Membaca berita kisruh Anggaran Daerah DKI Jaya, makin jelas bahwa DKI sangat membutuhkan figur berkarakter ‘gila’ seperti Ahok. Kegilaan yang nyaris tampak tidak memedulikan populer tidaknya sikap ‘keras dan galaknya’, di tengah ‘menggilanya’ pembiasaan ‘kerukunan dan harmoni semu’ dalam etika komunikasi dan relasi politik. Tak heran kalau kegilaan ini, lalu diputar balikkan sebagai tuduhan yang menyebut Gubernur DKI Ahok terus membentuk pencitraan pribadi.
Revolusi mental, mana bisa dilakukan dengan sikap setengah-setengah, hangat-hangat suam kuku, submisif, permisif dan kompromistis? Harus ada satu pemicu untuk menerobos benteng kokoh sebuah masyarakat pelindung status quo — “yang penting korupsi aman dan jalan”.
Jangan bawa-bawa “bela agama” dan menuduh lelucon terhadap legislatif Lulung sbg penghinaan agama. Ini soal seorang “perwakilan legislatif” sebagai symbol dari lembaga perwakilan rakyat daerah, bukan agama. Ini baru awal pengungkapan kemunafikan dan status quo, yang mereka sebut sebagai “hubungan harmonis antara legislatif dan eksekutif selama tahun-tahun sebelumnya”.
“Bagi seseorang yang menyandang atau melekatkan sendiri “gelar keagamaan” pada namanya, seharusnya dia bisa menjaga sikap dan perilakunya di masyarakat. Karena ketika dia berbuat kekeliruan, mau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, agamanyalah yg langsung kena getahnya,” keluh sahabat saya yang adalah seorang muslimah berbudi.
Kalau sebagian yang keberatan dengan ejekan netizen itu mau jujur, netizen pengejek sang ‘wakil rakyat’ itu kan esensinya menyindir “simbol atau ikon” kebebalan kronis sekaligus akut, dari siapa pun yang memertahankan praktik manipulatif dan korup yang baru diungkap transparan setelah adanya pemimpin daerah berani mati dan mau tampak gila seperti Gubernur Ahok.
Sebagian dari masyarakat tentu paham, bahwa netizen tidak mengejek atribut keagamaannya, namun karena itu satu paket dan merek dagang sang wakil rakyat, mau tidak mau — ejekan menggunakan nama lengkap sang tokoh.
Sebuah kelompok pengerah massa bernama Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ), berencana turun ke jalan dengan alasan eksplisit dan sepenuh keyakinan — melengserkan Gubernur DKI yang sah. Apakah mereka sadar bahwa DPRD bukan sebuah lembaga dewa, yang anggotanya malaikat dan santo yang nir kesalahan dan niat menguntungkan diri dan golongan?
Revolusi mental, mana bisa dilakukan dengan sikap setengah-setengah, hangat-hangat suam kuku, submisif, permisif dan kompromistis? Harus ada satu pemicu untuk menerobos benteng kokoh sebuah masyarakat pelindung status quo — “yang penting korupsi aman dan jalan”.
Jangan bawa-bawa “bela agama” dan menuduh lelucon terhadap legislatif Lulung sbg penghinaan agama. Ini soal seorang “perwakilan legislatif” sebagai symbol dari lembaga perwakilan rakyat daerah, bukan agama. Ini baru awal pengungkapan kemunafikan dan status quo, yang mereka sebut sebagai “hubungan harmonis antara legislatif dan eksekutif selama tahun-tahun sebelumnya”.
“Bagi seseorang yang menyandang atau melekatkan sendiri “gelar keagamaan” pada namanya, seharusnya dia bisa menjaga sikap dan perilakunya di masyarakat. Karena ketika dia berbuat kekeliruan, mau tidak mau, sengaja atau tidak sengaja, agamanyalah yg langsung kena getahnya,” keluh sahabat saya yang adalah seorang muslimah berbudi.
Kalau sebagian yang keberatan dengan ejekan netizen itu mau jujur, netizen pengejek sang ‘wakil rakyat’ itu kan esensinya menyindir “simbol atau ikon” kebebalan kronis sekaligus akut, dari siapa pun yang memertahankan praktik manipulatif dan korup yang baru diungkap transparan setelah adanya pemimpin daerah berani mati dan mau tampak gila seperti Gubernur Ahok.
Sebagian dari masyarakat tentu paham, bahwa netizen tidak mengejek atribut keagamaannya, namun karena itu satu paket dan merek dagang sang wakil rakyat, mau tidak mau — ejekan menggunakan nama lengkap sang tokoh.
Sebuah kelompok pengerah massa bernama Gerakan Masyarakat Jakarta (GMJ), berencana turun ke jalan dengan alasan eksplisit dan sepenuh keyakinan — melengserkan Gubernur DKI yang sah. Apakah mereka sadar bahwa DPRD bukan sebuah lembaga dewa, yang anggotanya malaikat dan santo yang nir kesalahan dan niat menguntungkan diri dan golongan?
Sebagian masyarakat lebih mengutamakan formalitas, tampak luar, dan bukan esensi dari permasalahan dan substansi yang menyedihkan dari para manipulator dan koruptor.
Sekarang coba kita tilik indikasi ini. Menurut ‘justifikasi’ pihak DPRD, anggaran UPS (BUKAN USB!), enam milyar itu kalkulasinya adalah: harga UPS-nya sendiri 1.2 milyar, biaya bayar listrik 3m, dan lain-lain. Nah, yang menang tender senilai 4-6 miliyar itu kan perusahaan kontraktor. Apakah memang listrik sekolah yang membayari pihak kontraktor? Tiga milyar itu untuk bayar listrik berapa tahun? Selama operasionalnya berjalan begitu? Kalau itu bukan tanggungan kontraktor, lalu dari mana anggarannya?
Tim Penyusun Anggaran Daerah Pemerintah Provinsi Jakarta untuk APBD 2015 menemukan angka Rp 12,1 triliun, setelah bandingkan dokumen yang dimiliki Pemerintah Provinsi Jakarta dengan dokumen yang dari DPRD. Itu yang disampaikan oleh Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah di Balai Kota Jakarta, Jumat, 6 Maret 2015.
Langkah itu ditempuh karena Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu memberikan evaluasi dan laporan rutin. BPKP menemukan kegiatan-kegiatan yang awalnya tak diusulkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau kenaikan alokasi anggaran pada kegiatan-kegiatan yang awalnya diusulkan SKPD. Temuan lain adalah penyusunan standar harga bidang jasa borongan dan perencanaan barang/jasa/yang tidak sesuai metodologi yang seharusnya. Nah ini yang seharusnya menjadi pemikiran untuk membenahinya dan menjadikan temuan itu sebagai dasar perbaikan kebijakan dan mekanisme proses penyusunan dan persetujuan Anggaran Daerah (DKI).
Sekarang coba kita tilik indikasi ini. Menurut ‘justifikasi’ pihak DPRD, anggaran UPS (BUKAN USB!), enam milyar itu kalkulasinya adalah: harga UPS-nya sendiri 1.2 milyar, biaya bayar listrik 3m, dan lain-lain. Nah, yang menang tender senilai 4-6 miliyar itu kan perusahaan kontraktor. Apakah memang listrik sekolah yang membayari pihak kontraktor? Tiga milyar itu untuk bayar listrik berapa tahun? Selama operasionalnya berjalan begitu? Kalau itu bukan tanggungan kontraktor, lalu dari mana anggarannya?
Tim Penyusun Anggaran Daerah Pemerintah Provinsi Jakarta untuk APBD 2015 menemukan angka Rp 12,1 triliun, setelah bandingkan dokumen yang dimiliki Pemerintah Provinsi Jakarta dengan dokumen yang dari DPRD. Itu yang disampaikan oleh Sekretaris Daerah DKI Jakarta Saefullah di Balai Kota Jakarta, Jumat, 6 Maret 2015.
Langkah itu ditempuh karena Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) selalu memberikan evaluasi dan laporan rutin. BPKP menemukan kegiatan-kegiatan yang awalnya tak diusulkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) atau kenaikan alokasi anggaran pada kegiatan-kegiatan yang awalnya diusulkan SKPD. Temuan lain adalah penyusunan standar harga bidang jasa borongan dan perencanaan barang/jasa/yang tidak sesuai metodologi yang seharusnya. Nah ini yang seharusnya menjadi pemikiran untuk membenahinya dan menjadikan temuan itu sebagai dasar perbaikan kebijakan dan mekanisme proses penyusunan dan persetujuan Anggaran Daerah (DKI).
Yang terjadi, banyak isu non-substansial yang justru dikembangkan dan didesakkan ke permukaan, termasuk isu adanya gerakan komunis baru di balik polemik APBD. Wah! Penulis jatuh iba dengan “wakil rakyat” yang mengandalkan spekulasi-spekulasi yang belum tentu sahih dan bisa dipertanggung-jawabkan pada akhirnya.
Kembali soal GMJ, apakah disadari bahwa mereka berteriak lantang membawa misi palsu membela suara rakyat (dengan ungkapan demi DPRD sebagai simbol control terhadap Kepala Daerah), namun sambil menikmati kemakmuran yang tidak bisa dialami oleh sebagian rakyat — karena bertahun-tahun lamanya uang yang sejatinya harus tepat guna dipakai menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat, malah mereka jadikan kue pesta pora untuk ‘kalangan sendiri’?
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenni Sucipto mengatakan asumsi terjadi kongkalikong antara eksekutif, legislatif, dan pengusaha “hitam” dalam proses penyusunan anggaran terjadi di hampir semua daerah.
Bukan hanya terjadi di Jakarta saja dalam kisruh penyusunan APBD tahun ini.
“Kalau ada titipan di luar kebijakan program, itu disebut siluman. Di sini eksekutif, legislatif, dan pengusaha hitam biasa terlibat,” ujar Yenny dalam diskusi di Cikini, Sabtu (7/3/2015). *)
Lihatlah beberapa media berita dengan nama-nama berbahasa tertentu, adakah mereka membicarakan isu-isu yang benar-benar pro rakyat? Apakah mereka peduli dengan warga di kebon melati yang dua hari kemarin 1200 rumahnya musnah dilalap api?
Semoga gonjang-ganjing Ahok dan DPRD di DKI ini menginspirasi warga negara di setiap daerah di seantero Republik tercinta ini, untuk mempertanyakan banyak hal tentang pemimpin daerah mereka, tentang wakil mereka di lembaga legislatif daerah masing-masing.
Ingat kasus korupsi di Bangkalan, yang menampilkan kepala daerah non-aktif Kiai Haji Fuad Amin Imron sebagai tersangka? Selain korupsi, ia juga bagi-bagi jabatan di antara kerabat dan sanak saudaranya. Dari ketua DPRD hingga jabatan-jabatan penting di Bangkalan. Apakah ini yang disebut hubungan harmonis dan serasi antara eksekutif dan legislatif?
Tampaknya, persoalan ricuh soal anggaran DKI, bukan semata masalah partai apa dan siapa, namun lebih tentang kebutuhan korup, yang lama-lama menjadi kebiasaan yang sudah saling dipahami dan dikompromikan. Ini bukan soal who does what, namun how something is done, how some people do things, and whether what some people have done is alarmingly harmful to the country as part of the system.
Semoga kita masih punya sedikit pemikiran, bagaimana mencintai negeri ini dengan semestinya dan sepantasnya. Revolusi mental sedang dilakukan — mengganti yang rusak, membenahi yang masih bisa diuraikan permasalahannya, dan ini tentu tidak tanpa risiko pengorbanan semua pihak. Korupsi dan semua bentuk cerminan mentalitas penggerogot bangsa, ibarat penyakit kanker yang kronis sekaligus akut. Mengangkat jaringan kanker yang nyaris ditemukan di semua bagian tubuh jelas akan sangat menyakitkan, bahkan itu dirasakan oleh bagian yang sehat dan tidak terjangkiti.
Kembali soal GMJ, apakah disadari bahwa mereka berteriak lantang membawa misi palsu membela suara rakyat (dengan ungkapan demi DPRD sebagai simbol control terhadap Kepala Daerah), namun sambil menikmati kemakmuran yang tidak bisa dialami oleh sebagian rakyat — karena bertahun-tahun lamanya uang yang sejatinya harus tepat guna dipakai menyejahterakan dan mencerdaskan rakyat, malah mereka jadikan kue pesta pora untuk ‘kalangan sendiri’?
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia Untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yenni Sucipto mengatakan asumsi terjadi kongkalikong antara eksekutif, legislatif, dan pengusaha “hitam” dalam proses penyusunan anggaran terjadi di hampir semua daerah.
Bukan hanya terjadi di Jakarta saja dalam kisruh penyusunan APBD tahun ini.
“Kalau ada titipan di luar kebijakan program, itu disebut siluman. Di sini eksekutif, legislatif, dan pengusaha hitam biasa terlibat,” ujar Yenny dalam diskusi di Cikini, Sabtu (7/3/2015). *)
Lihatlah beberapa media berita dengan nama-nama berbahasa tertentu, adakah mereka membicarakan isu-isu yang benar-benar pro rakyat? Apakah mereka peduli dengan warga di kebon melati yang dua hari kemarin 1200 rumahnya musnah dilalap api?
Semoga gonjang-ganjing Ahok dan DPRD di DKI ini menginspirasi warga negara di setiap daerah di seantero Republik tercinta ini, untuk mempertanyakan banyak hal tentang pemimpin daerah mereka, tentang wakil mereka di lembaga legislatif daerah masing-masing.
Ingat kasus korupsi di Bangkalan, yang menampilkan kepala daerah non-aktif Kiai Haji Fuad Amin Imron sebagai tersangka? Selain korupsi, ia juga bagi-bagi jabatan di antara kerabat dan sanak saudaranya. Dari ketua DPRD hingga jabatan-jabatan penting di Bangkalan. Apakah ini yang disebut hubungan harmonis dan serasi antara eksekutif dan legislatif?
Tampaknya, persoalan ricuh soal anggaran DKI, bukan semata masalah partai apa dan siapa, namun lebih tentang kebutuhan korup, yang lama-lama menjadi kebiasaan yang sudah saling dipahami dan dikompromikan. Ini bukan soal who does what, namun how something is done, how some people do things, and whether what some people have done is alarmingly harmful to the country as part of the system.
Semoga kita masih punya sedikit pemikiran, bagaimana mencintai negeri ini dengan semestinya dan sepantasnya. Revolusi mental sedang dilakukan — mengganti yang rusak, membenahi yang masih bisa diuraikan permasalahannya, dan ini tentu tidak tanpa risiko pengorbanan semua pihak. Korupsi dan semua bentuk cerminan mentalitas penggerogot bangsa, ibarat penyakit kanker yang kronis sekaligus akut. Mengangkat jaringan kanker yang nyaris ditemukan di semua bagian tubuh jelas akan sangat menyakitkan, bahkan itu dirasakan oleh bagian yang sehat dan tidak terjangkiti.
(Indria Salim)