Oleh : Rajif Duchlun
MB.com, MEREKA
sebut kami ‘kiri’ sesaat setelah mereka piawai mendalami teori-teori
Marxis. Lantaran kami mengagumi tokoh-tokoh beraliran kiri (baca:
sosialisme) lalu kami disangka, bahkan dipastikan persis seperti seorang
Marx, begitu juga Lenin. Baju hitam atau merah yang sering kami gunakan
secara kompak, pun menjadi ukuran penilaian. Lalu, mereka balik lagi
dan sebut kami ‘kiri’. Seakan mereka sangka kami ini seperti aktor
G30S/PKI yang nyata-nyatanya sejarah itu juga turut dikhianati.
Sebenarnya, mereka tahu atau pura-pura tidak tahu?
Mereka
ini adalah deretan Orba (Orde Baru), yang ngaku pendekar kebenaran,
tapi nyatanya turut mengamini jalannya penindasan. Siapa mereka (?) ada
di antara mereka masih terus merasa paling benar, paling cerdas, paling
unggul di antara golongan-golongan lainnya. Tidak begitu saja tabiat ini
dipertontonkan, ada pula yang coba membangun sektarian golongan; ada
kiri, ada juga kanan. Bahkan dengan tergopoh-gopoh,
datang lagi golongan lain yang mengaku sebagai golongan ‘tengah’.
Ada-ada saja. Biar orang tahu; mereka benar, dan kami salah. Ah! Lalu
apa masalahnya? Sejarah bermasalah? Atau kami dan mereka yang keliru
membaca sejarah? Jangan-jangan kami dan mereka memang benar-benar
keliru—yang dalam bahasa Jaya Suprana; seakan kita semua hidup dalam
sebuah dunia kekeliruan. Karena mungkin saja, buku-buku yang telah
ditekuni itu sudah dirubah, dimodifikasi dan dikonstruk berulang-ulang
kali hanya sekedar melanggengkan kepentingan sekelompok golongan. Atau
memang, kita ‘semua’ yang sengaja membangun sekte-sekte golongan, biar
dibilang hebat, cerdas, bahkan jenius. Lakukan saja, supaya namamu
dikenang oleh sejarah.
Persoalan
aliran atau golongan kiri, kanan dan tengah sangat unik. Kalau membuka
sejarah, maka yang akan kita jumpai adalah pergolakan ideologi.
Selebihnya, dalam sejarah dunia, kita akan menemukan benturan gagasan
dan fenomena yang dimunculkan olehnya. Namun peristiwa yang paling
unggul adalah ketika istilah ‘perang dingin’ serentak menggegerkan
dunia. Dalam fenomena itu terbagai dua blok besar dunia, yakni blok
Barat dan blok Timur. Barat berkiblat di Amerika, sedangkan blok Timur
berkiblat di Uni Soviet. Amerika kumandangkan kapitalisme lewat jargon
liberalisasi. Uni Soviet agung-agungkan sosialisme lewat perjuangan
kerakyatan. Konflik dingin pun pecah. Iklim persaingan kemudian dibangun
secara intens di atas panggung ekonomi politik internasional.
Dan
terjadilah, ketika Indonesia baru saja menikmati kemerdekaannya atas
kolonialisme, kedua blok dunia itu bergegas membangun basis ideologinya.
Siapa sangka, Ir. Soekarno (Presiden pertama RI) malah tegas menyatakan
sikapnya membangun golongan ‘tengah’ (Non-Blok): blok yang mempertegas
tidak berpihak di antara kedua blok besar dunia itu. Namun dalam
perjalanannya, blok Barat dan Timur sangat berpengaruh. Sampai akhirnya
arah ideologi Indonesia pun turut direduksi dan dipengaruhi, dan entah
arahnya kemana. Bukan apa-apa, tatkala arah bangsa ini mulai
diperhadapkan dalam situasi ekonomi-politik yang genting, mulai muncul
masalah-masalah baru yang sangat kompleks.
Ternyata
hal itu hanya soal sektarian golongan yang fanatik. Lebih-lebih pada
mereka yang tak bijak memahami golongan. Ada yang ngaku paling benar,
ada pula yang ngaku sebagai pahlawan. Ajang pengakuan kebenaran pun
berkelindan melewati batas-batas moral. Lihatah, setelah Ir. Soekarno
jatuh dari kursi kepemimpinannya, semua tampuk kekuasaan kemudian
beralih ke-tangan Soeharto (Presiden kedua RI). Yang menurut mitos
sejarah, rezim Soeharto penuh misteri. Entah karena relevan dengan
misteri gua hantu, atau memiliki hubungan dengan misteri gunung
krakatau. Mungkin bisa saja, nyi roro kidul juga ikut main dalam
percaturan politik Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto (Hehehe…).
Memang agak aneh, tapi nyata. Biarlah anda yang meneropong sejarah
secara arif.
Setelah
pembangunan dinahkodai rezim Orde Baru, propoganda aliran dan golongan
semakin kental. Siapa saja yang nampak ‘kiri’ langsung dibuang ke gua
hantu. Yang bernama kiri sangat sarat dengan komunis-sosialis. Jadi,
kalau ada yang beraliran kiri (komunis-sosialis) langsung dipangkas. Apa
sebabnya? Menurut versi Orde Baru, orang-orang komunis-sosialis adalah
aliran yang sangat menakutkan. Tuduhan pun mengalir kepada si kiri:
partai yang beraliran kiri (PKI) pada waktu itu membunuh para jenderal
dengan cara yang sangat tidak manusiawi.
Pokoknya,
kiri selalu disalahkan oleh rezim Orde Baru. Tapi, ada tapinya.
Ternyata tidak semua benar. Ada kepentingan yang mengalir dalam sejarah
pembunuhan itu. Ada sesuatu yang sangat misteri. Hal itu sudah dibahas
oleh para sejarawan. Padahal, misteri tersebut sarat dengan ‘dendam’ dan
‘kekuasaan’ (Baca: Pelurusan Sejarah Indonesia). Jadi, pada masa Orde
Baru sesuatu yang bernama kiri digambarkan sebagai sesuatu yang kejam.
Sehingga
jangan heran kalau pada saat itu, kiri terus mendapat ancaman dari
pelbagai golongan lainnya. Lalu terjadilah, kiri di serang
habis-habisan. Yang kanan serang kiri. Yang tengah serang kiri. Begitu
juga seterusnya; saling serang pun tak terelakan. Jadi, dari situlah
sehingga seringkali membuat orang alergi ketika mendengar kiri. Padahal
ada sejarah yang perlu diluruskan. Kiri itu tak ada bedanya dengan yang
lain, hanya saja, kiri acapkali ditaruh pada catatan yang paling kelam
di atas lembar sejarah Indonesia.
Melihat
sejarah, ada di antara mereka yang alergi dengan kiri ternyata sampai
sekarang pun masih nampak di mana-mana. Karena pada dasarnya ‘kiri’ itu
identik dengan aksi jalanan dan sangar. Singkatnya, kiri itu sangat
dekat dengan perjuangan proletariat. Maka ketika melihat hal ini, mereka
akan percaya bahwa orang-orang yang sering melakukan aksi jalanan itu,
adalah bagian daripada golongan kiri.
Oleh
karenanya, mereka ini tak bisa melihat siapa saja—khususnya
kami—tatkala kami berjuang atas nama rakyat, tatkala kami turun kejalan
bersama buruh dan kelas pekerja. Atau mungkin, mereka mengira bahwa kami
giat menyalami gagasan-gagasan Lenin, lalu dengan mudah mereka sebut
kami ‘kiri’. Mereka mengira kiri itu jahat—sejahat-jahatnya Lenin?
Seharusnya mereka membaca sejarah ‘kiri’ bukan atas dasar menyelamatkan
golongan lain. Bila perlu duduk sendiri di kamar, sediakan kopi,
rokok—lalu berkontemplasi-lah dengan sejarah. Paling tidak, gagasan kiri
sengaja membuat dan mengajak kita untuk menjadi kiri—dalam arti
melawan—menentang kejahatan. Begitulah kiri; yang sebenarnya tidak
sekejam yang pernah mereka bayangkan. Ah! mereka berlebihan.
Mereka ini tak bisa mendengar kami teriak-teriak di depan
ketidakadilan. Mereka semacam teringat masa lalu—yang sebenarnya mereka
sendiri tak menyadari sedang dibutakan oleh sejarah. Mereka harusnya
banyak menelaah sejarah dengan arif, tanpa harus menarik kesimpulan
secara sepihak. Makanya, jangan heran ketika melihat kami menggunakan
sendal jepit tua, baju hitam kusam, berwajah sangar, mengagumi
tokoh-tokoh sosialisme—kemudian mereka dengan gamblang menunjuk-nunjuk
wajah kami sembari teriak: ‘kiri.’ [*]