MB.com, OPINI - “Jagalah dirimu baik-baik terhadap itu,
kalian Manusia-Manusia Lebih Tinggi! Karena tidak ada yang aku anggap
lebih berharga dan langka dewasa ini kecuali kejujuran.” Demikian
Zarathustra. Saat itu, ia berumur 40 tahun. Sebelumnya, selama 10 tahun,
ia memilih jalan sunyi. Ia Kembali.
Kejujuran memang sesuatu yang langka dan
berharga. Reformasi yang meruntuhkan rezim Orde Baru sepenuh-penuhnya
adalah gelombang perubahan yang diniatkan untuk menegakkan kejujuran.
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) ialah puncak ketidakjujuran yang
ditolak oleh gelombang reformasi. Hari ini Kejujuran mungkin telah
dianggap klise.
Seberapapun klisenya bagi sebagian yang
ingin melupakan reformasi, pada gelombangnya kita mencatat nama Elang
Mulia Lesmana, Hafidhin Royan, Hery Heriyanto, dan Hendriawan Lie yang
menjadi martir atas impian tegaknya kejujuran di republik ini. Juga ada
Yap Yun Hap, anak muda yang tewas ditembak demi hal yang sama:
Kejujuran.
Gelombang besar itu, hari ini seakan
telah dibikin surut. Ia seperti buih-buih dalam obrolan nostalgia.
Sekedar ala kadarnya. Memang, sekarang telah “berdiri kokoh” gedung
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Gedung ini dibalut spanduk besar
dengan tulisan gagah, “Berani Jujur Hebat!”
Seperti slogan anti Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme, saat reformasi menggelombang, begitu juga spanduk dan stiker
“Berani Jujur Hebat” adalah hasrat yang ingin terus digemakan oleh
sebahagian kita. Suara ini semacam gema dari hasrat orang-orang
kebanyakan yang ada di tepian republik. Suara yang sesekali timbul,
namun acap tenggelam oleh kebisingan politik harian. Tertangkal oleh
ramainya transaksi pasar politik.
Pada pasar politik kepentingan menjadi
mantra yang membutakan nalar publik. Mantra yang membuat niat baik tak
terdengar. Mantra yang menjadi matra. Pedoman untuk mematrikan
kekuasaan. Menjaga hasrat akan kemewahan hidup yang jumawa.
Atas hasrat yang jumawa ini lamat-lamat
khalayak menjadi samar. Khalayak dibikin asyik oleh akrobat politik.
Hingga tak hirau pada urusan tukar-menukar di pasar politik. Bahwa,
menjadi berlimpah kemewahan dalam sekejap adalah sesuatu yang baik-baik
saja. Lalu, seakan, tak ada kejahatan di situ. Menjadi pemimpin dan juga
pejabat adalah sehat, dan akan lebih bugar kalau sekaligus menjadi kaya
mendadak. Jadi, itu bukanlah sihir.
Zarathustra bernasihat pada apa yang ia
sebut dengan Manusia-Manusia Lebih Tinggi. “Karena dewasa ini
orang-orang picik telah menjadi tuan dan penguasa: mereka mengkhotbahkan
penyerahan dan penurutan dan kehati-hatian dan kerajinan dan timbang
rasa dan kebajikan-kebajikan picik lainnya yang bermacam-macam.”
Isyarat tokoh dalam karya Friedrich
Nietzsce ini seakan menemui bentuk dalam lapak-lapak pasar politik kita.
Kepicikan menjadi-jadi dalam kemasan kebajikan yang klimis dan necis.
Kesantunan menjadi bungkus yang memendam bau busuk. Bau yang tersamar
dalam kebajikan-kebajikan, dan pada endapan yang terdalam, ia adalah
racun yang mematikan.
Kejujuran dan dusta seperti air dan
minyak. Kata Zarathustra, “Mereka menyombong bahwa mereka tidak
berdusta: tetapi ketidakmampuan berdusta itu sama sekali bukan cinta
pada kebenaran.” Begitulah, mereka mungkin memang merasa tak berdusta.
Bahwa, mereka “jujur” mencintai kemewahan dengan cara yang jumawa.
“Ketika engkau sampai pada tujuanmu,
ketika engkau meloncat turun dari kudamu: justru pada ketinggianmu,
engkau Manusia Lebih Tinggi, akan tersandung!” Begitulah taklimat
Zarathustra. Dan, kejujuran bukanlah nostalgia.
(dadang rhs)