MB.com, TOKOH --- Dyah Permata Megawati Setyawati
Soekarnoputri, putri Bung Karno kelahiran Yogyakarta, 23 Januari 1947.
Presiden Republik Indonesia ke-5, yang lazim disapa Bu Mega, sebelumnya
Wakil Presiden RI ke-8 semasa pemerintahan singkat Presiden KH
Abdurrahman Wahid.
Mega putri sulung Presiden RI pertama
dari Fatmawati, semula menikah dengan Surendro. Letnan Satu Penerbang
TNI AU, yang bersama seisi pesawatnya tahun 1970 raib dalam tugas
penerbangan di Papua. Mas Pacul “pilot ganteng berkumis tebal” itu
memberi Mega dua anak lelaki, Mohammad Prananda dan Mohammad Rizki
Pratama. Baru dalam pernikahan ketiga dengan Mohammad Taufik Kiemas,
almarhum Ketua MPR-RI, Mega dikaruniai anak perempuan, Puan Maharani.
Sebagai lawan politik Jenderal Soeharto,
Presiden RI semasa itu, kiprah politik Mega dirintis tahun 1986. Mega
menghentak sejarah. Ibu rumah tangga ini mendobrak komitmen keluarga
besar Sukarno yang dipaksakan oleh Orde Baru untuk berjanji bahwa
anak-anak Sukarno tidak akan berpolitik praktis. Tahun 1986 itu, Mega
bersedia menjadi Wakil Ketua DPC PDI Jakarta Pusat. Selama berkiprah di dunia politik, sejarah mencatat, Megawati selalu bersikap keukeuh terutama ketika berhadapan dengan dinding kokoh absolutisme Orde baru.
Sebagai perempuan pemimpin, Mega laik
diteladani. Seperti figur perempuan pemimpin penerus trah ayahnya,
Indira Gandhi atau Gloria Macapagal, yang mengilhami kiprah kaum
perempuan di ranah yang selama ini didominasi politik maskulinitas.
Raya. Mulia. Indonesia Raya. Indonesia
Mulia. “Apa tidak ada mata hati ya?” tanya Megawati saat bergurau dengan
Najwa Shihab. “Apa yang menjadi mata hati Megawati, apa bisikan hati
yang paling keras?” tanya Najwa dalam program talkshow MetroTv, Mata
Najwa, pada 22 Januari 2014. “Mikir dulu... Apa ya? Susah. Inginnya
saya, Indonesia Raya,” jawab Ketua Umum PDI Perjuangan ini dengan tangis
tertahan.
Berbagai macam tafsir barang tentu bisa
hinggap di benak kita, saat mendengar kata Indonesia Raya itu. Tapi
tafsir paling kuat, “Indonesia Raya” adalah refleksi rasa cinta yang
sangat besar kepada tanah air.
Mega putri sulung Bung Karno ini,
melihat ayahnya, sebagai proklamator kemerdekaan Indonesia yang
mengantarkan bangsa negara ini meniti jembatan emas pintu gerbang
kemerdekaan. Namun, Sukarno sang presiden pertama ini kemudian jatuh
lantaran “kecelakaan politik tahun 1965”. Dan Mega, menjadi salah
seorang saksi yang paling lekat dalam kejatuhan ayahnya itu.
Trauma politik sepanjang berbabak drama
getir sejak Sukarno dijatuhkan, harus ditempuh Mega dalam masa sulit
selama era Soeharto. Sejak awal Orde Baru, Jenderal Soeharto memasung
kebebasan Bung Karno serta keluarganya. Termasuk, hak Mega untuk
mengenyam pendidikan tinggi.
Suatu hari seorang tentara datang dan
membawa surat perintah, dan berkata, “Mbak Mega tidak bisa kuliah lagi”.
Mahasiswi Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran, Bandung
(1965-1967) ini pun terhenyak. Soeharto menghentikan kuliahnya karena
dia Megawati binti Sukarno. Sama seperti nasib Guntur, kakaknya, yang
di-drop out dari Institut Teknologi Bandung.
Tekanan politik terhadap Megawati akibat
diseteru Soeharto semakin menguat. Ini memuncak pada 27 Juli 1996 saat
kantor DPP PDI yang dipimpinnya di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat,
diserbu oleh “massa pendukung Soerjadi” yang berbadan tegap, rambut
cepak dan berkaos merah PDI. Peristiwa berdarah itu menjadi salah satu
tonggak perjalanan politik yang harus dilalui Mega.
Ditilik dari rekam jejak itu, terlihat sikap keukeuh Mega
kian mengental. Suka atau tidak, di bawah sikap kepemimpinan Mega itu
juga, PDI Perjuangan terbukti berhasil banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin muda pengemban misi-misi kerakyatan. Terutama kader
perempuan. Contoh, Rustriningsih (perempuan pertama yang menjadi bupati
Kebumen), dan Rismaharini (perempuan pertama yang menjadi wali kota
Surabaya). Juga, Joko Widodo (gubernur DKI Jakarta) dan Ganjar Pranowo
(gubernur Jawa Tengah).
Penggemblengan pemimpin-pemimpin muda
menuju estafeta kepemimpinan nasional, bagi Megawati punya makna
tersendiri. “Saya ini kalau sudah serius sangat serius. Apalagi ini
menyangkut soal kepentingan bangsa dan negara. Itu juga salah satu pesan
Bung Karno: kamu harus betul-betul berpikir secara mendalam kalau soal
negara karena dampaknya luar biasa,” katanya.
Dari cara pandang Mega tentang siapa
bakal pemimpin yang pantas didukung itu, tergambar bahwa soal
pencapresan Jokowi, adalah hasil dari proses dialektika yang mendalam.
Bukan sekadar akibat desakan mayoritas suara pendukung PDI Perjuangan,
maupun karena opini publik.
Dengan elektabilitas yang kian melejit,
Jokowi telah memberi “darah segar” bagi PDI Perjuangan, Mega paham
betul, tantangan yang dihadapi seorang capres. Sehingga, Mega niscaya
bersikap rasional dalam memilih siapa yang layak capres PDI Perjuangan.
Melalui Surat Perintah Harian yang dibacakan Puan Maharani, Ketua Badan
Pemenangan Pemilu, pada 14 Maret 2014 Mega memberi mandat Joko Widodo
(Jokowi) menjadi Capres PDI Perjuangan, pada momen yang tepat. Pemberian mandat Capres Jokowi itu
terbukti menggerakkan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia melonjak naik. Bahkan, 22 purnawirawan jendral TNI dan Polri
pun menggelar konferensi pers mengapresiasi keputusan Mega.
"Keputusan yang diambil Ibu Megawati
benar-benar sebuah keputusan yang luar biasa. Di tengah-tengah kerinduan
rakyat akan hadirnya pemimpin yang mau mendahulukan kepentingan
bangsa, Ibu Mega telah memberi kesegaran dengan memberi mandat kepada
Ir Joko Widodo," kata Luhut B Pandjaitan, juru bicara kelompok jenderal
ini di Wisma Bakrie, Kuningan, Jakarta, Jumat (14/3/2014).
Mega berjiwa besar melepas hak dia
menjadi capres, karena kebutuhan bangsa. Dia ikhlas mengantarkan rakyat
republik ini untuk memilih siapa yang paling mampu mengemban amanat
penderitaan rakyat dalam mencapai cita-cita perjuangan revolusi
kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pilihan Mega memberi Jokowi mandat partai,
meski dia bukan trah Sukarno, merupakan keputusan tepat.
Pernyataan Mega tentang Indonesia Raya,
ternyata juga berarti refleksi kebesaran hati seorang Ibu yang
mengutamakan kepentingan bangsa. Maka begitu ada yang menyebut Mega
sebagai Ibu Bangsa kendati dia risih dengan sebutan itu, dalam mitologi
pewayangan, Ibu Mega bisa dipadankan dengan Ibu Kunthi. Ibunda para
Pandawa, yang mengayomi seluruh anaknya, saat berjuang menentang
ketidakadilan.
Puncak sikap keukeuh
KeIndonesiaRayaan Mega itu terlihat pada Senin, 19 Mei 2014 di Gedung
Joang ’45 dengan mendeklarasikan pasangan Joko Widodo – Jusuf Kalla
sebagai duet capres-cawapres Jokowi-JK yang diusung oleh koalisi tanpa
syarat PDI Perjuangan, Nasdem, PKB, Hanura,dan PKPI.
Megawati Soekarno telah melangkah. Jalan
yang ia idamkan adalah Indonesia Raya. Sebuah keriaan untuk itu segera
kita jelang. Akankah riwayat akan impian itu terselenggara dengan
saksama? Waktu akan menetapkan.