MB.com, Resensi - Bukan hingar-bingar politik tapi sisi sisi lain dari kehidupan Sukarno yang terkesan remeh dan terabaikan.
Suatu hari seorang bapak bersama anaknya
dari Maluku menemui Sukarno di istana. Ketika bertemu, si bapak
memberikan seekor burung Nuri Raja khas maluku yang elok dan langka.
“Jadi, Bapak menyerahkan burung ini kepada saya? Saya boleh berbuat apa saja kepada burung ini?” tanya Sukarno.
“Ya, Pak, terserah Bapak mau apakan burung itu.”
Tanpa dia duga Sukarno memerintahkan pengawal melepaskan burung itu dari sangkarnya.
“Pak, burung itu akan lebih senang bila bisa terbang bebas. Biarkanlah ia merdeka.”
Itulah salah satu kisah yang terdapat
dalam buku ini. Melalui kisah itu, Roso Daras menyampaikan pesan bahwa
Sukarno adalah sosok pemimpin yang menjunjung tinggi nilai-nilai
kebebasan dan kemerdekaan manusia.
Dari seorang wartawan, Roso Daras
menjadi seorang penggandrung pemikiran Sukarno. Ini berawal dari liputan
jurnalistiknya ke Kamboja dan China. Di kedua negara itu, dia mencatat
betapa besar pengaruh Sukarno. Raja Kamboja Norodom Sihanouk
menghormatinya. Di China? Apalagi, karena Sukarno begiru dekat dengan
Mao Tse Tung dan Chou En Lai. Kegandrungannya pada Sukarno dia tuangkan
dalam tulisan-tulisan di blog. Umumnya berisi serpihan sejarah, yang
kemudian diterbitkan jadi buku.
Seperti judulnya, buku ini memuat
kisah-kisah ringan di balik cerita besar perjalanan hidup Sukarno. Simak
saja, misalnya, bagaimana sisi “Don Juan” Sukarno dalam menaklukan
empat noni Belanda. Saat itu, dia duduk di bangku Hogere Burger School
(HBS) atau setingkat SMA. Pauline Gobee, putri guru Sukarno di HBS,
menjadi gadis Belanda pertama yang dipacarinya. Sukarno tergila-gila
oleh kecantikannya. Berikutnya, Laura dan seorang gadis dari keluarga
Raat yang Sukarno lupa namanya. Tapi yang paling dikenang Sukarno adalah
Mien Hessels. Saking cintanya, Sukarno nekat mendatangi rumah keluarga
Hessels.
“Tuan, kalau Tuan tidak keberatan, saya ingin minta anak Tuan …”
“Kamu? Inlander kotor seperti kamu? Kenapa kamu berani-berani mendekati anakku? Keluar kamu binatang kotor, keluar!” bentak ayah Hessels.
Sejak itu Sukarno tak pernah lagi bertemu dengan Hessels.
Pada 1942, ketika Sukarno telah menjadi
tokoh yang disegani, seorang perempuan bertubuh besar dan jelek
menyapanya. Tak disangka perempuan itu adalah Mien Hessels, pujaan
hatinya dulu. Cinta lama bersemi kembali? “Huuuh! Mien Hessels, putriku
yang cantik seperti bidadari, kini berubah menjadi perempuan mirip
tukang sihir, buruk dan kotor,” ucap Sukarno seperti dikutip dari Cindy
Adams, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat.
Kegandrungan dan kecintaan Sukarno
kepada perempuan memang bukan rahasia lagi. Kepada Cindy Adams, Sukarno
secara blak-blakan mengatakan, “Aku menyukai gadis-gadis yang menarik di
sekelilingku. Gadis-gadis ini bagiku tak ubahnya kembang yang sedang
mekar dan aku senang memandangi kembang.”
Kisah menarik lainnya tentang cover majalah Time, yang menggambarkan sikap politik Amerika Serikat terhadap Indonesia setelah kemerdekaan dan pada akhir 1950-an. Dalam cover Time edisi
23 Desember 1946, Sukarno ditampilkan sebagai sosok orator ulung,
berpeci hitam, garang, dan heroik, dengan latar gambar kibaran bendera
merah-putih dan kepalan tangan sarat luapan semangat. Di dalamnya,
Robert Sherood menulis sosok Sukarno sebagai pria gagah dan tampan,
pandai berpidato, dan mendapat julukan “Si Kamus Indonesia” karena
kecerdasan dan pengetahuan yang dimilikinya.
Penggambaran yang bertolak-belakang terjadi pada cover Time edisi
10 Maret 1958. Wajah Bung Karno digambarkan begitu “menyeramkan”,
dengan permukaan wajah bopeng-bopeng, jauh dari penggambaran sosok
tampan pada edisi tahun 1946. Gambar cover itu mencerminkan
ketidaksenangan Amerika pada sikap politik Sukarno yang lebih condong ke
musuh Amerika dalam Perang Dingin: Rusia dan China.
Ada kisah pertemuan Sukarno dengan dua
pemimpin revolusi Kuba: Fidel Castro dan Che Guevara. Diceritakan saat
iring-iringan mobil kenegaraan Sukarno menyusuri jalan kota Havana,
Kuba, tiba-tiba mobil berhenti di tengah jalan, hanya karena sang sopir
ingin meminjamkan korek api kepada pemimpin kawal sepeda motor untuk
menyalakan cerutu. Begitu tahu bahwa ini menandakan Kuba masih dalam
euforia revolusi, Bung Karno tertawa terbahak-bahak. Ada pula kisah
penunjukan Oei Tjoe Tat dalam “Ganyang Malaysia”, pendekatan dan
perkawinannya dengan Fatmawati, kesukaannya pada tari lenso, Hotel
Indonesia dan Sarinah, atau empat seri detik-detik menjelang kepergian
Sang Proklamator. Semuanya diceritakan dengan lugas dan ringan.
Buku ini merupakan kelanjutan dari buku Bung Karno Serpihan Sejarah Yang tercecer: The Other Stories.
Kegandrungan Roso Daras pada Sukarno kentara dalam interpretasi yang
terkadang lebih memuja ketimbang mengkritisi. Sukarno hampir tak punya
cela. Penyajian kisah-kisah secara ringan dan singkat menjadi kelebihan
sekaligus kekurangannya; membuatnya jadi enak dibaca dan tak melelahkan
tapi melupakan pembaca yang membutuhkan informasi komprehensif tentang
suatu peristiwa.