Logo

Logo
Latest News
Wednesday, November 5, 2014

Megawati, Kebesaran Hati untuk Indonesia Raya


MB.com, TOKOH --- Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri, putri Bung Karno kelahiran Yogyakarta, 23 Januari 1947. Presiden Republik Indonesia ke-5, yang lazim disapa Bu Mega, sebelumnya Wakil Presiden RI ke-8 semasa pemerintahan singkat Presiden KH Abdurrahman Wahid.

Mega putri sulung Presiden RI pertama dari Fatmawati, semula menikah dengan Surendro. Letnan Satu Penerbang TNI AU, yang bersama seisi pesawatnya tahun 1970 raib dalam tugas penerbangan di Papua. Mas Pacul “pilot ganteng berkumis tebal” itu memberi Mega dua anak lelaki, Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki Pratama. Baru dalam pernikahan ketiga dengan Mohammad Taufik Kiemas, almarhum Ketua MPR-RI, Mega dikaruniai anak perempuan, Puan Maharani.

Sebagai lawan politik Jenderal Soeharto, Presiden RI semasa itu, kiprah politik Mega dirintis tahun 1986. Mega menghentak sejarah. Ibu rumah tangga ini mendobrak komitmen keluarga besar Sukarno yang dipaksakan oleh Orde Baru untuk berjanji bahwa anak-anak Sukarno tidak akan berpolitik praktis. Tahun 1986 itu, Mega bersedia menjadi Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Selama berkiprah di dunia politik, sejarah mencatat, Megawati selalu bersikap keukeuh terutama ketika berhadapan dengan dinding kokoh absolutisme Orde baru.
 
Sebagai perempuan pemimpin, Mega laik diteladani. Seperti figur perempuan pemimpin penerus trah ayahnya, Indira Gandhi atau Gloria Macapagal, yang mengilhami kiprah kaum perempuan di ranah yang selama ini didominasi politik maskulinitas.

Raya. Mulia. Indonesia Raya. Indonesia Mulia. “Apa tidak ada mata hati ya?” tanya Megawati saat bergurau dengan Najwa Shihab. “Apa yang menjadi mata hati Megawati, apa bisikan hati yang paling keras?” tanya Najwa dalam program talkshow MetroTv, Mata Najwa, pada 22 Januari 2014. “Mikir dulu... Apa ya? Susah. Inginnya saya, Indonesia Raya,” jawab Ketua Umum PDI Perjuangan ini dengan tangis tertahan.

Berbagai macam tafsir barang tentu bisa hinggap di benak kita, saat mendengar kata Indonesia Raya itu. Tapi tafsir paling kuat, “Indonesia Raya” adalah refleksi rasa cinta yang sangat besar kepada tanah air.

Mega putri sulung Bung Karno ini, melihat ayahnya, sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia yang mengantarkan bangsa negara ini meniti jembatan emas pintu gerbang kemerdekaan. Namun, Sukarno sang presiden pertama ini kemudian jatuh lantaran “kecelakaan politik tahun 1965”. Dan Mega, menjadi salah seorang saksi yang paling lekat dalam kejatuhan ayahnya itu.

Trauma politik sepanjang berbabak drama getir sejak Sukarno dijatuhkan, harus ditempuh Mega dalam masa sulit selama era Soeharto. Sejak awal Orde Baru, Jenderal Soeharto memasung kebebasan Bung Karno serta keluarganya. Termasuk, hak Mega untuk mengenyam pendidikan tinggi.
Suatu hari seorang tentara datang dan membawa surat perintah, dan berkata, “Mbak Mega tidak bisa kuliah lagi”. Mahasiswi Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung (1965-1967) ini pun terhenyak. Soeharto menghentikan kuliahnya karena dia Megawati binti Sukarno. Sama seperti nasib Guntur, kakaknya, yang di-drop out dari Institut Teknologi Bandung.

Tekanan politik terhadap Megawati akibat diseteru Soeharto semakin menguat. Ini memuncak pada 27 Juli 1996 saat kantor DPP PDI yang dipimpinnya di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat, diserbu oleh “massa pendukung Soerjadi” yang berbadan tegap, rambut cepak dan berkaos merah PDI. Peristiwa berdarah itu menjadi salah satu tonggak perjalanan politik yang harus dilalui Mega.

Ditilik dari rekam jejak itu, terlihat sikap keukeuh Mega kian mengental. Suka atau tidak, di bawah sikap kepemimpinan Mega itu juga, PDI Perjuangan terbukti berhasil banyak melahirkan pemimpin-pemimpin muda pengemban misi-misi kerakyatan. Terutama kader perempuan. Contoh, Rustriningsih (perempuan pertama yang menjadi bupati Kebumen), dan Rismaharini (perempuan pertama yang menjadi wali kota Surabaya). Juga, Joko Widodo (gubernur DKI Jakarta) dan Ganjar Pranowo (gubernur Jawa Tengah).

Penggemblengan pemimpin-pemimpin muda menuju estafeta kepemimpinan nasional, bagi Megawati punya makna tersendiri. “Saya ini kalau sudah serius sangat serius. Apalagi ini menyangkut soal kepentingan bangsa dan negara. Itu juga salah satu pesan Bung Karno: kamu harus betul-betul berpikir secara mendalam kalau soal negara karena dampaknya luar biasa,” katanya.
Dari cara pandang Mega tentang siapa bakal pemimpin yang pantas didukung itu, tergambar bahwa soal pencapresan Jokowi, adalah hasil dari proses dialektika yang mendalam. Bukan sekadar akibat desakan mayoritas suara pendukung PDI Perjuangan, maupun karena opini publik.

Dengan elektabilitas yang kian melejit, Jokowi telah memberi “darah segar” bagi PDI Perjuangan, Mega paham betul, tantangan yang dihadapi seorang capres. Sehingga, Mega niscaya bersikap rasional dalam memilih siapa yang layak capres PDI Perjuangan. Melalui Surat Perintah Harian yang dibacakan Puan Maharani, Ketua Badan Pemenangan Pemilu, pada 14 Maret 2014 Mega memberi mandat Joko Widodo (Jokowi) menjadi Capres PDI Perjuangan, pada momen yang tepat. Pemberian mandat Capres Jokowi itu terbukti menggerakkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia melonjak naik. Bahkan, 22 purnawirawan jendral TNI dan Polri pun menggelar konferensi pers mengapresiasi keputusan Mega. 

"Keputusan yang diambil Ibu Megawati benar-benar sebuah keputusan yang luar biasa. Di tengah-tengah kerinduan rakyat akan hadirnya pemimpin yang mau mendahulukan kepentingan bangsa, Ibu Mega telah memberi kesegaran dengan memberi mandat kepada Ir Joko Widodo," kata Luhut B Pandjaitan, juru bicara kelompok jenderal ini di Wisma Bakrie, Kuningan, Jakarta, Jumat (14/3/2014).

Mega berjiwa besar melepas hak dia menjadi capres, karena kebutuhan bangsa. Dia ikhlas mengantarkan rakyat republik ini untuk memilih siapa yang paling mampu mengemban amanat penderitaan rakyat dalam mencapai cita-cita perjuangan revolusi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pilihan Mega memberi Jokowi mandat partai, meski dia bukan trah Sukarno, merupakan keputusan tepat.

Pernyataan Mega tentang Indonesia Raya, ternyata juga berarti refleksi kebesaran hati seorang Ibu yang mengutamakan kepentingan bangsa. Maka begitu ada yang menyebut Mega sebagai Ibu Bangsa kendati dia risih dengan sebutan itu, dalam mitologi pewayangan, Ibu Mega bisa dipadankan dengan Ibu Kunthi. Ibunda para Pandawa, yang mengayomi seluruh anaknya, saat berjuang menentang ketidakadilan.

Puncak sikap keukeuh KeIndonesiaRayaan Mega itu terlihat pada Senin, 19 Mei 2014 di Gedung Joang ’45 dengan mendeklarasikan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla sebagai duet capres-cawapres Jokowi-JK yang diusung oleh koalisi tanpa syarat PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Hanura,dan PKPI.

Megawati Soekarno telah melangkah. Jalan yang ia idamkan adalah Indonesia Raya. Sebuah keriaan untuk itu segera kita jelang. Akankah riwayat akan impian itu terselenggara dengan saksama? Waktu akan menetapkan.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Megawati, Kebesaran Hati untuk Indonesia Raya Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi