MB.com OPINI - Kalau ada
rezim baru biasanya ada jargon baru. Istilahnya sendiri belum tentu
baru. Bisa saja istilah lama yang tiba-tiba jadi primadona. Hari ini,
begitu Joko Widodo terpilih sebagai presiden baru, ada sepatah istilah
yang tiba-tiba banyak tingkah. Itulah “transisi”.
Mengiringi
tampilnya Jokowi, ramai media menyebut-nyebut “rumah transisi”, “kantor
transisi”, dan “tim transisi”. Bisa diduga, kebutuhan jurnalis Indonesia
akan kata transisi dalam dua bulan terakhir ini mengalami lonjakan signifikan. Nilai istilah transisi pasti naik di bursa kata. Inilah musim transisi.
Apa itu transisi?
Itulah peralihan dari satu ke lain keadaan. Orang memakai istilah itu
manakala keadaan lama hampir berakhir dan keadaan baru segera bermula.
Ketika Presiden SBY sebentar lagi meninggalkan istana, dan Presiden
Jokowi tak lama lagi bakal dilantik, berlangsung transisi di antara
kedua titik.
Ada kalanya
peralihan menimbulkan kerisauan. Prosesnya bukan hanya penting,
melainkan juga genting. Contoh ekstrem adalah peralihan dari hidup ke
mati yang disebut sekarat. Itu benar-benar gawat. Contoh lain adalah
senjakala, peralihan dari siang ke malam, tatkala anak-anak dilarang
berkeliaran. Itulah inspirasi bagi seni instalasi karya seniman Malaysia
Zulkifli Yusoff pada 1997 yang dikasih judul: “Don’t Play During Maghrib”.
Masa
peralihan bisa disebut pula masa pancaroba. Dalam masa itu udara tidak
menentu. Angin besar bertiup. Suasana hati galau dan kalut. Banyak orang
batuk. Tidak sedikit kepala pening. Bahkan ada yang “masuk angin”,
satu-satunya gejala kesehatan yang hanya dikenal di Indonesia: orang
asing tak kunjung paham, bagaimana angin bisa masuk ke tubuh Indonesia?
Betapapun,
selama waktu belum berhenti, transisi tidak dapat dihindari. Waktu
bergerak mulus seperti awan berarak. Waktu berlangsung cepat bagai angin
bertiup. Segalanya niscaya bergeser, berpindah, berubah.
Soalnya
adalah bagaimana melangsungkan transisi? Saya sendiri rabun politik.
Yang pasti, kalau di kampus kami mahasiswa sedang belajar menulis
komposisi, mereka pasti berkenalan dengan apa yang disebut transition words. Itulah
kata-kata yang berfungsi seperti jembatan buat merangkaikan kalimat
yang satu dengan kalimat yang lain, menyambungkan paragraf yang satu
dengan paragraf berikutnya.
Jembatan kata semacam itu cukup banyak. Ada yang bersifat additive buat menambahkan, memperinci, dsb. Ada pula yang bersifat adversative buat memberikan tekanan, menegaskan perbedaan, dsb. Ada yang bersifat causal buat menunjukkan hubungan sebab-akibat, titik tolak dan titik tuju, dsb. Ada pula yang bersifat sequential buat menghitung, menakar, menyimpulkan, dsb.
Dengan itu,
diupayakan agar gelombang yang timbul dalam arus gagasan mengalun mulus,
tidak terputus-putus. Susunan paragraf yang melonjak-lonjak, jungkir
balik sarat akrobat, dianggap tidak bagus.
Menurut
kelaziman komposisi, juga menurut citraan media, transisi dari paragraf
SBY ke paragraf Jokowi bukanlah tikungan tajam. Citraan demikian dibuat
dengan pajangan potret dua senyum dari dua presiden di Nusa Dua. Bahkan,
dengan agak berlebihan, dikatakan, inilah tradisi baru dalam peralihan
kekuasaan di Indonesia.
Hal-ihwal
yang bikin risau dan galau, soal-soal pancaroba dan masuk angin, tak
begitu terkabarkan. Cuma disinggung-singgung sambil lalu bahwa belasan
proyek raksasa yang sedang berjalan jangan sampai mendadak dihentikan.
Hanya disebut-sebut sambil lewat bahwa ada urusan yang kurang enak
sehubungan dengan subsidi minyak. Apa boleh buat, namanya juga
“pertemuan tertutup”.
Boleh jadi,
sebagaimana lazimnya dalam banyak komposisi, sempat terlontar jembatan
kata yang dulu sering diucapkan oleh mendiang Pak Timbul di atas
panggung Srimulat. Bunyinya, “Akan tetapi...” Kita semua menanti
kelanjutan kalimatnya. Namun, seperti biasa, Pak Timbul justru berhenti
di bagian “akan tetapi”. Itulah parodi momen transisi.
(Hawe Setiawan, Staf pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra, Universitas Pasundan, Bandung)