Logo

Logo
Latest News
Monday, August 18, 2014

Kami Merdeka Karena Berjuang, Bung!

(Tanggapan atas artikel AH “Kemerdekaan Indonesia Earned atau Given”)

Lewat tengah malam saya tergugah sejenak, membalikkan lembar demi lembar catatan usang yang saya peroleh dari Ki Harsono. Beliau adalah kerabat Kraton Dalem Yogyakarta Hadiningrat yang separuh usianya mengalami masa kependudukan Jepang dan Belanda. Saat ini, usia beliau kurang lebih 90an tahun dengan ingatan yang masih segar. Petuah-petuah filosofis mengalir deras dari kecerdasannya yang seakan-akan tak lekang dimakan zaman. Jika saya pulang ke Yogya, sedapat mungkin untuk anjangsana ke kediamannya di JL. Pringgokusuman sebelah Barat Malioboro. Kedekatan saya dengan beliau tidak sebatas karena kami tergabung dalam komunitas pelajar studi Filsafat Suryomentaram, melainkan juga beliau adalah salah satu dari sedikit sesepuh yang memahami Falsafah Denah Kraton Yogyakarta. Bagi pembaca yang pernah mengunjungi Kraton Yogyakarta, sesungguhnya terdapat peninggalan intangible tiada duanya di dunia ini sejak pendiri Kota Yogyakarta, Pangeran Mangkubumi. Peninggalan tersebut berupa tata letak kraton dan kota yang seluruhnya bermakna filosofis dari selatan sampai ke utara. Dan, satu-satunya manusia Jawa yang mengawali penerjemahan denah tersebut secara lengkap adalah Suryomentaram.

Ki Harsono pernah menceritakan kepada saya bagaimana rakyat Yogya, abdi kraton, para pangeran, dan gerilyawan (Laskar Mataram) saling bahu-membahu untuk mempertahankan dan merebut kembali Yogyakarta dari Kolonialis Belanda sebelum masa Proklamasi sampai berakhirnya Agresi Militer Belanda II. Salah satu istilah yang baru saya kenal, yaitu ‘golong pipit’. Istilah ini mengandung arti gerak sinergis bersama-sama seluruh lapisan rakyat yang didorong oleh rasa tidak mau dijajah. Suryomentaram kala itu menyuarakan pidato untuk membakar semangat juang di kalangan masyarakat Yogya. Pidato itu dikenal dengan julukan ‘ Jimat Perang’, yang intinya “Rasa mati itu tidak ada. Tidak ada orang pernah merasa mati. Orang selalu merasa hidup.” Pidato tersebut dibukukan dan masih tersimpan.  Suryomentaram kerap memberikan petuah atau ‘wejangan’ kepada rakyat bahwa bangsa ini dapat dijajah karena memiliki sifat/karakter terjajah (Bhs. Jawa= Jemajah). Kita dapat kilas balik menengok ke belakang bagaimana keserakahan akan gelimang harta, kedudukan, dan kekuasaan di lingkungan kerajaan-kerajaan di nusantara membuka peluang bagi Kolonialis Belanda untuk melancarkan taktik ‘Devide et Impera’ (adu domba). Pemahaman ini yang melatarbelakangi Suryomentaram dan Ki Hajar Dewantara untuk mengumpulkan dan menggembleng para kawula muda agar memupuk rasa persatuan melalui pendidikan dan angkatan perang. Hingga kini, terdapat kontroversi kelahiran PETA apakah atas inisiatif Jepang atau Suryomentaram
.
Paparan kedua alinea di atas merupakan sebuah bukti nyata bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia adalah rintisan sejarah panjang leluhur negri ini dengan pengorbanan para pejuang. Penulis AH tanpa data-data dan penelusuran yang komprehensif mengesankan bahwa kemerdekaan Bangsa Indonesia tidak lepas dari pemberian negara asing, ironisnya dari si penjajah sendiri.
Kekurangan penulis ialah cenderung melakukan penilaian sepihak dengan menafikan banyak fakta sejarah yang sebenarnya membantah gagasannya sendiri. Padahal, sejarah merupakan bidang keilmuan yang lebih mengutamakan fakta-fakta daripada opini. Ini yang membedakan seorang pengamat politik dan sejarawan. AH lagi-lagi memberikan nuansa politis untuk mengulas kemerdekaan Indonesia. Apa buktinya? Perhatikan opini pengantarnya berikut ini:
Bicara topik ini, memang agak sensitif. Selama ini kita diajarkan bahwa nilai suatu kemerdekaan amatlah sempurna bila diraih melalui perjuangan. Berulang kali entah di sekolah ataupun di rumah ibadah, kita sering didoktrin bahwa kita merdeka berkat bambu runcing dan takbir. Sementara itu apabila suatu kemerdekaan datang berkat pemberian dari sang penjajah, maka nilai kemerdekaan tersebut dianggap hilang. Acapkali negara yang merdeka seperti jalan terakhir ini dicap sebagai “negara boneka” persis seperti yang dituduhkan terhadap Malaysia pada era 60-an.
Tampak klaim-klaim sepihak yang selanjutnya akan ia kembangkan dengan data-data yang purposive (telah ditentukan). Alinea-alinea berikutnya, Penulis semakin menguatkan opini. Artinya, ia mengarahkan pembaca untuk memaklumi bahwa seorang AH dapat berpikir dan menulis opini yang baginya sensitif itu.

Tentu aneh memang bila menyebut pula kemerdekaan tersebut adalah pemberian Sekutu. Hingga kini tidak pernah ada dokumentasi bukti bantuan senjata maupun intelijen saat itu. Segala sesuatu secara kebetulan berjalan mulus di pihak Indonesia. Sungguh ironis dan patut disesali memang bila tragedi bom atom yang dipandang sebagai tragedi kemanusiaan di satu sisi namun di sisi lain menjadi pintu harapan bagi kemerdekaan bangsa ini.


Alinea ini memuat sesat pikir ‘post hoc ergo propter hoc’ (post hoc fallacy) yang berpola jika A terjadi sebelum B, maka A adalah penyebab B, atau sebaliknya karena B terjadi setelah A, maka B disebabkan oleh A. Kesalahan terjadi dengan anggapan bahwa dua hal yang terjadi bersamaan atau secara kronologis berurutan memiliki korelasi yang signifikan.
Pernyataan bahwa tragedi bom atom menjadi pintu harapan bagi kemerdekaan menafikan alasan sekutu membombardir Hiroshima dan Nagasaki. Dan, apakah dengan surutnya pasukan Jepang kembali ke negaranya menunjukkan bahwa kemerdekaan Indonesia telah diraih? Sama sekali tidak! Pertempuran Surabaya 10 November 1945, Palagan Ambarawa, Perjuangan Gerilya Jenderal Soedirman, Bandung Lautan Api, Pertempuran Medan Area, Pertempuran Margarana, Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang, Pertempuran Lima Hari, di Semarang,  tragedi pembantaian Westerling 1946/47 di Sulawesi Selatan, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, dan Serangan Umum Surakarta pada tanggal 7-10 Agustus 1949  adalah peristiwa sejarah yang tak terlupakan. Agresi Militer Belanda I dan II tidak menyisakan kesempatan bagi Bangsa Indonesia untuk segera lepas dari belenggu penjajahan.

Jadi, tiada tolok ukur bagi penulis untuk merasa aneh andai kemerdekaan Indonesia adalah pemberian Sekutu. Mengapa?

Setelah kekalahan pihak Jepang dari sekutu, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana-mana melawan tentara AFNEI dan pemerintahan NICA. (Wikipedia)

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Tak perlu merasa aneh atau mengajak pembaca untuk ikut aneh, lha alasan keanehan itu dibantah oleh fakta sejarah.
Penulis lantas mengisahkan kembali peran Jepang terhadap kemerdekaan Indonesia. Namun, awalnya ia sudah menjawab sendiri bahwa “Tujuannya jelas. Ketika Sekutu mencapai Indonesia, maka Jepang berharap supaya Indonesia bertempur disisi mereka.” Bukankah ini merupakan strategi Jepang yang ternyata dimanfaatkan pula oleh bapak-bapak pendiri bangsa kita? Amat jauh dari kesan kemerdekaan yang diberikan (given).

Sejak kemerdekaan diproklamirkan, beberapa negara di kawasan Arab dan Vatikan turut memberi pengakuan kedaulatan kepada Indonesia, tetapi direcoki lagi dengan adanya Agresi Militer Belanda I dan II. Agresi militer Belanda kedua mengundang reaksi dan kecaman dari dunia internasional. Belanda dinilai mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia, pun dianggap tidak menghormati setiap persetujuan yang dibuatnya. Oleh karena itu, tanggal 28 Januari 1949 Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang memerintahkan penghentian semua operasi militer Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya tentara RI. Demikian juga, Amerika Serikat memberikan tekanan politik kepada Belanda. Amerika Serikat mengancam tidak akan memberikan bantuan dana dari program Marshall Plan kepada Belanda.

Ketika Belanda melakukan Agresi Militer II, puncak serangan TNI dilaksanakan pada 1 Maret 1949 yang terkenal dengan sebutan Serangan Umum. Inisiatif serangan bermula dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Ia berpendapat bahwa Indonesia perlu membuat kejutan yang mampu membuka pandangan dunia terhadap perjuangan Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Sri Sultan Hamengkubowono IX mengirim surat kepada Soedirman untuk meminta persetujuan agar diadakan serangan umum.


Akibat terus menerus mendapatkan tekanan politik dari dunia internasional dan semakin besarnya kemampuan pasukan RI melancarkan serangan gerilya, akhirnya Belanda menerima resolusi yang diajukan DK PBB. Resolusi PBB itu telah mengakhiri aksi Belanda dalam Agresi Militer Kedua.
Pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Ratu Juliana yang mewakili Kerajaan Belanda pada tanggal 27 Desember 1949  tidak berarti bahwa kemerdekaan Indonesia adalah suatu pemberian. Bangsa ini harus mengerahkan segenap perlawanan fisik dan diplomasi/perundingan. Tidak ada yang cuma-cuma. Upaya memerdekakan tanah air bertaruh harta dan nyawa. Kolonialis Belanda bahkan tidak mampu untuk kembali berperang menghadapi Indonesia. Banyak tentara Belanda desersi dan melarikan diri. Atas dasar itu, kemerdekaan Indonesia adalah konsekwensi logis kekuatan Kolonialis Belanda yang melemah dan semangat juang rakyat Indonesia yang semakin menyala-nyala.

Jas Merah “Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah”
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Kami Merdeka Karena Berjuang, Bung! Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi