeri”. Dia jelaskan
bahwa kubu Trotsky pada akhirnya kalah:
"Maka Sovet Uni memasuki periode
yang dikenal oleh dunia luar: periode penutupan, periode isolasi,
periode memperkuat benteng di dalam lingkungan pagar besi itu. Periode
pemerkuatan benteng ini melalui fase-fase pembersihan, fase-fase
penangkapan, fase-fase kalau perlu … pembunuhan."
Saya kira Sukarno benar ketika
menceritakan perbedaan antara Stalin dan Trotsky dalam soal
internasionalisme. Adalah Stalin juga yang tanpa berunding dengan siapa
pun membubarkan Communist International (Comintern) pada tahun 1943.
Stalin berpegang pada ide bahwa sosialisme bisa dibangun dalam sebuah
negeri sendirian tanpa revolusi sosialis meluas ke negeri lain. Dalam
perbandingannya perihal “revolusi permanen”, Sukarno menangkap salah
satu aspek jiwa perbedaan Stalin dan Trotsky, meskipun keliru
menjelaskan apa yang dimaksud oleh Trotsky dengan konsepnya “revolusi
permanen”.
Adalah jelas sekali bahwa kegiatan untuk
memperluas revolusi ke negeri lain maupun ke berbagai aspek negeri Uni
Soviet sendiri berlawanan dengan politik “melalui fase-fase pembersihan,
fase-fase penangkapan, fase-fase kalau perlu…pembunuhan.” Trotsky
adalah lawan daripada praktek-praktek kediktatoran birokrasi Stalin.
Tetapi konsep “revolusi permanen” sebenarnya tidak tertuju ke sana.
Di
kalangan kaum sosialis pada tahun-tahun 1910-1925 ada tiga sikap
terhadap fase-fase yang harus dialami revolusi. Adalah kaum Menshevik
(yang zaman sekarang akan disebut social democrat) yang bersikap bahwa
sosialisme hanya mungkin kalau kapitalisme itu sendiri sudah berkembang
sematang-matangnya dan adalah tugas kelas borjuis untuk memimpin negeri
sampai tercapailah kematangan tersebut. Kelas proletar dan
partai-partainya harus tunggu saja dan bertindak sebagai opposisi dulu.
Trotsky, dengan konsep “revolusi
permanennya” berpendapat bahwa kelas proletar bukan hanya harus merebut
kekuasaan politik negara tetapi akan harus juga langsung mengambil alih
semua alat produksi (termasuk tanah) dan menyosialiskannya di bawah
pemerintah yang dikuasainya. Aliran ketiga yang disuarakan oleh Lenin
ialah bahwa matang atau tidak matang kapitalisme Rusia, kalau kelas
proletar bisa merebut kekuasaan politik harus direbut. Apakah semua alat
produksi, apalagi tanah yang diinginkan kaum petani miskin, memang
langsung dinasionalisasikan, harus tunggu melihat kemampuan kekuatan
revolusioner sebelum masuk fase itu.
Informasi tentang tiga aliran ini memang
belum jelas beredar secara internasional tahun 1950an dan bahkan masih
diperdebatkan sampai sekarang. Keliru atau tidak keliru, analisanya
Sukarno secara keseluruhan, sudah jelas bahwa Suakrno mau menekankan
bahwa mobilisasi massa secara revolusioner –keterlibatannya di kehidupan
politik negeri secara menentukan– harus terus menerus. Seharusnya tidak
boleh dibekukan lewat birokrasi dengan “pembersihan,… penangkapan,…
pembunuhan.” (Tetapi pada tahun 1960an terjadi juga kontradiksi antara
konsep politik Sukarno di bidang politik mobilisasi massa dan akibat
penolakan dia terhadap demokrasi parlementer yang sangat memperlemah
kekuatan gerakannya sebagai gerakan yang demokratis.)
Setelah melakukan perbandingan dua jalan
revolusi itu bagaimana Sukarno menarik pelajaran bagi negeri Indonesia
sendiri? Dalam pidato yang sama Sukarno mengatakan:
Kita bagaimana saudara-saudara?
Sebagai tadi pada permulaan saya katakan, kita tidak dapat
menyelenggarakan satu masyaralat adil dan makmur di dalam negeri kita
ini jika kita menjalankan politik isolasionisme pula. Kita harus mencari
hubungan dengan bangsa-bangsa lain atas dasar persamaan, atas dasar
daulat sama daulat, atas dasar mutual benefit, menguntungkan dan
diuntungkan.... bahwa kita menghadapi pula imperialisme internasional,
tak dapat kita melepaskan diri kita dari bekerja sama dengan
bangsa-bangsa yang juga menentang imperialisme itu.
Dari sini sikap Sukarno jelas juga tidak
setuju konsep negeri dibangun di belakang sebuah tirai besi sebagaimana
yang dilakukan Stalin. Sukarno bukan seorang yang bersikap
“anti-asing”, tetapi –kalau boleh pinjam sebuah frase Pramoedya Ananta
Toer dalam konteks lain– dia adalah seorang “anak semua bangsa”, yang
banyak mengelaborasi ide-ide dari banyak sumber dari seluruh dunia.
[Historia]