MB.com, Resensi - Membaca novel ini kita seolah tak menemukan diri penulisnya, atau kekuatan karya-karya dia sebelumnya.
Sulaman, tokoh utama dalam novel ini,
merasa politik bukan dunianya. Ia bukan hanya tak tertarik, tapi juga
ngeri karena politik acap dipakai sebagai alat pemaksa. Dan ia selalu
punya jawaban ketika ia ditanya mengenai aktivitas politiknya.
“Politik bukan beban. Ia cuma senjata
untuk membebaskan umat manusia. Maksudku politik yang benar,” ujar Irma,
yang rumah orangtuanya pernah jadi tempat persembunyian abang Sulaiman
ketika dikejar-kejar Belanda.
“Umat manusia tak akan serentak dan
sekaligus bebas. Memerlukan mungkin ribuan tahun dan tidak hanya oleh
satu aliran politik,” balas Sulaiman.
Membaca novel ini kita langsung tahu
bahwa Sulaiman adalah adik dari pemimpin Partai Komunis Indonesia, Dipo
Nusantara Aidit. Artinya ini semacam novel-memoar Asahan Alham,
pengaragnya. Tapi, menyebut nama partai dan tokoh itu tak lalu
menjadikan novel ini kental berbau politik. Keseharian tokoh utamanya
sendiri jauh dari kesan itu. Meski Sulaiman mendapat tugas dari abangnya
untuk mengurus perpustakaan partai, merapikan dokumen-dokumen penting,
ia lebih memilih organisasi renang, main biola, dan… memekarkan
bunga-bunga cinta dengan beberapa gadis di usianya yang masih muda.
Asahan Alham–sebelumnya bernama Asahan
Aidit–lahir di Belitung pada 1938. Ia pernah mengecap pendidikan di
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Pada 1966, ia menamatkan studi di
Fakultas Filologi Universitas Moskow dan mendapat gelar M.A. Pada 1975
ia mempelajari bahasa dan sastra Vietnam di Universitas Hanoi dan tiga
tahun kemudian mempertahankan disertasinya sehingga mendapat gelar Phd.
Peristiwa 30 September 1965 membuatnya jadi pelarian politik di negeri
orang dan tak bisa pulang ke negeri sendiri.
Ia sudah menulis sejak remaja. Sejumlah tulisannya muncul di Waktu, Mimbar Indonesia, Merdeka, Sunday Courier, dan sejumlah ruang kebudayaan di koran-koran Jakarta tahun 1950-an. Azalea adalah novel ketiga Asahan Alham setelah Perang dan Kembang (2001) dan Alhamdulillah (2006). Selain itu ia telah menerbitkan kumpulan cerita pendek Perang, Cinta dan Ilusi (2006) dan kumpulan sajak 23 Sajak Menangisi Viet Tri (2000).
Pahit-getir pengalaman hidupnya kemudian menjadi latar belakang novel-novelnya. Dalam Perang dan Kembang,
Asahan Alham mengecam tragedi 1965 yang mengakibatkan manusia tidak
berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam,
tokoh utama dalam novel itu. “Semua orang bisa dituduh komunis asal yang
menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis,
boleh dibunuh seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap seperti
menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu,
diambil dan dimakan.”
Tapi ia juga bukan pembela partai, yang notabene diketuai abangnya. Di novel Alhamdulillah,
misalnya, Asahan mengaku Marxis tapi yang abangan. “... Saya memang
pantas termasuk yang Marxis abangan, Patriot abangan, Islam abangan,
Nasionalis abangan dan semua saja yang abangan...” tulisnya dalam Alhamdulillah. Dalam novel Alhamdulillah, seperti judulnya, Asahan juga seolah merasa bersyukur bisa terbebas dari belenggu otoritas partai.
“Dari awal sampai akhir, Asahan
menempatkan diri sebagai pembelot, melancarkan kecaman dan kritik-kritik
tajam terhadap pimpinan kelompok partainya di Vietnam yang tunduk
kepada pimpinan lebih tinggi di Beijing, di mana mereka menempatkan
ajaran Ketua Mao sebagai haluan partai secara membabibuta (fanatik),”
tulis Soeprijadi Tomodihardjoa dalam “Roman Memoar Pengarang Abangan.”
Dalam Azalea, Asahan seolah
kembali ke belakang, di masa mudanya ketika ia mencari kebebasan. Pada
bagian pertama, Percobaan Cinta, ia langsung menceritakan bagaimana
tingkah lakunya ketika duduk di kelas dua SMA.
Sulaiman jatuh hati pada Maya, guru
Bahasa Prancis yang berusia 22 tahun. Untuk menarik perhatian guru muda
itu, ia selalu ancur-ancuran dalam pelajaran bahasa Prancis. Mata
pelajaran lain ia mendapat nilai baik, bahkan guru bahasa Inggris
memujinya. Ternyata itu hanya taktik agar Sulaiman mendapat panggilan
dari Maya. Ketika ditanya alasannya, Sulai menjawab, “Guru bahasa
Inggris tidak secantik guru bahasa Prancis,” katanya.
Itulah awal cerita dari roman-memoar
setebal 293 halaman ini. Dari situ kita bisa menebak kelanjutannya:
Sulai akan menjalani petualangan cinta dengan Maya, juga gadis-gadis
lainnya yang dekat dan jatuh hati padanya. Ada perempuan lain yang ikut
mewarnai keremajaan Sulai, di tengah pencarian jati diri dan kehidupan
politik yang mewarnai keluarganya.
Tapi novel ini tak semata kisah playboy
doyan main perempuan, yang menjadikan novel ini seolah roman picisan. Di
balik itu, jika dibaca secara cermat, kita akan menemukan fakta sejarah
tersembunyi: ada sedikit kisah mengenai abangnya, DN Aidit, dan Sobron
Aidit. Melalui roman-memoar ini terkesan, Asahan hendak melepaskan
tekanan sosial-politik yang menimpa diri dan keluarganya.