MB.com, Jakarta - Pembangunan kompleks Gelora Bung Karno dinilai proyek "gila". Di tangan Bung Karno (BK), yang gila
itu jadi nyata. Sayang, de-Soekarnoisasi era Orde Baru tak hanya
membungkam, namun memporandakan mimpi besar BK untuk Indonesia.
Begitu tim bidding Indonesia untuk Asian Games IV/1962 memastikan Indonesia jadi tuan rumah pesta olahraga multievent
antar-bangsa Asia, mengalahkan Pakistan sebagai pesaing, Bung Karno
langsung beraksi. Dia perintahkan arsitek-arsitek Uni Soviet mewujudkan
gagasan besarnya tentang kompleks olahraga yang dahsyat, yang lain dari
yang lain.
"Saya memerintahkan kepada arsitek-arsitek Uni Soviet, bikinkan atap temu gelang daripada main stadium yang tidak ada di lain tempat di seluruh dunia. Bikin seperti itu," begitu perintah BK.
Atap temu gelang dianggap tak lazim, tidak galib, pada saat itu. Tapi, bukan BK jika tak bisa meyakinkan segala yang gila itu mungkin adanya.
"Kok ada stadion atapnya temu
gelang, di mana-mana atapnya ya sebagian saja. Tidak, saya katakan
sekali lagi, tidak. Atap stadion kita harus temu gelang. Tidak lain dan
tidak bukan oleh karena saya ingin Indonesia kita ini bisa tampil secara
luar biasa," begitu BK ngotot.
Benar saja, dalam kurun waktu empat tahun (1958-1962), proyek gila itu jadi nyata. Lachita, wartawan harian Philipina Herald, menurunkan tulisan berjudul: "Penilaian Para Ahli: Kompleks Asian Games di Jakarta Salah Satu yang Terbaik di Dunia".
Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) bahkan disebut lebih baik
dibanding stadion di Melbourne, Tokyo, Roma, Berlin, dan Wembley di
London.
Bahkan belakangan, tim arsitek Moskow
sengaja turun, meninjau stadion fenomenal peninggalan Bung Besar itu.
Mereka sengaja mempelajari SUGBK untuk meningkatkan karakteristik
Stadion Luzhniki di Moskow, yang disebut-sebut sebagai kembaran SUGBK.
BK tak hanya sukses membangun SUGBK
dengan kapasitas 100.000 penonton (kemudian diciutkan menjadi 80.000
pada 2007) dengan atap temu gelangnya. BK juga berhasil menyulap komples
GBK dengan membangun Istana Olahraga (Istora), Stadion Renang, Stadion
Madya, Stadion Tenis dan Gedung Basket.
Digenjot habis-habisan siang dan malam,
pembangunan kompleks GBK melibatkan 14 insinyur Indonesia dan 12.000
pekerja sipil dan militer bergantian dalam tiga shift. Pembangunan proyek mercusuar yang menjadi mimpi BK untuk kebanggaan Indonesia itu terealisasikan. Dunia pun terkesima.
"Ini bangsa gila, bisa menyiapkan
seluruh soal dalam hitungan bulan, dengan membangun stadion raksasa
sekaligus pemindahan penduduk tanpa ribut-ribut. Kepemimpinannya luar
biasa," decak kagum utusan Jepang yang meninjau persiapan Asian Games
1962.
Untuk menyiapkan sarana penunjang bagi
proyek besar BK, 8.652 rumah penduduk tergusur. Sebanyak 46.829 penduduk
harus direlokasi ke wilayah Tebet, Pejompongan, Slipi, Cikokol, dan
Ciledug. Hebatnya, semua dilakukan dalam sebuah kerjasama dan saling
pengertian yang sangat indah.
Luar biasa, dahsyat dan jauh melampaui
zamannya, itulah gagasan BK tentang Indonesia yang besar dan berbudaya.
Presiden RI pertama ini juga melengkapi gagasannya tentang kompleks GBK
dengan pusat-pusat kebudayaan yang akan menjadikan Jakarta sebagai kota
dunia.
BK sengaja mengundang pematung Sunarso,
Bandrio, Jenderal Suprayogi, dan Sutami untuk merealisasikan ide besar
penuh kepribadian dan peradaban tinggi untuk Indonesia yang besar.
"Sunarso, dari arah lurus ini coba kamu
buat Patung Selamat Datang. Patung ini akan jadi gerbang bangsa kita,
awal dari mula sejarah berpikir kita. Djakarta akan jadi kota dunia, ini
impianku. Stadion Senayan ini akan dilingkari pusat-pusat kebudayaan.
Kita akan melahirkan bukan saja atlet-atlet handal tapi pelukis-pelukis
jempolan, penari-penari kelas dunia, dan penyanyi-penyanyi yang lagunya
bisa membangkitkan suara surga dari tanah Nusantara. Cobalah Sunarso,
aku ingin lihat karyamu. Patung-patungmu akan memberi jiwa bagi
bangkitnya bangsa kita ke muka dunia Internasional. Monumenmu yang kau
bangun adalah kehormatan," ujar BK sangat inspiratif di depan maket
kompleks GBK.
Gagasan BK untuk melengkapi kompleks GBK
lainnya adalah Jembatan Semanggi yang elok. Semanggi ini perlambang
bunga yang imbang, dari susunan daun dan batangnya. Ini seperti bangsa
kita yang menyukai keindahan. "Tahukah kamu, Bandrio, Jenderal
Suprayogi, Sutami, keindahan itu adalah keseimbangan," lanjut BK dengan
mata berbinar, menerawang jauh melampaui zaman.
Sayang, perubahan arus politik yang
kejam tak hanya menggilas BK, namun juga mimpinya yang indah tentang
Indonesia yang besar dan penuh keseimbangan. Bukan sekadar nama kompleks
GBK yang berganti menjadi Gelora Senayan untuk menghilangkan jejak
besar BK.
Yang utama, mimpi besar BK tentang
Indonesia yang besar dan berbudaya ikut terabaikan. Kendati setelah era
reformasi 1998 nama kompleks GBK dikembalikan pada nama semula melalui
Surat Keputusan Presiden No. 7/2001, mimpi indah itu telanjur porak
poranda.
Begitu banyak penyimpangan terjadi pada
era Yayasan Gelanggang Olahraga Senayan. Kawasan GBK yang semula seluas
279,1 hektar menyusut tinggal 136,84 hektar. Atau, tinggal 49 persen
dari maket aslinya.
Begitu banyak areal yang berubah
peruntukan di era orde Baru. Sekitar 74,74 hektar (26,7 persen) berubah
fungsi sangat komersial. Catat saja, pembangunan Hotel Hilton, kompleks
perdagangan Ratu Plaza, Hotel Mulia, Hotel Atlet Century Park, Taman Ria
Remaja Senayan, Wisma Fairbanks, Plaza Senayan, dan berbagai bangunan
komersial lainnya yang hingga kini masih misteri.
Bangunan-bangunan komersial yang
kemudian justru mendominasi kompleks GBK menyisakan banyak tanda tanya,
sebetulnya lebih untuk kepentingan siapa? Ibarat menghantam tembok
tebal, tanda tanya itu hanya berhenti sebatas gaung yang tidak pernah
terjawab dengan jelas hingga kini.
Kepentingan olahraga terpinggirkan untuk
kepentingan lain yang dianggap lebih hebat. Bau manipulasi sangat
terasa, tetapi, lagi-lagi, ibarat menghantam tembok tebal, bau tak sedap
itu berhenti sebatas bau yang sulit ditelusuri dari mana asalnya.
Padahal, dengan kecerdikannya yang luar
biasa, BK membangun kompeks GBK dengan dana pampasan perang Jepang.
Hasilnya pun murni diperuntukkan bagi proyek mercusuar yang menjadi
impiannya tanpa bau manipulasi. Sengaja BK memboyong kabinetnya ke Tokyo
selama 18 hari untuk melobi para pejabat Jepang, dan gol.
Momentum Asian Games 1962 yang diikuti
Ganefo, hanya berselang tiga bulan kemudian, adalah peristiwa olahraga
dengan dimensi politik yang tinggi. Semangat BK tak hanya melambungkan
Indonesia ke pentas dunia, namun juga menggalang persatuan bangsa-bangsa
dunia lewat olahraga.
Sayang, semuanya porak poranda seiring
de-Soekarnoisasi. Tak sekadar hilangnya jejak kasat mata akan kebesaran
BK, semangat dan mimpi indah BK tentang Indonesia yang gilang gemilang
penuh sportivitas pun lambat laun tergerus.
Jangan heran jika kemudian Indonesia
tumbuh sebagai negara tidak percaya diri di pentas dunia. Demam budaya
tandingan dalam menyelesaikan berbagai soal adalah bukti makin jauhnya
semangat sportivitas, warisan semangat olahraga yang diagungkan Bung
Besar.
Seperti dikatakan BK, politik dan
olahraga tidak bisa dipisahkan. Politik dan olahraga, harusnya bisa
saling mengisi. Dan Bung Besar pernah merealisasikannya di negeri ini.