Logo

Logo
Latest News
Friday, September 5, 2014

Komposisi Musim Transisi

MB.com OPINI - Kalau ada rezim baru biasanya ada jargon baru. Istilahnya sendiri belum tentu baru. Bisa saja istilah lama yang tiba-tiba jadi primadona. Hari ini, begitu Joko Widodo terpilih sebagai presiden baru, ada sepatah istilah yang tiba-tiba banyak tingkah. Itulah “transisi”.

Mengiringi tampilnya Jokowi, ramai media menyebut-nyebut “rumah transisi”, “kantor transisi”, dan “tim transisi”. Bisa diduga, kebutuhan jurnalis Indonesia akan kata transisi dalam dua bulan terakhir ini mengalami lonjakan signifikan. Nilai istilah transisi pasti naik di bursa kata. Inilah musim transisi.
Apa itu transisi? Itulah peralihan dari satu ke lain keadaan. Orang memakai istilah itu manakala keadaan lama hampir berakhir dan keadaan baru segera bermula. Ketika Presiden SBY sebentar lagi meninggalkan istana, dan Presiden Jokowi tak lama lagi bakal dilantik, berlangsung transisi di antara kedua titik.  

Ada kalanya peralihan menimbulkan kerisauan. Prosesnya bukan hanya penting, melainkan juga genting. Contoh ekstrem adalah peralihan dari hidup ke mati yang disebut sekarat. Itu benar-benar gawat. Contoh lain adalah senjakala, peralihan dari siang ke malam, tatkala anak-anak dilarang berkeliaran. Itulah inspirasi bagi seni instalasi karya seniman Malaysia Zulkifli Yusoff pada 1997 yang dikasih judul: “Don’t Play During Maghrib”.

Masa peralihan bisa disebut pula masa pancaroba. Dalam masa itu udara tidak menentu. Angin besar bertiup. Suasana hati galau dan kalut. Banyak orang batuk. Tidak sedikit kepala pening. Bahkan ada yang “masuk angin”, satu-satunya gejala kesehatan yang hanya dikenal di Indonesia: orang asing tak kunjung paham, bagaimana angin bisa masuk ke tubuh Indonesia?

Betapapun, selama waktu belum berhenti, transisi tidak dapat dihindari. Waktu bergerak mulus seperti awan berarak. Waktu berlangsung cepat bagai angin bertiup. Segalanya niscaya bergeser, berpindah, berubah.

Soalnya adalah bagaimana melangsungkan transisi? Saya sendiri rabun politik. Yang pasti, kalau di kampus kami mahasiswa sedang belajar menulis komposisi, mereka pasti berkenalan dengan apa yang disebut transition words. Itulah kata-kata yang berfungsi seperti jembatan buat merangkaikan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain, menyambungkan paragraf yang satu dengan paragraf berikutnya.

Jembatan kata semacam itu cukup banyak. Ada yang bersifat additive buat menambahkan, memperinci, dsb. Ada pula yang bersifat adversative buat memberikan tekanan, menegaskan perbedaan, dsb. Ada yang bersifat causal buat menunjukkan hubungan sebab-akibat, titik tolak dan titik tuju, dsb. Ada pula yang bersifat sequential buat menghitung, menakar, menyimpulkan, dsb.

Dengan itu, diupayakan agar gelombang yang timbul dalam arus gagasan mengalun mulus, tidak terputus-putus. Susunan paragraf yang melonjak-lonjak, jungkir balik sarat akrobat, dianggap tidak bagus.

Menurut kelaziman komposisi, juga menurut citraan media, transisi dari paragraf SBY ke paragraf Jokowi bukanlah tikungan tajam. Citraan demikian dibuat dengan pajangan potret dua senyum dari dua presiden di Nusa Dua. Bahkan, dengan agak berlebihan, dikatakan, inilah tradisi baru dalam peralihan kekuasaan di Indonesia. 

Hal-ihwal yang bikin risau dan galau, soal-soal pancaroba dan masuk angin, tak begitu terkabarkan. Cuma disinggung-singgung sambil lalu bahwa belasan proyek raksasa yang sedang berjalan jangan sampai mendadak dihentikan. Hanya disebut-sebut sambil lewat bahwa ada urusan yang kurang enak sehubungan dengan subsidi minyak. Apa boleh buat, namanya juga “pertemuan tertutup”.

Boleh jadi, sebagaimana lazimnya dalam banyak komposisi, sempat terlontar jembatan kata yang dulu sering diucapkan oleh mendiang Pak Timbul di atas panggung Srimulat. Bunyinya, “Akan tetapi...” Kita semua menanti kelanjutan kalimatnya. Namun, seperti biasa, Pak Timbul justru berhenti di bagian “akan tetapi”. Itulah parodi momen transisi.

Karena Rumah Transisi bukan panggung Srimulat, saya sendiri berharap, komposisi Indonesia baru yang sedang disusun di situ tidak berhenti dengan “akan tetapi”. Moga-moga kompisisi itu enak dan perlu dibaca. Kata guru kesusastraan yang gemar mengutip istilah Latin, komposisi begitu disebut dulce et utile.


(Hawe Setiawan, Staf pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra, Universitas Pasundan, Bandung)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Komposisi Musim Transisi Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi