Lantai dua rumah tradisional fala foka menampung dapur dan ruang tidur
MB.com - Warga sebuah kampung adat di Alor berusaha mempertahankan tradisi di
tengah zaman yang sudah jauh meninggalkan mereka. Potret mini dari
dilema budaya di Nusantara.
Warna cakrawala segera berganti jingga. Di ujung hari, waktu yang
bergulir lambat mengantarkan saya ke Kampung Adat Takpala. Hati
tiba-tiba membuncah: di senja yang larut ini, mungkinkah orang Abui
tetap membukakan pintunya bagi tamu? Ternyata semua di luar dugaan.
“Halo, selamat sore,” sapa Martinus, pria yang dituakan di kampungnya.
Anak-anak kecil yang sudah mulai tersentuh kehidupan modern
Dua tahun lamanya Takpala tersemat dalam benak. Saya dulu melihatnya di
televisi. Warga kampung ini tampil begitu bersahaja dan menghipnotis.
Saya kini datang menyapa mereka, menyapa orang-orang yang menantang laju
peradaban, di kabupaten yang teronggok paling timur dalam gugusan Nusa
Tenggara Timur.
Fala foka beratap piramida berjejer kokoh. Beruntung saya masih diperkenankan untuk melihatnya lebih dekat. Fala foka didirikan
di atas filosofi hidup Suku Abui. Di dalamnya terdapat empat ruang yang
tersusun mengikuti formasi limas. Pada hakikatnya, rumah ini memainkan
banyak peran, sebagai pelindung, ruang tidur, lumbung, dan gudang
pusaka. Di lantai dua, lantai bambu berderit ngilu di ruangan tanpa
cahaya. Sebuah pelita lalu disulut dan lekukan-lekukan di interior
terlihat jelas.
Saat menengadah, tampak tumpukan jagung memenuhi lantai tiga. Di ruang teratas, pusaka-pusaka direbahkan. Fala foka memicu
rasa sesak. Saya merasa terkungkung lalu memutuskan untuk keluar. Duduk
di tepian, saya melemparkan pandangan ke Martinus, rumah-rumah
tetangga, juga pohon-pohon asam rimbun yang menghadirkan keteduhan. Ada
yang janggal di sini. Tak seorang pun berpakaian adat.
Jagung yang disimpan hingga mengering sebagai persediaan makanan
Modernisasi telah menyentuh kampung ini. Begitu pula ajaran-ajaran
samawi. Protestan dan Katolik telah mengisi kartu-kartu identitas sipil,
walau titel agama belum sepenuhnya mengambil alih kepercayaan terhadap
bulan, matahari, sungai, hutan, dan laut. Ada fragmen-fragmen tertentu
di mana konsep Trinitas dipilih dalam menuntun hidup. Penduduk Takpala
masih merawat mesbah, sebuah mikrokosmos dalam kepercayaan nenek moyang yang diamini Abui.
Berjualan tenun bisa mendatangkan uang yang cukup banyak
Mesbah, peninggalan Zaman Megalitikum, adalah tumpukan batu di
mana persembahan digelar. Sebuah situs yang sakral. Sulit dimungkiri,
waktu sudah jauh meninggalkan Suku Abui. Dan mereka tidak sendiri.
Banyak warga pribumi sudah terlempar dari roda zaman yang berputar
kencang. Banyak pihak berusaha mempertahankan mereka, tapi upaya ini tak
melulu dilandasi niat bijak yang tulus. Banyak warga suku justru diubah
menjadi artefak yang dikomersialisasikan, juga obyek yang
dipertontonkan.
Gelang adalah salah satu aksesoris wajib wanita Abui
Autentisitas pun menjadi barang langka. Saya masih ingat perjalanan ke
pedalaman Mentawai di Sumatera Barat. Rumah yang saya tinggali dihuni
sebuah keluarga, tapi sejatinya dibangun pemerintah setempat guna
menampung turis. Suku-suku pedalaman memang sedang terdesak oleh
perubahan zaman.
Sejumput kopi diseduh di gelas bermotif bunga. Matahari menembus ranting-ranting pohon asam. Saya kembali duduk di tepian fala foka seraya
menatap semburat pagi di atas Laut Flores. “Selamat pagi,” Martinus
menyapa dengan senyum berwarna burgundi. Kami membuka pagi dengan
diskusi serius tentang jati diri Abui dan kiprah kampung mereka.
Keduanya saling menguatkan dalam simpul yang melahirkan jiwa-jiwa
kesatria. Kata Martinus, adalah ayahnya, Piter Kafilkae, yang mewakafkan
tanahnya sebagai lahan berdirinya Kampung Takpala, lima tahun sebelum
Indonesia merdeka. Katanya lagi, meski hutan Alor masih menawarkan
banyak babi liar, orang-orang Abui akan berpikir ulang untuk
menggantungkan hidupnya pada berburu semata. Uang kini sudah menjadi
alat pertukaran yang lumrah. Transaksi barter adalah kisah lawas.
Saya lalu bertanya kapan persisnya Takpala mulai mementaskan tarian bagi
turis, tapi Martinus hanya menjawabnya dengan tawa. Agaknya tak ada
yang tahu pasti kapan pariwisata dirintis di sini. Untungnya, dilihat
dari banyak aspek, komersialisasi Takpala masih dalam koridor yang
wajar. Kampung ini bagaikan museum hidup yang bergerak bersama langkah
penghuninya.
Udara hangat mengiringi para kerabat yang berdatangan. Martinus beranjak
untuk menyambangi orang-orang yang berbalut kain tenun dengan rambut
terurai layaknya ranting-ranting asam. Takpala yang sunyi kini
bertransformasi menjadi panggung pertunjukan, sebuah teater tribal yang
semarak. Di tepian kiri, di mana tali-tali direntangkan, berjajar
lusinan kain tenun yang senantiasa tersibak angin. Saat tamu-tamu Eropa
datang, Martinus menari dengan otot-otot yang berdenyut di balik
kulitnya yang legam. Matanya menggeliat mengikuti sapuan pedang. Dia
lalu mengelilingi mesbah. Gerakannya liar, indah, sekaligus menakutkan.
Di sisi yang lain, hadir satu koloni perempuan. Diiringi syair Abui,
mereka berhamburan dan membentuk lingkaran Legolego. Gemerincing gelang
kaki dan tangan yang saling bertaut menyimbolkan eratnya persaudaraan.
Ketulusan mereka mengisi udara. Menari di depan turis kerap dicemooh
sebagai pentas pabrikasi, noda bagi autentisitas adat. Tapi rasanya tak
adil menuntut Suku Abui untuk mempertahankan cara hidup lama di tengah
dunia yang tak menghargai masa lalu. Di mata mereka, keinginan
melestarikan tradisi kini harus berkompromi dengan kebutuhan untuk
menyambung hidup.
Kesatria Abui menyambut tamu dengan tarian
Bagi wanita Abui, formasi putaran di mezbah dalam tarian lego-lego melambangkan kekuatan dan persatuan
Salib pada makam, bagian dari akulturasi antara ajaran samawi dan keyakinan adat Takpala
Menjual cinderamata bikinan tangan adalah salah satu sumber pemasukan warga Desa Takpala
Rambut terurai dan tubuh dibalut kain tenun adalah ciri khas wanita Abui
Sembari menggenggam perlengkapan perang, Martinus mementaskan Tari Cakalele di Desa Takpala, Alor
Suasana Desa Takpala
Tradisi berburu sudah lama ditinggalkan. Kini busur hanya untuk keperluan ritual
Wajah kesatria Abui
Wanita Abui juga mementaskan tarian untuk turis
Wanita memegang peranan penting dalam menghasilkan tenun
[Destin/Asian]