Logo

Logo
Latest News
Monday, August 11, 2014

Mereka Sebut Kami ‘Kiri’

Oleh : Rajif Duchlun

MB.com, MEREKA sebut kami ‘kiri’ sesaat setelah mereka piawai mendalami teori-teori Marxis. Lantaran kami mengagumi tokoh-tokoh beraliran kiri (baca: sosialisme) lalu kami disangka, bahkan dipastikan persis seperti seorang Marx, begitu juga Lenin. Baju hitam atau merah yang sering kami gunakan secara kompak, pun menjadi ukuran penilaian. Lalu, mereka balik lagi dan sebut kami ‘kiri’. Seakan mereka sangka kami ini seperti aktor G30S/PKI yang nyata-nyatanya sejarah itu juga turut dikhianati. Sebenarnya, mereka tahu atau pura-pura tidak tahu? 

Mereka ini adalah deretan Orba (Orde Baru), yang ngaku pendekar kebenaran, tapi nyatanya turut mengamini jalannya penindasan. Siapa mereka (?) ada di antara mereka masih terus merasa paling benar, paling cerdas, paling unggul di antara golongan-golongan lainnya. Tidak begitu saja tabiat ini dipertontonkan, ada pula yang coba membangun sektarian golongan; ada kiri, ada juga kanan. Bahkan dengan tergopoh-gopoh, datang lagi golongan lain yang mengaku sebagai golongan ‘tengah’. Ada-ada saja. Biar orang tahu; mereka benar, dan kami salah. Ah! Lalu apa masalahnya? Sejarah bermasalah? Atau kami dan mereka yang keliru membaca sejarah? Jangan-jangan kami dan mereka memang benar-benar keliru—yang dalam bahasa Jaya Suprana; seakan kita semua hidup dalam sebuah dunia kekeliruan. Karena mungkin saja, buku-buku yang telah ditekuni itu sudah dirubah, dimodifikasi dan dikonstruk berulang-ulang kali hanya sekedar melanggengkan kepentingan sekelompok golongan. Atau memang, kita ‘semua’ yang sengaja membangun sekte-sekte golongan, biar dibilang hebat, cerdas, bahkan jenius. Lakukan saja, supaya namamu dikenang oleh sejarah.

Persoalan aliran atau golongan kiri, kanan dan tengah sangat unik. Kalau membuka sejarah, maka yang akan kita jumpai adalah pergolakan ideologi. Selebihnya, dalam sejarah dunia, kita akan menemukan benturan gagasan dan fenomena yang dimunculkan olehnya. Namun peristiwa yang paling unggul adalah ketika istilah ‘perang dingin’ serentak menggegerkan dunia. Dalam fenomena itu terbagai dua blok besar dunia, yakni blok Barat dan blok Timur. Barat berkiblat di Amerika, sedangkan blok Timur berkiblat di Uni Soviet. Amerika kumandangkan kapitalisme lewat jargon liberalisasi. Uni Soviet agung-agungkan sosialisme lewat perjuangan kerakyatan. Konflik dingin pun pecah. Iklim persaingan kemudian dibangun secara intens di atas panggung ekonomi politik internasional. 

Dan terjadilah, ketika Indonesia baru saja menikmati kemerdekaannya atas kolonialisme, kedua blok dunia itu bergegas membangun basis ideologinya. Siapa sangka, Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) malah tegas menyatakan sikapnya membangun golongan ‘tengah’ (Non-Blok): blok yang mempertegas tidak berpihak di antara kedua blok besar dunia itu. Namun dalam perjalanannya, blok Barat dan Timur sangat berpengaruh. Sampai akhirnya arah ideologi Indonesia pun turut direduksi dan dipengaruhi, dan entah arahnya kemana. Bukan apa-apa, tatkala arah bangsa ini mulai diperhadapkan dalam situasi ekonomi-politik yang genting, mulai muncul masalah-masalah baru yang sangat kompleks. 

Ternyata hal itu hanya soal sektarian golongan yang fanatik. Lebih-lebih pada mereka yang tak bijak memahami golongan. Ada yang ngaku paling benar, ada pula yang ngaku sebagai pahlawan. Ajang pengakuan kebenaran pun berkelindan melewati batas-batas moral. Lihatah, setelah Ir. Soekarno jatuh dari kursi kepemimpinannya, semua tampuk kekuasaan kemudian beralih ke-tangan Soeharto (Presiden kedua RI). Yang menurut mitos sejarah, rezim Soeharto penuh misteri. Entah karena relevan dengan misteri gua hantu, atau memiliki hubungan dengan misteri gunung krakatau. Mungkin bisa saja, nyi roro kidul juga ikut main dalam percaturan politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto (Hehehe…). Memang agak aneh, tapi nyata. Biarlah anda yang meneropong sejarah secara arif.

Setelah pembangunan dinahkodai rezim Orde Baru, propoganda aliran dan golongan semakin kental. Siapa saja yang nampak ‘kiri’ langsung dibuang ke gua hantu. Yang bernama kiri sangat sarat dengan komunis-sosialis. Jadi, kalau ada yang beraliran kiri (komunis-sosialis) langsung dipangkas. Apa sebabnya? Menurut versi Orde Baru, orang-orang komunis-sosialis adalah aliran yang sangat menakutkan. Tuduhan pun mengalir kepada si kiri: partai yang beraliran kiri (PKI) pada waktu itu membunuh para jenderal dengan cara yang sangat tidak manusiawi. 

Pokoknya, kiri selalu disalahkan oleh rezim Orde Baru. Tapi, ada tapinya. Ternyata tidak semua benar. Ada kepentingan yang mengalir dalam sejarah pembunuhan itu. Ada sesuatu yang sangat misteri. Hal itu sudah dibahas oleh para sejarawan. Padahal, misteri tersebut sarat dengan ‘dendam’ dan ‘kekuasaan’ (Baca: Pelurusan Sejarah Indonesia). Jadi, pada masa Orde Baru sesuatu yang bernama kiri digambarkan sebagai sesuatu yang kejam. 

Sehingga jangan heran kalau pada saat itu, kiri terus mendapat ancaman dari pelbagai golongan lainnya. Lalu terjadilah, kiri di serang habis-habisan. Yang kanan serang kiri. Yang tengah serang kiri. Begitu juga seterusnya; saling serang pun tak terelakan. Jadi, dari situlah sehingga seringkali membuat orang alergi ketika mendengar kiri. Padahal ada sejarah yang perlu diluruskan. Kiri itu tak ada bedanya dengan yang lain, hanya saja, kiri acapkali ditaruh pada catatan yang paling kelam di atas lembar sejarah Indonesia.
Melihat sejarah, ada di antara mereka yang alergi dengan kiri ternyata sampai sekarang pun masih nampak di mana-mana. Karena pada dasarnya ‘kiri’ itu identik dengan aksi jalanan dan sangar. Singkatnya, kiri itu sangat dekat dengan perjuangan proletariat. Maka ketika melihat hal ini, mereka akan percaya bahwa orang-orang yang sering melakukan aksi jalanan itu, adalah bagian daripada golongan kiri. 

Oleh karenanya, mereka ini tak bisa melihat siapa saja—khususnya kami—tatkala kami berjuang atas nama rakyat, tatkala kami turun kejalan bersama buruh dan kelas pekerja. Atau mungkin, mereka mengira bahwa kami giat menyalami gagasan-gagasan Lenin, lalu dengan mudah mereka sebut kami ‘kiri’. Mereka mengira kiri itu jahat—sejahat-jahatnya Lenin? Seharusnya mereka membaca sejarah ‘kiri’ bukan atas dasar menyelamatkan golongan lain. Bila perlu duduk sendiri di kamar, sediakan kopi, rokok—lalu berkontemplasi-lah dengan sejarah. Paling tidak, gagasan kiri sengaja membuat dan mengajak kita untuk menjadi kiri—dalam arti melawan—menentang kejahatan. Begitulah kiri; yang sebenarnya tidak sekejam yang pernah mereka bayangkan. Ah! mereka berlebihan.

Mereka ini tak bisa mendengar kami teriak-teriak di depan ketidakadilan. Mereka semacam teringat masa lalu—yang sebenarnya mereka sendiri tak menyadari sedang dibutakan oleh sejarah. Mereka harusnya banyak menelaah sejarah dengan arif, tanpa harus menarik kesimpulan secara sepihak. Makanya, jangan heran ketika melihat kami menggunakan sendal jepit tua, baju hitam kusam, berwajah sangar, mengagumi tokoh-tokoh sosialisme—kemudian mereka dengan gamblang menunjuk-nunjuk wajah kami sembari teriak: ‘kiri.’ [*]
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Mereka Sebut Kami ‘Kiri’ Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi