MB.com, TOKOH -- “Kalau kita lapar itu biasa. Kalau kita malu itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!” Cuplikan pidato Bung Karno ini, agaknya masih sangat relevan bilamana digelorakan sekarang.
Bagaimana tidak, baru-baru ini tetangga kita Malaysia lewat Utusan Malaysia,
melontarkan tudingan, bahwa Indonesia sengaja menutup data radar,
terkait pergerakan pesawat MAS MH370 saat melewati wilayah udara
Indonesia menuju pulau di bawah kekuasaan Inggris, Pulau Diego Garcia. Tudingan lain, ada hubungan rahasia dan
kerjasama antara Indonesia dengan AS untuk tidak memberitahu data radar
itu. Sebuah tudingan yang tidak saja terburu-buru dilontarkan, akan
tetapi juga terkesan “asal njeplak”.
“Asal njeplak”-nya Malaysia itu
mengingatkan kita bahwa negeri jiran itu juga pernah asal mengklaim
tarian tor-tor, gordang sambilan, tari pendet, angklung, kain ulos, lagu
Jali-jali, reog, diaku sebagai kekayaan seni budaya Malaysia.
Kalau sekiranya iya, tudingan Malaysia
mengenai hilangnya pesawat MAS itu benar, tentu sangat mengherankan,
lantaran ada beberapa penumpang WNI pada pesawat tersebut. Tudingan Malaysia, menambah deretan
sentimen buruk yang pernah ditujukan terhadap Indonesia. Masih hangat di
ingatan kita, Malaysia mengklaim blok Ambalat, wilayah kedaulatan
Indonesia yang terletak di timur laut Kalimantan Timur itu sebagai
wilayah teritorialnya.
Klaim Malaysia atas Ambalat itu,
tergerak setelah sebelumnya, Mahkamah Internasional pernah memenangkan
Malaysia atas sengketa pulau Sipadan dan Ligitan. Belum lagi persoalan-persoalan yang
menyangkut TKI di Malaysia. Banyak tenaga kerja kita di sana yang
diperlakukan tidak manusiawi: disiksa, dan tidak sedikit yang tidak
dibayarkan gajinya. Mereka yang mengalami nasib demikian diperlakukan
seperti budak belian. Perangai buruk negeri tetangga yang
kembali mengemuka, kalau dibiarkan, bukan tidak mungkin akan terjadi
gelombang demonstrasi anti Malaysia di seluruh Tanah Air, seperti ketika
kasus Ambalat menyeruak.
Jangan lupa, gemuruh semangat
nasionalisme kita tidak gampang tergerus seperti ketika digelorakan Bung
Karno pada 3 Mei 1964 di Jakarta. Saat itu Bung Karno mencanangkan
Dwikora (Dwi Komando Rakyat). (1) Perhebat ketahanan revolusi Indonesia,
dan (2) Bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah,
Serawak, dan Brunei.
Dalam waktu singkat, terhimpun jutaan
sukwan dan sukwati, di samping satuan-satuan ABRI yang juga menyebut
diri sebagai sukarelawan. Para sukwan-sukwati yang berasal dari beragam
profesi (dokter, wartawan, mahasiswa, dan sebagainya) itu siap di kirim
ke wilayah-wilayah perbatasan dengan Malaysia, seperti Perairan Riau,
dan Kalimantan utara.
Rentetan peristiwa yang memicu Bung
Karno mencanangkan Dwikora, adalah ketika Inggris menyatakan akan
membentuk negara Federasi Malaya, sebagai bagian dari proses
dekolonisasi terhadap jajahan Inggris di Asia Tenggara.
Berdasarkan rencana itu, maka
Semenanjung Malaya, Singapura, Brunei, Sabah, dan Serawak akan bergabung
menjadi satu dalam Federasi Persekutuan Melayu. Bung Karno memandang, pembentukan
federasi itu hanya sebagai negara boneka Inggris, yang dianggap sebagai
kolonialisme dan imperialisme bentuk baru yang akan menjadi ancaman bagi
keberadaan RI.
Sebenarnya, Indonesia bersama dengan
Filipina, telah secara resmi menyetujui dibentuknya Federasi Malaysia.
Akan tetapi Presiden Soekarno memandang, harus terlebih dahulu diadakan
referendum yang akan diorganisir PBB. Akan tetapi secara sepihak, pada 16
September 1963, Malaysia menyatakan bahwa pilihan rakyat Malaya,
Sarawak, Singapura, Brunei, dan Sabah adalah urusan dalam negeri. Dengan demikian, Malaysia telah
melanggar kesepakatan sebelumnya antara PM Tunku Abdul Rahman, Presiden
Soekarno, dan presiden Filipina, Diosdado Macapagal, yang terangkum di
dalam Macapagal Plan yang mensyaratkan rencana “penyelesaian wilayah
Asia, oleh Asia, dengan cara Asia”.
Keputusan secara sepihak Malaysia
menyebabkan Bung Karno marah. Akan tetapi sekali lagi, Bung Karno tetap
berusaha melakukan pertemuan dan melakukan pembicaraan dengan PM Tunku
Abdul Rahman. Yang terjadi justru sebaliknya.
Ketegangan semakin meruncing, setelah pertemuan antara Bung Karno dan
Perdana Menteri Tunku Abdul Rahman yang menemui jalan buntu.
Hubungan kedua negara semakin memanas.
Ditandai dengan serangkaian demonstrasi anti-Indonesia dan anti-Soekarno
di Kuala Lumpur. Para demonstran menyerbu gedung KBRI. Merobek-robek
foto Presiden Soekarno. Membawa lambang Garuda Pancasila ke hadapan
Tunku Abdul Rahman kemudian memaksanya untuk menginjak lambang negara RI
tersebut.
Ulah para demonstran di Kuala Lumpur
terkabar sampai di Tanah Air. Karuan saja, kemarahan Bung Karno terhadap
Malaysia pun meledak. Tindakan para demonstran Malaysia tentu saja telah menginjak-injak harga diri Indonesia sebagai bangsa.
Simaklah cuplikan pidato Bung Karno dalam pencanangan Dwikora dan Komando Ganjang Malaysia: “Yoo...ayoo.... Kita ganjang, Ganjang Malaysia, Ganjang Malaysia. Bulatkan tekad, Semangat kita badja, Peluru kita banjak, Njawa kita banjak, Bila perlu satoe-satoe!"