MB.com, Ende Flores -Tiga danau vulkanis, tiga warna air, tiga wadah astral bagi
bersemayamnya roh-roh manusia. Gunung Kelimutu mengundang kita untuk
melakoni petualangan spiritual di atap Flores
Penduduk lokal pergi ke gereja untuk ibadah mingguan
Flores bagaikan mata berlian dalam jaringan cincin api Nusantara. Topografi alamnya yang beragam—dataran tinggi, danau, juga hutan beserta burung-burung penghuninya—direpresentasikan dalam berbagai corak tenun yang begitu memikat di pasar-pasar tradisional. Dalam bahasa Portugis, “Flores” berarti bunga. Kini, Flores sedang berbenah untuk menggaet lebih banyak turis. Banyak ruas jalan antar-kabupaten hampir mulus. Hotel dan resor ramai berdiri. Pulau ini juga tercantum dalam 15 destinasi yang diprioritaskan pemerintah dalam program Destination Management Organization (DMO). Modalnya bukan cuma alam yang menawan, tapi juga masyarakat yang sangat ramah.
Penenun ikat di Moni
Di pulau yang senantiasa terancam erupsi ini, senyuman bagaikan
komoditas gratis yang diumbar massal. Tiga tahun silam, Kementerian
Pariwisata dan Duta Besar Swiss untuk Indonesia meneken nota kesepahaman
untuk mengembangkan kapasitas Flores dalam memikat turis. Keterlibatan
Swiss ini sebenarnya telah dibuka jalannya oleh Swisscontact, LSM yang
telah beroperasi lebih dari enam tahun di Flores.
Tiwu Nuwa Muri Koo Fai atau biasa dikenal dengan Danau Anak Muda bertengger di ketinggian 1.639 meter di atas permukaan laut
Sayangnya, Kelimutu, obyek ikonis Flores selain Komodo, seperti luput dari perhatian mereka. Jargon-jargon canggih manajemen destinasi seolah tak berbekas di sini. Sejumlah fasilitas bagi wisatawan dalam kondisi rusak. Banyak rambu penunjuk arah patah. Di lokasi peristirahatan, toilet kumuh dan sampah berserakan. Kapasitas lahan parkirnya pun amat terbatas, bersaing dengan warung-warung kecil penjual tenun ikat yang sama sekali tidak tertata. Tenun yang begitu mengagumkan itu disuguhkan dengan cara yang jauh dari mengagumkan.
Marcus Gawa, pemandu lokal di Gunung Kelimutu
“Anda datang di saat yang tepat, ia sedang kembali ke warna asal,”
Marcus Ghawa, sang “ juru kunci” Kelimutu, menyapa dalam samar. Pohon
pakis, kayu ampupu, dan batang kemiri, semua terlihat samar dalam
balutan kabut pukul empat subuh. Tak ada alasan yang lebih bagus untuk
bangun pagi selain berada di puncak Kelimutu untuk menanti matahari
terbit sembari menyeruput kopi, begitu tulis sebuah buku pengantar
perjalanan.
Tiwu Nuwa Muri Koo Fai (atas) dan Tiwu Ata Polo (bawah)
Marcus tua menyarankan saya berangkat lebih dini ke puncak, sebelum
matahari muncul. Sepertinya surga dibuat pada waktu pagi, batin saya.
Batu-batu vulkanis dan pepohonan terlihat pudar saat saya mendaki
barisan anak tangga kecil. Di puncak, saya duduk dan merasakan tiupan
angin dingin yang menyimpan embun. Secara perlahan, kabut terusir.
Ketiga danau Kelimutu terlihat kian menganga menghadap langit. Letusan
pada 1830, disusul dua letusan lain di 1869 dan 1870, melahirkan tiga
kawah dengan nama Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Ata Polo, dan Tiwu Nuwa Muri Ko’o
Fai. Menurut kepercayaan Suku Lio, arwah manusia bersemayam di kawah
Kelimutu. Kawah mana yang dipilih bakal disesuaikan dengan perbuatan
almarhum semasa hidup. Tiwu Ata Mbupu dipercaya sebagai tempat bersemayamnya arwah kaum sepuh
yang bijaksana; Tiwu Nua Muri Ko’o Fai dihuni arwah kawula muda;
sedangkan Tiwu Ata Polo yang berwarna merah pekat menampung roh-roh dari
jiwa yang jahat. Langit di timur memerah. Danau-danau vulkanis tampak
kian tegas. Matahari menembus lapisan kabut di pegunungan yang berlapis.
Di sini, hampir satu abad silam, seorang pria Belanda bernama Van Such
Telen pernah termenung selama berhari-hari. Saya gagal menemukan hasil
renungan pada 1915 itu. Seorang Eropa lainnya, Y Bouman, melukiskan
perubahan warna air danau dalam catatan yang dibuatnya pada 1929. Apa
sebetulnya yang mereka cari di atap Flores?
Vila di Kelimutu Ecolodge
Cericit suara burung memantulkan gema kecil dari permukaan danau dan
mengusik keheningan. Masyarakat sekitar menyebutnya burung arwah. Bahasa
Latin menamakannya garugiwa pachycephala nudigula—burung endemis Flores
yang langka dari sekitar 49 jenis burung yang berhabitat di Taman
Nasional Kelimutu, kawasan konservasi dengan luas sekitar 5.000 hektare.
Burung mistis itu memiliki 26 ragam bunyi kicauan. Nyanyian mereka
kadang terdengar seperti dentang lonceng yang dipukul dengan ketukan
dinamis.
Saya melacak arah bunyi itu, lalu bertanya kepada Marcus yang datang bersama selusin turis yang sibuk berteriak-teriak histeris karena kesenangan, hingga membuat suasana pagi hiruk-pikuk. Marcus tersenyum, dan saya tidak menemukan jawaban dari bibirnya. Dari kejauhan, garugiwa tampak tidak istimewa. Bobotnya seukuran burung gereja. Namun unggas ini punya kicauan yang khas. Dan ia juga berstatus endemis—hanya bisa ditemukan di Flores. Goresan merah tua di bagian bawah paruhnya terlihat mencolok di antara warna hitam yang membaluri seluruh tubuhnya. Ketika berkicau, bagian merah tua itu mengembang. Dalam dingin, suara garugiwa perlahan lenyap. Saya menyisir tebing curam kawah sembari mereka-reka yang dilakukan Van Such Telen dan Y Bouman puluhan tahun lalu. Akhirnya saya terenyak di puncak sambil menyeruput kopi yang dicampur jahe, lalu beranjak dari Kelimutu.
Makan siang yang disajikan di restoran lokal
Untuk sampai di kampung-kampung adat di bawah, saya mesti melewati kabut
yang masih bergelayut di lereng. Puncak Kelimutu yang menyimpan tiga
danau bagaikan sebuah negeri damai di balik kabut. Rumah-rumah di desa
adat dihuni warga yang ramah. Kehangatan sikap mereka mengimbangi
dinginnya suhu udara. Pancaran mata mereka begitu tulus memuliakan tamu.
Kaum lelaki di kawasan Kelimutu menggantungkan hidup pada sawah.
Sedangkan kaum perempuannya melewati hari dengan menenun sembari
mengunyah antiseptik purba dengan cita rasa yang memabukkan bernama
sirih dan pinang.
Fajar menyingsing di Gunung Kelimutu
Jari-jari lentik perempuan Pemo dan Detusoko lincah menyilangkan benang
dan mengawinkan warna. Entah apa yang membuat tenunan ini begitu
memikat. Mungkin corak dan motifnya, mungkin juga warnanya yang
diinterpretasikan dari alam sekitar tempat si penenun hidup. Atau
mungkin pesonanya bersumber dari ketabahan perempuan-perempuan telaten
yang menghabiskan berbulan-bulan demi memproduksi selembar kain.
Para penumpang angkutan umum lokal di Moni; kota terdekat dari Gunung Kelimutu
Anggapan bahwa hutan hanya bisa dinilai secara ekonomi dari kayunya
merupakan satu dari sekian banyak penyebab rusaknya alam di Indonesia.
Kepercayaan lama meyakini pentingnya keseimbangan alam. Tapi banyak
orang telah meninggalkannya. Masyarakat etnis Lio punya kedekatan khusus
dengan hutan. Mereka menganggap hutan—yang sejak 1997 diresmikan
sebagai Taman Nasional Kelimutu itu—sebagai bagian tidak terpisahkan
dari kehidupan mereka. Di sini, mitologi mendapati tempatnya sebagai
pencegah kemusnahan. Dalam novel Bilangan Fu, Ayu Utami menyimpulkan: di
tempat di mana mitos hidup subur, alam lebih terjaga dari kepunahan.
Kuda; hewan ternak yang banyak ditemukan di desa-desa Gunung Kelimutu
Tiga danau Kelimutu tak bisa ditemukan tandingannya di dunia. Warna air
ketiganya berbeda, dan terus berbeda seraya berubah secara ajek. Warna
air di Tiwu Nuwa Muri Ko’o Fai misalnya, berubah 12 kali dalam jangka
waktu 25 tahun. Selain berkat aktivitas vulkanis, perubahan warna ini
menurut para ahli disebabkan oleh pembiasan cahaya matahari pada dinding
dan dasar danau, keberadaan mikro biota air, serta terjadinya
pencampuran zat kimiawi.
pencampuran zat kimiawi.
Sekali dalam setahun, suku Lio menyembelih hewan, lalu mempersembahkan
hati dan jantungnya kepada roh-roh penjaga gunung. Penganut Islam
menyuguhkan ayam, pemeluk Nasrani memilih babi. Tidak ada pertikaian
antaragama yang tercatat di sini. “Kita menyembah sosok agung yang sama
dengan cara yang berbeda-beda,“ kata seorang perempuan tua di pinggang
Kelimutu. Islam di Kelimutu dibawa pelaut Bugis dan kini dianut
minoritas warga. Jauh sebelumnya, bangsa Eropa mendarat di pulau Flores
pada abad ke-16 dan mewartakan agama Katolik. Tapi kedatangan
agama-agama langit tak otomatis menghapus tradisi animisme. Ritual
pengorbanan hewan bagi penjaga gunung masih dipraktikkan. Prosesinya
jelas berbeda dari Idul Adha dalam Islam, tapi filosofinya mirip:
manifestasi kepatuhan pada sosok gaib yang menjaga keseimbangan alam.
Para wanita dengan pakaian terbaik sedang menuju gereja untuk ibadah mingguan
Senin pagi, pasar mingguan telah dibuka di Moni. Kain-kain tenun, produk
kebanggaan masyarakat Flores, digelar dalam beragam warna dan motif.
Pasar-pasar tradisional semacam ini sering dilirik distributor yang siap
mengedarkan tenun ikat ke berbagai negara. Beberapa menit berkendara
dari Desa Moni, ada Kelimutu Ecolodge yang menawarkan penginapan luks
bagi pelancong. Pondok-pondoknya ditata apik menghadap aliran sungai.
Hawa sejuk senantiasa mengitarinya. Kicau burung meramaikannya saban
pagi. Dari properti ini, butuh 30 menit berkendara untuk sampai di
Kelimutu. Jumlah wisatawan di Flores tiap tahunnya mencapai 2.000-an
orang. Untuk meresponsnya, beberapa ruas jalan telah diperlebar. Tapi
fasilitas lainnya masih jauh dari mumpuni. Menurut Adi Sonarno, CEO
Flores Tourism, Flores membutuhkan prasarana untuk liburan keluarga,
bandara berstandar internasional, dan lebih banyak rumah sakit.
“Turis datang Flores rata-rata untuk adventure dan hiking. Sangat jarang
untuk leisure,” jelasnya. Saya kembali ke puncak Kelimutu. Kali ini di
sore hari. Kabut telah memenuhi pinggang gunung. Jarak pandang tak lebih
dari lima meter. Setelah membayar karcis masuk, saya memacu kendaraan
menembus kabut pekat dan jalan berliku. Meti, seorang ibu muda,
menawarkan santapan buat saya nanti malam. Saya susuri lembah-lembah
kecil nan tandus, juga jalan kecil yang melingkari danau bertebing
curam. Di depan saya, tertulis “Pere Konde”, gerbang rimba tempat warga
menaruh sesajen bagi Konde Ratu, sang penguasa.
Tiwu Ata Mbupu atau Danau Orang Tua
Dalam selimut kabut, saya merasakan embusan angin yang mengangkut bau tajam dari rahim kawah. Saya tidak tahu apakah Kelimutu masih terjaga atau sedang bermimpi. Namun, yang pasti, keindahannya telah melenakan mata orang-orang yang hidup dalam keseimbangan. Keseimbangan yang membuat saya berpikir kembali tentang makna hidup.
DETAIL
Kelimutu
—Rute
Gunung Kelimutu berjarak sekitar 50 kilometer dari Kota Ende dan 100 kilometer dari Kota Maumere. Lion Air ( lionair.co.id ) melayani penerbangan Jakarta-Ende via Denpasar, serta Denpasar-Maumere. Sedangkan TransNusa ( transnusa.co.id ) memiliki rute Denpasar-Ende dan Kupang-Maumere. Dari Bandara Wai Oti di Maumere, Anda bisa menyewa kendaraan dengan tarif Rp600.000 per hari. Salah satu operator kendaraan sekaligus pemandu yang layak disewa jasanya adalah Andi (0821/4475-5259).
—Penginapan
Di sekitar Desa Moni terdapat belasan penginapan, salah satunya Bintang Lodge Moni (Desa Moni, Flores; 0852/3790-6259; bintanglodge.com ; doubles mulai dari Rp350.000). Akomodasi yang lebih premium ditawarkan oleh Kelimutu Crater Lakes Ecolodge (Jl. Maumere, Desa Moni, Flores; 0361/7474-205; ecolodgesindonesia.com ; mulai dari $90 untuk cottage), properti berisi pondok-pondok beratap ilalang yang menghadap sungai dan persawahan.
—Aktivitas
Kegiatan utama di Kelimutu tentu saja mengitari tiga danau vulkanis di atap gunung. Seperti di Bromo, ritual menonton matahari terbit adalah paket utama di sini. Anda disarankan bangun pukul empat, lalu duduk menantikan sang surya menyembul dan menepis kabut di puncak. Tiap pertengahan Agustus, masyarakat sekitar lazim menggelar berbagai ritual penghormatan kepada roh-roh yang bersemayam di ketiga kawah. Dari Desember hingga April, saat curah hujan di Flores lebih tinggi, semua bukit dan gunung terbalut dalam warna hijau. Sementara di musim kemarau dari Mei hingga November, hutan terlihat cokelat. Sensasi petualangan yang berbeda ditawarkan oleh kedua periode tersebut. Di kawasan Taman Nasional Kelimutu, Anda juga bisa melakoni bird watching. Dari sekitar 49 jenis burung yang berhabitat di sini, garugiwa adalah ikonnya.
[Destin/Asian]