MB.com, - Lampu
teplok di atas mejaku bersinar buram. Keningku mengerut membaca
baris-baris kalimat dalam buku yang hurufnya kecil dan padat. Buku
ilmiah, kajian rasional dan sistematis dari ahli-ahli pemikir humaniora,
bahasanya tidak teknis. Bentuk kalimatnya panjang dan anak kalimatnya
beranak pinak. Oleh temanku, buku jenis seperti ini adalah buku tulisan
para filsuf. Buku itu mengajak aku memasuki dunia kehidupan dari
persoalan keseharian yang remeh temeh sampai ke pertanyaan inti yang
membutuhkan bertahun-tahun harus berpikir dan berefleksi. Salah satu
pertanyaan yang masuk dalam bawah sadarku adalah, apa tujuanmu datang ke
dunia ini sobat? Apa yang sudah kau lakukan di sini?
Tidak ada Yang Tetap, bro
Tidak
ada yang tetap, bro, Kata Heraklitos. Segala sesuatu mengalir seperti
air mengalir, sesuatu yang usang akan berlalu, diganti oleh hal-hal yang
baru. Nenek moyangmu sudah mati, munculah dirimu, munculah hidup baru,
muncul hal-hal baru. Maka yang niscaya ada adalah perubahan itu sendiri.
Tidak
bisa dibantah, Heraklitos seorang pengamat yang jeli. Apa yang
disimpulkan Heraklitos secara empirik dan rasional bisa dibuktikan.
Diwaktu muda, seorang manusia bangga dengan ototnya yang perkasa,
kecemerlangan akal budinya, prestasinya, kecantikannya, ketampanannya,
kekuasaan dan sebagainya. Namun saban hari roda kehidupan terus
berputar. Segala realitas yang nampak dan elegan di mata fisik kita
menjadi fana. Titik puspita menjadi keriput, Beni Panjaitan terkena
struk, dsbnya. Dan kau? Barang kali menghabisi waktumu berjuang untuk
memoles tanah liatmu supaya terkesan gagah dan cantik, bukan? Berapa
biaya kosmetikmu? Berapa biaya perawatan wajah dan rambutmu? Heraklitos
tertawa melihatmu yang sedang menata sesuatu yang fana
Realitas
kefanaan membuat sesuatu menjadi absur, sandiwara belaka. Sebab
kehidupan kita ini adalah kesementaraan (contigent). Kau dan aku adalah
sang tamu yang mampir ke dunia ini, engkau bukan pemilik dunia dan
kehidupan ini, bro. (Cak Lontong pasti berkata, mikir lhooo, hehe).
Lagipula, engkau tak pernah melmbuat konsensus atau sebuah kesepakatan
sebelum untuk datang ke dunia ini. Oleh Heidegger, kau disebut orang
yang terlempar. Tiba-tiba, kau bertemu dengan aku di dunia ini, berbagi
senyum, berbicara basa-basi tentang kehidupan dan kau mati-matian
membela sesuatu yang ujung-ujungnya adalah proses dirimu menghindar dari
rasa sakit sebagai orang asing.
Apa
yang kau buat adalah demi kepuasan dirimu sendiri. Kau adalah tenunan
sebuah sistem, jikakau dilatih membidik rusa dengan memicing mata
kananmu, kau akan berpendapat, apa yang kau lakukan itu benar.
Pembuktiannya sederhana saja, kau melakukan tembakan jitu dengan
memicing mata kananmu. Sebenarnya itu adalah kebiasaanmu saja dan kau
telah melewati proses pembiasaan itu. Tetapi orang lain bisa melakukan
tembakan yang jitu dengan memicing mata kirinya. Dengan demikian,
pendapatku ini juga adalah relatif.
Lalu Bagaimana?
Husst,
kau sudah paham bahwa, kau adalah sesuatu yang sementara? Jika engkau
sudah paham, engkau akan mengerti arti tujuan hidup ini. Aku bukan guru
kebijaksanaan, tetapi ini sebuah insight dari petualangan melewati
lorong-lorong waktu, dari kisah para sufi dan ulama-ulama kebijaksanaan
hidup. Jika kau dan aku adalah tamu di dunia ini, perlakukan kehidupan
ini dengan sopan. Kau adalah tamu, maka wajib hukumnya menurut Emanuel
Kant untuk berbuat baik. Tamu yang rasional, pasti mengerti dia wajib
berbuat baik untuk sesamanya.
Dibalik
panggung sandiwara ini, pasti ada sesuatu yang tetap dan absolut. Bila
kamu berpegang pada logika sebab-akibat bahwa sesuatu itu ada pasti ada
sebabnya, maka Thomas Aquinas, Ibnu Sina dkk memberikan jawaban bahwa,
Zat yang tetap itu adalah Tuhan atau Allah. Hanya padanya, kerinduanmu
akan menjadi tenang, demikian kata Santo Agustinus. JIKA KAU ADALAH
TAMU, APA YANG KAU LAKUKAN, SOBAT? MARILAH KITA MENJADI TAMU YANG BAIK.
DIBALIK PANGGUNG SANDIWARA, TERSIMPAN MAKNA.