Redaksi PKSB - LIO
Penulis: Marlin Bato
Jakarta, 05/02/2012
Locus Gambar: Suasana Po'o Bhoro di kampung Watuneso Kecamatan Lio Timur.
Sumber: Arsip: ETNIK LIO-ENDE DAN RITUAL PERLADANGAN. Naskah tertulis: Du'a Ngga'e Wujud Tertinggi Masyarakat Suku Lio oleh Paul Arndt SVD. Buku: Nusa Nipa oleh Orien bao.
Nara Sumber: Bpk. Yosep Depa Jopu, Bpk. Valerianus Reku & Bpk. Rafael Bata Demu
----------------------------------------------------------------------------------------------
Suku Lio, layaknya suku-suku lain di Indonesia, pada hakekatnya merupakan masyarakat agraris yang menopang hidup pada pola berladang dan bercocok tanam. Ditinjau dari aspek arkeologis, masyarakat Lio lebih cenderung menanam padi ladang dan tanaman-tanaman holtikultura lainnya. Dalam dimensi alam, bagi komunitas peladang Lio penanaman padi ladang maupun tanaman holtikultura tidak dapat dilakukan begitu saja, melainkan harus melalui berbagai tahapan.
Masyarakat suku Lio dan kebudayaannya, selalu menjunjung tinggi ritual adat baik dalam lingkar hidup mereka maupun lingkar hidup perladangan yang diekspresikan secara verbal melalui "Nggua Bapu". Oleh karena itu suku Lio mengenal sistem kalender berladang dan peredaran tahun adat. Sistem kalender ini tentu berkaitan secara kosmos dengan "Tana Watu (Bumi) & Wula Leja (Langit)". Tana watu merupakan sumber lahirnya kehidupan, sedangkan Wula leja memberikan kesuburan melalui curah hujan. Dalam sistem almanak perladangan dan peredaran tahun adat menurut suku Lio, perhitungan awal tata cara berladang dimulai dari bulan:
1. Wula Mapa-Wula Mapa More (September-Oktober)
Pada dasarnya, orang Lio memulai perhitungan kalender perladangan jatuh pada bulan September - oktober, karena pada bulan ini di berbagai wilayah orang Lio mengawali proses menanam benih melalui berbagai ritual perladangan. Masa ini orang Lio umumnya mengadakan Upacara Ritual yaitu “Po'o Bhoro" (di Lise), dimana Upacara ini sebagai upacaran permintaan Kesuburan, pemurnian tanah dan perkawinan kosmic antara “Du’a Gheta Lulu Wula & Ngga’e Ghale Wena Tana”. Upacara "Ru'e Lime" (di Mbuli dan sekitarnya), untuk mengumpulkan bibit unggul seperti; Pare, Jawa, Wete, Lolo, Lenga, Bue, Besi dan lain sebagainya. Sementara di wilayah Nua Ria - Detu Binga Kec. Tana Wawo Kab. Sikka, juga dilaksanakan Upacara Loka Po'o yang tata caranya hampir sama dengan di wilayah Lise, Kab. Ende. Baik di Lise, Mbuli, maupun Tana Wawo, ritual-ritual ini dilakukan secara merata oleh semua strata dalam struktur adat Lio yaitu kaum bangsawan (Mosalaki dan Riabewa) beserta fungsionaris adat, aji ana (keluarga terdekat), fai walu (para janda, maupun ana K/halo (kaum jelata). Pada frase ini, mereka menyiapkan kebun (ladang) lalu dibersihkan sambil menunggu hujan. Di Mbuli, pada saat upacara Ru'e Lime dilangsungkan, seorang mosalaki menyanyikan syair lagu Lime:
Limeeee.....
Kipe eee.....
Ripe eee.....
Jando Jie...
Mai Ka Are Bara....
Wori Telo Modi.....
Pesa Telo Meta.....
Aoo.....Lime........
Masyarakat Mbuli, juga melakukan serangkaian ritual 'Kapena' - pada bulan September, yang dilakukan pada suatu tempat yang disebut Puu (hutan tua). Tempat ini kerap dipakai oleh masyarakat setempat (Mbuli) untuk bersyukur atas hasil panen. Mereka pergi memberi sesajian kepada nenek moyang ditempat mereka pernah tinggal dahulu (lau Kapena) yang disebut detu dan langsung mengadakan ritual adat. Upacara 'Kapena' hanya dihadiri atau diikuti oleh para lelaki dari masing-masing kampung sekitar Mbuli. Hal ini hanya boleh dilakukan oleh kau pria karena pada saat makan "Are Po'o" (nasi yang dimasak dengan santan dalam bambu), para pria tersebut haruslah dalam keadaan telanjang. Tentu ada beberapa orang yang mempunyai tugas khusus mengawasi, lalu mereka memasuki setiap kampung untuk mewartakan perintah adat.
Seorang Narasumber dari Jopu mengemukakan, masyarakat perladangan suku Lio (Jopu dan sekitarnya) sangat variatif namun dalam prakteknya orang mereka membiasakan diri untuk berladang dengan menanam padi gunung secara serentak yang di awali oleh seremonial adat yang di sebut dengan fersival “JOKA JU” atau peristiwa permintaan kestabilan musim yang di warnai dengan “Pa'a Loka” dan sesudahnya boleh mempersiapkan lahan untuk menantikan datangnya curah hujan yang baik hingga tiba musim tanam yang juga akan di dahului oleh seremonialnya.
Pada bulan Oktober (Wula Mapa More) hampir semua masyarakat secara bersamaan mulai menanam benih, karena curah hujan yang sedikit dan hanya mulai dari bulan September keatas maka banyak petani kebun ladang mulai bercocok tanam pada waktu itu. Senada dengan narasumber dari Jopu tadi, seorang nara sumber dari kampung Tenda mengamini, bahwa pada dasarnya setiap kampung yang berdekatan pasti akan melakukan ritual yang sama pada bulan Oktober.
Selain itu berbeda dengan dua narasumber tadi, adapun narasumber dari kampung Wologai mengemukakan bahwa Berdasarkan kebiasaan yang sering di lakukan di beberapa kampung adat utama di Wilayah Tanah Ulayat LIO tengah seperti wologai, Unggu, Nduaria, Nua One, dan beberapa anak kampung adat, Kalender perladangan dimulai saat “Wula Lo’o” setelah Panen atau sekitar bulan mei. Upacarnya sendiri dimulai dengan Wa’u Wolo/ Ura-aje, untuk pati tali artinya pembagian wilayah kerja untuk masing-masing aji ana & ana kalo faiwalu. pembagian ini melibatkan seluruh anggota masyarakat di kampung tersebut, namun anggota boleh memilih untuk tidak mengambil bagian atau ikut dalam bagian ini. Akan tetapi semua akan mendapatkan sesuai dengan status dan masing-masing anggota masyarakat di kampung tersebut. upacara ini diteruskan dengan “Ngeti-Ngoro” untuk masing-masing kebun, lalu Lelo ( Land Clearing) setelah semua tumbuhan kering lalu ada “Seghi-Nggia Singi Uma” agar waktu “Jengi” (Sistim tebas bakar) tidak terjadi kebakaran di wilayah yang tidak diinginkan. Setelah semua rangaian diatas baru dilanjutkan dengan “Ngeso Uma”, dan “Kebe Kolo”, artinya pembersihan terakhir dan pengaturan terasering supaya ladang yang berada di wilayah kemiringan tidak mengalami erosi. Setelah itu baru dilaksanakan Upacara “Tu-Tau Tedo” yang dilakukan sekitar September, disusul dengan “Tedo Uma Dema Ria / Paki mulu” dari Mosalaki Pu’u, karena waktu hujan turun pertama bulan Oktober masyarakat akan melakukan “Tedo Jawa-Mulu” (Menanam jagung lebih dahulu) dan di susul dengan “Tedo Pare-Jawa” (Tanam Padi – Jagung) sekitar November.
2. Wula More-Wula Nduru (November-Desember) - Musim/Masa Tanam (Tedo)
Pada bulan ini, masyarakat Lio seluruhnya secara serentak melakukan penanaman benih padi ladang. Dalam tahapan ini, masyarakat petani ladang suku Lio juga melakukan kegiatan "Gewu Wini" (mengaduk padi bibit unggul), ritual suasasa Watu Bo’o (Batu kelimpahan panen), Ngawu Gewu Wini (Mas murni), Ae Nio (Pendinginan). Gewu Wini biasanya dilakukan oleh wanita Lio tertua yang tinggal dalam rumah-rumah adat yang kemudian berperan penting sebagai pengatur, sekaligus penjaga agar benih padi unggul akan selalu baik. Wini atau benih unggul ini disimpan dalam suhu yang sejuk disebuah lumbung (Kebo) yang sengaja didirikan khusus untuk menyimpan hasil-hasil perladangan. Tempat yang baik untuk menyimpan benih ini adalah di dalam bakul besar (Bote) atau dalam (Podo tana) wadah tanah liat. Wanita Lio, secara matrilineal mengatur semua yang berkaitan benih padi unggul hingga bercocok tanam. Kegiatan ini secara turun temurun berkelangsungan dari generasi ke generasi. Hal ini dimaksudkan untuk menghormati (Ine Mbu) ibu padi diyakini sebagai manifestasi dari sosok manusia yang hidup menjadi padi, rela mengorbankan dirinya untuk demi keselamatan umat manusia yang tertimpa bencana kelaparan hebat. Berikut ini sepenggal syair ungkapan permohonan kepada ibu padi pada upacara menanam benih:
Pare nge ghawa mai.- Padi datang dari tanah seberang.
Dhoa mbotu ndota;- Datang melewati puncak gunung Ndota.
mbi'a ghawa ki ria;- tersebar dipadang luas penuh ilalang;
nggera ghawa soko bewa; - terbagi di rerumputan gelagah yang tinggi;
sadha watu manu;- melewati watu manu;
mbembu tana toro.- menetap ditanah merah.
Siso no'o wunu nio; - datang lewat daun kelapa;
doko no'o keba` ndera; - membawa serta pikulan;
leta no'o uba neta; - melintasi batang rotan;
doi no'o au mera. - memikul beban dengan bambu aur dibahunya.
Moru-moru no'o uja angi; - Tebang turun bersama hujan dan angin;
lela`-lela` se'a no'o kila bela. - hinggap bersama guntur dan kilat.
Gudu Woda budu, - Terkejut karena diusir Woda,
fu gere nora kuru; - rambut seperti ilalang yang terbakar;
biga Siga rago' - terperanjat karena dihalau Siga.
longgo ngere wawi koi. - punggung seperti babi yang dikerik (ditanah asing ibu padi mengalami bermacam-macam kesengsaraan karena itu datanglah kemari).
Kote ngere repi bobe, - Pakaian begitu rusak,
menga liri loge, - cuma menutupi pantat;
tae mere dere wele talo. - kain penutup kelamin sudah terlalu kecil.
Soko ngere goru,- Rumput gelagah sepertinya tergaris-garis.
ingga ngere nggia. - rumput ingga sudah terbuka (Ibu padi telah datang melewati rumput yang tinggi).
Nuka wolo, gole kobhe, dage ae - Mendaki bukit, menuruni lembah, menyeberangi kali.
Ghele mai leka Lengo Mbeke ! - Datang dari utara, dari Lengo Mbeke !
Ghale mai leka Mbete Wangge Ende Mbawe. - Datang dari barat, dari Mbete Wangge Endo Mbawe.
Lau mai Ratu Kabu Wio Mbau.- Datang dari selatan, dari Ratu Kabu Wio Mbau.
Mena mai Kiwa ana Resa Mego ana Rega. - Datang dari timur, dari Kiwa putera Resa & Mego putera Rega. (Ibu padi datang dari timur, barat, utara, dan selatan)
Moru-moru mai, lela lela se'a. - Terbang turun kemari, hinggaplah disini.
Kio toto keto, ngere manu mesa meta muri, - Berciap-ciap seperti ayam yang baru menetas,
nggu toto nggeke, ngere wawi geju jebu. - Bercuit-cuit seperti babi yang keluardari kandangnya.
Mai lenggesai ngere lako, rewosai ngere manu.- Bebaringlah melingkar seperti ajing, duduk seperti ayam yang melindungi anaknya.
Mai gha tau pake pawe, - Datanglah kesini untuk memakai pakaian indah,
tau kando nago. - dan mengenakan perhiasan.
Syair permohonan diatas adalah kearifan budaya masyarakat Lio terhadap eksistensi Ibu Padi secara nyata dalam proses penanaman benih jenis perladangan lahan kering. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ekologi dan topografi kawasan Lio yang tergolong sulit dan menantang itu telah membangun budaya dan etos kerja serta keterampilan khusus yang menopang kehidupan komunitas peladang Lio. Penggalan ungkapan diatas merupakan warisan leluhur berupa sastra lisan yang berkembang ditengah masyarakat dengan menggunakan bahasa sebagai media utama serta memilki makna tersendiri sehingga tidak mudah untuk dipahami. Biasanya ungkapan akan dimunculkan pada saat upacara Peso Wini, upacara penyimpanan benih padi menjelang penanaman.
3. Wula Beke Ria – Beke Lo’o (Januari-Pebruari)
Musim kelaparan Besar/kecil dan Musin Wabah Tanaman. Dahulu sebelum mengenal tanaman holtikultura biasanya masyarakat suku Lio hanya mengandalkan “Padi ladang, jagung, dan umbi-umbian” sehingga pada bulan tersebut kerap terjadi kelaparan. Namun sekarang banyak alternatif untuk mengatasi hal tersebut seperti bercocok tanam disawah maupun membudidayakan hasil komoditi lainnya seperti: Menanam Pala, Kopi, Kemiri, Kakao, Kelapa dan lain sebagainya.
4. Wula Fowo (Maret)
Musim ini penyakit dan Nggua Uta (Pesa Uta). Pada bulan ini, wabah penjakit mulai bermunculan ditandai dengan masuknya iklim pancaroba. Curah hujan secara berangsur mulai berkurang. Benih-benih yang ditanam mulai bertunas dan semakin meninggi. Di bulan ini, masyarakat Lio memetik sayur-sayuran dengan spesifikasi khusus seperti; uta lelu, dowe, uta bue, jawa dan lain sebagainya untuk dikonsumsi. Di wilayah Lio lain seperti Mbuli, Jopu dan sekitarnya biasanya dilakukan ritual "Kapoka" sebagai bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa agar mendapat hasil yang melimpa. Wula Fowo juga diidentikan sebagai musim kawin hewan-hewan piaraan seperti anjing dan lain sebagainya, sehingga ada sebuah ungkapan paradoks yang berkembang dalam masyarakat Lio; "Ngere Lako Wula Fowo" artinya dimaksudkan seperti anjing yang ingin kawin.
Di wilayah Wologai dan sekitarnya, dilakukan ritual "keti uta" ketika jangung, ketimun dan kacang-kacangan sudah siap panen. Mosalaki melakukan upacara yang dinamakan Nggua-uta beserta upacara kewo ketu au, makan ulat bambu bersama upacara keti uta tersebut agar masyarakat biasa atau ana kalo fai walu juga bisa kage jawa dan bisa memanen sayuran - ketimun dan kacang-kacangan dan boleh membawa pulang ke rumah.
Bila Padinya sudah hampir siap dipanen maka mosalaki puu melakukan uapacara keti Are uma demaria dan disusul ka are uma ria tersebut dan pesa nake ndua daging yang berasal dari binatang liar (nake nitu) dan upacara Pai poloria mai ghawa pu'u tana agar masyarakat biasa dapat melakukan panen secara keseluruhan. setelah selesai panen semua, maka mosalaki melakukan upacara Tutau keti yang di tandai dengan Gete h/kolo manu, artinya setiap masyarakat harus menyetor ayam satu ekor/ kebun/aje sesuai ukuran yang telah diberikan, untuk dipotong kepala ayamnya, guna dipersembahkan bagi setiap roh penjaga di wilayah tersebut. Upacara ini dinamakan "Tutau Keti", di mana kepala, sayap mbaku, dan bulu ekor atau we'o manu bersama bote wea londa, dan pare bara di persembahkan ke setiap wilayah perbatasan tanah dan wilayah yang dianggap 'Bhisa Gia'. Setelah upacara tutau keti tersebut, masyarakat akan melakukan Jo ngebo dhawe kuta-ku are-jawa lalu akan di barengi dengan upacara Syukur besar yang di sebut NGGUA dimana ada Gawi, wanda pau, nggo lamba dan lain-lain seperti oro uwi, iya keu Pire Nggua/ Pire Ngi'i Te'u dan PO'O BHORO.
5. Wula Balu Re’e - Balu Jie (April – Mei)
Pada bulan April banyak masyarakat terserang wabah penyakit. Baik penyakit yang diakibatkan iklim pancaroba maupun wabah penyakit terbawah oleh angin, sehingga masyarakat mengenal istilah Ju Angi/Nu Angi. Ju/Ju-angi/Nu-angi - Secara harafia berarti angin atau juga awan. Awan atau angin yang dipersonifikasikan dan ditakuti sebagai pembawa wabah penyakit dan kematian atau roh-roh jahat. Ungkapan yang kerap juga muncul dalam masyarakat adalah Ju-seka yang berarti kutukan atas nama roh jahat. Kalimat Ju-seka juga kadang di artikan permohonan dengan rincian definisi sebagai berikut; Semoga Roh jahat menusukmu Hingga mati !!
Memasuki bulan Mei (Wula Balu Ji'e), penyakit mulai berkurang. Akan tetapi banyak roh-roh jahat bergentanyangan seperti; Lima bua, Polo wera, mata ria dan sebagainya.
- Limabua
Limabua Secara harfia berarti tangan berbulu. Limabua adalah roh bumi atau disebut dalam bahasa Lio "tana watu" yang kadang dapat dilihat secara langsung oleh orang-orang tertentu dan pada saat-saat tertentu. Limabua atau tana watu dapat diidentikan dengan Ngga'e dewa.
- Polo/atapolo
Roh jahat; Bisa juga berarti pria atau wanita dewasa yang dituduh sebagai pengisap darah dan pemakan mayat manusia. Polo ko, adalah tarian dan nyanyian sesudah kemenangan perang yang diiringi dengan gong dan gendang.
- Mataria
Mata besar; adalah roh-roh jahat yang sejenis dengan suanggi besar penjaga wilayah adat atau juga sering diartikan atapolo.
6. Wula Base- Base Ae (Juni-Juli)
Musim Petik/Panen.
Pada bulan ini biasanya hasil ladang mulai dipanen. Semua dilakukan secara serentak. Pada setiap "Uma Nggua (Ladang utama adat)" harus melakukan ritual panen pertama. Proses panen dilakukan melalui ucapan syukur di "Wisu lulu" dirumah adat masing-masing. Ketika hasil panen pertama akan dibawah dari ladang ke rumah adat, padi yang sudah dipetik dimasukan dalam sebuah bakul kecil lalu dibawah oleh seorang pria. Sepanjang perjalanan pria tersebut dilarang berkomunikasi dengan orang lain. Hal ini untuk melengkapi maklumat pantangan adat yang sudah ditetapkan secara turun temurun untuk menghormati ibu padi. Setelah itu selesai barulah diadakan ritual "Mi Are" (Guna menghalalkan penggunaan padi) yang dilakukan dengan tarian gawi kolosal sebagai ungkapan syukur atas hasil panen yang diberikan. Di Lise, konstelasi upacara ini juga disebut dengan Mbama. Di Mbuli dan sekitarnya, upacara 'Mi Are' juga kerap dilakukan pada bulan April dan Mei. Berbagai upacara ini, menandai bahwa masyarakat Lio sudah memasuki musim kemarau.
7. Wula Base Gega (Agustus)
Musim seks para gadis remaja. Bulan ini diwarnai dengan merekahnya buah base dan juga Pohon Randu (kapuk). Betapa, suasananya sangat konduksif dibulan ini. Bersamaan dengan Pohon Base dan Pohon Randu tadi, banyak pula bunga-bunga mulai bermekaran sehingga menurut pandangan penulis, bulan agustus tersebut lebih identik sangat sepadan disebut musim semi.
Simo Gemi - Tabe Pawe Utu Miu Leisawe...!!