Tradisi perang berkuda di Sumba memang sudah dijinakkan, diperhalus guna
mencegah korban nyawa. Tapi status kuda sebagai bagian identitas
kultural masih bertahan.
Di Texas, 1858, perbudakan terhadap kulit hitam menjadi-jadi. Seorang
budak, Django namanya, yang tentu saja berkulit hitam, melakukan
tindakan keliru sekaligus mencengangkan: membunuh dan mengendarai kuda.
Dalam konteks masa itu, dua tahun menjelang perang sipil, aksinya
dinilai tidak pantas—aksi yang membuat warga di Daughtry, Texas,
terkejut, membelalakkan mata.
Kuda dalam film Django Unchained itu bagaikan sebuah simbol
tentang kebebasan, garis yang memisahkan antara budak dan tuannya. Kuda
mewakili status sosial, menentukan di kasta mana seseorang berada—kaum
penindas atau tertindas.
Kuda-kuda Sumba di padang rumput di Mbrukulu, Sumba Timur
Di Sumba, Nusa Tenggara Timur, perbudakan seperti dalam film garapan Quentin Tarantino itu tidak terjadi. Namun, cerita lain tentang kuda tercatatkan di salah satu pulau tepi selatan Indonesia ini. Cerita dramatis yang juga penuh simbol.
Di Waikabubak, sekarang Ibu Kota Kabupaten Sumba Barat, ribuan lelaki terlibat perang berkuda pada 1998, tidak berapa lama setelah Orde Baru terjungkal dari takhtanya. Dua puluh enam orang tewas, puluhan lainnya terluka, walaupun korban yang jatuh mungkin jauh lebih banyak dari yang terdata.
Seorang bocah memandikan kudanya di Waingapu, Sumba Barat
Ritual perang berkuda “yang berdarah-darah” di Sumba sesungguhnya telah
sejak lama dilarang rezim yang berkuasa. Pada 1866, pemerintah kolonial
Hindia Belanda mengutus hampir 2.000 tentara untuk menyerbu Sumba.
Pasalnya, perang berkuda antar-kabisu (daerah setingkat kecamatan) yang sulit ditertibkan di sana telah mengganggu “keamanan dan keteraturan sipil,” mengusik rust en orde dalam bahasa para pejabat kolonial.
Sumba dianugerahi sabana yang sangat luas membuatnya menjadi tempat yang cocok untuk mengembangbiakkan kuda
Pemerintah Republik, hampir satu abad kemudian, pada 1950, kembali
melarang tradisi perang berkuda, tapi dengan cara yang lebih lunak.
Perang berkuda, yang dalam bahasa setempat disebut Pahola atau Pasola,
telah dipermak agar “lebih ramah” dan “lebih aman.” Lembing bermata
tajam, senjata utama dalam Pasola, diganti dengan tombak kayu yang
tumpul. Pasola seperti hendak dijadikan atraksi budaya, sebuah ajang adu
ketangkasan, bukan lagi ritual di mana cucuran darah merupakan
konsekuensi adat yang sepatutnya dimaklumi.
Mata lembing, sebagaimana abad, boleh saja berganti. Tetapi tidak pada
kuda. Dalam Pasola, ritual untuk memperingati hari raya ajaran Marapu,
kuda merupakan elemen integral. Perang lembing di atas kuda akan dimulai
jika kuda nyale telah memutus “pita.” Kuda nyale,
kuda titisan dewi pesisiran yang bersemayam di dasar lautan, adalah kuda
yang pertama memasuki arena Pasola untuk memulai perang.
“Deke awaiyya lapa ndalu tanaka paiha ndara tanaka ambu wanga bahaya”
(aku seru air dalam tempayang ini untuk menyirami kuda, supaya tiada
dapat halangan dan marabahaya). Mantra tua itu dipakai dalam doa
pemberkatan kuda. Mantra berbahasa Kodi itu dilafalkan ketika kuda
hendak memasuki gelanggang Pasola. Mantra itu masih dipakai hingga kini
sekalipun Pasola sudah tidak menyimpan marabahaya yang gawat seperti
riwayatnya di masa silam. Ritual pemenggalan kepala musuh yang disebut
Katari, sudah tidak lagi berlaku.
Seorang pejuang Pasola berpose dengan kudanya
Kenapa kuda yang didoakan agar selamat, dan bukan penunggangnya? Di saat
berperang, sang penunggang boleh saja tewas. Namun kudanya harus tetap
hidup, karena ia sebuah penanda, simbol yang mewakili makna. Kuda akan
pulang sekalipun tanpa penunggang. Di Sumba, kuda begitu dihormati. Di
negeri dengan sabana yang luas ini, kuda bukan kendaraan pengangkut
barang, walau di beberapa tempat kuda penyakitan bermata lindap kadang
dipakai juga.
Kuda-kuda Sumba di peternakan di Mbrukulu
Kuda disebut ndara dalam bahasa setempat. Di Sumba, tidak ada
kuda yang diberi nama, sebab hewan ini dipandang hampir sejajar dengan
arwah nenek moyang, si penguasa semesta: njapu numa ngara, njapa taki tamo, zat
agung yang tak ter-nama-i. Bagi masyarakat Sumba, kuda bukan sekadar
tunggangan. Kuda merupakan turangga, kendaraan hidup yang tak bisa
dipisahkan dari kehidupan pribadi orang Sumba.
Kuda bagi masyarakat Sumba menyangkut identitas kebudayaan. Masyarakat pada umumnya memelihara kuda, tunggangan “kecil” sandalwood
yang sangat terkenal di zaman Hindia Belanda. Orang Inggris seabad
silam menyiapkan satu kapal khusus untuk mengangkut kuda-kuda dari
Sumba.
Di hamparan sabana, kuda-kuda liar merumput, berlarian, meninggalkan
debu yang terpantik dari tapal. Di makam-makam batu tua Marapu, kuda
peliharaan dipaut dan disakralkan. Ia dijadikan sesembahan untuk
mengantarkan roh dalam upacara kematian, sebagaimana ia juga dijadikan
belis atau mahar dalam perkawinan. Orang-orang di barat Sumba percaya,
memakan daging kuda akan mendatangkan bahaya ke dalam diri. Mereka boleh
memakan hewan apa saja, yang liar maupun yang dipelihara, kecuali kuda.
Di Sumba, anak kecil sudah dibiasakan dekat dengan kuda
Dan kuda-kuda Sumba tetap meringkik, tetap berlaga di medan perang di
perayaan-perayaan tertentu. Doa dan puja-puji terhadap kuda yang akan
turun berperang masih berdengung di Sumba sampai hari ini, dan terus
tumbuh subur dalam kepercayaan Marapu—kepercayaan animis-dinamisme yang
semakin redup ditelan kemeriahan agama-agama monoteis.
Seekor kuda Sumba sedang merumput di sabana
Peternakan kuda jamak ditemui di rumah penduduk di Sumba
Sekelompok kuda di padang rumput di wilayah Mbrukulu, Sumba Timur