Anjing binatang piaraan yang patuh, setia dan disayangi. Di Indonesia, ia jadi kata umpatan. Sebuah meme yang beredar di media sosial menampilkan pesan: “Halo, ini gw anjing. Gw lihat di facebook loe nyalahin gw, salah gw apa.” Meme
semacam ini muncul setelah anggota DPRD DKI Jakarta mengumpat “anjing”
dalam rapat mediasi dengan Gubernur DKI Jakarta dan jajarannya, membahas
kisruh APBD DKI Jakarta di Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, 5 Maret
lalu.
Anjing kerap dianggap sebagai binatang
piaraan yang patuh, setia, dan disayangi. Kebiasaan memelihara anjing
sudah berlangsung lama, termasuk di Nusantara. Di Aceh, Meurah Silu, pendiri kerajaan
Samudera Pasai, memiliki anjing kesayangan bernama Pasai. “Pasai”
kemudian dipakai melengkapi nama kerajaan, yang semula hanya Samudera
menjadi Samudera Pasai. Menurut Ali Hasymy dalam Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, asal nama Pasai, baik Hikayat Melayu maupun Hikayat Raja-raja Pasai, menyebutkan “setelah sudah jadi negeri itu maka anjing perburuan yang bernama si Pasai itupun matilah pada tempat itu.”
Kebiasaan memelihara anjing juga dicatat
Ma Huan, seorang Tionghoa muslim yang mengiringi Laksamana Cheng Ho
berkunjung ke Kerajaan Majapahit pada 1416. Dia mencatat rakyat biasa di
Majapahit tinggal bersama anjing mereka. Islam yang menyatakan jilatan anjing
sebagai najis barangkali menyebabkan kaum Muslim enggan memeliharanya.
Kendati demikian, K.H. Mas Mansyur, ketua Muhammadiyah (1937-1941),
memelihara anjing betina jenis Keeshond, hadiah dari pemilik restoran
Molenkamp, langganan Sukarno di Pasar Baru Jakarta. Sukarno juga pernah
memelihara anjing.
Mungkin karena anggapan najis dan
sikapnya yang patuh pada tuannya itulah yang membuat anjing dipakai
sebagai kata umpatan atau merendahkan. Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC),
misalnya, pernah menyamakan raja Mataram, Sultan Agung, dengan “seekor
anjing yang telah mengotori masjid Jepara.”
Begitu pula terhadap kaum pribumi, orang
Belanda menyamakannya dengan anjing. Di tempat-tempat keramaian yang
hanya untuk kalangan Belanda, Eropa, dan Jepang, biasa tertulis: Verboden voor Inlanders en Honden (dilarang masuk untuk pribumi dan anjing).
Kata umpatan atau merendahkan itu
kemudian dipakai siapa saja. Kaum pergerakan mendamprat orang-orang yang
bekerjasama dengan Belanda sebagai “anjing Belanda”. Sutan Sjahrir pernah menyebut orang yang
bekerjasama dengan Jepang, terutama Sukarno, sebagai “anjing-anjing
Jepang”. Para politisi dan rakyat Belanda pun mencap Sukarno sebagai
“anjing piaraan Jepang”. “Cap tersebut merupakan momok yang terus
mengganggu Soekarno dan Hatta pada masa sesudah Perang Dunia II,” tulis
Frances Gouda dan Thijs Brocades Zaalberg dalam Indonesia Merdeka Karena Amerika?
Sjahrir juga kena batunya ketika
menjabat perdana menteri. Karena memilih berunding dengan Belanda, dia
dan para pengikutnya diejek sebagai “anjing-anjing Belanda”. Pada masa revolusi, para pejuang
mengumpat orang pribumi yang membantu Belanda sebagai “anjing NICA”
(Netherlands-Indies Civil Administration, Pemerintahan Sipil Hindia
Belanda). Andjing NICA juga sebutan untuk Batalion Infanteri V Brigade W
KNIL dari Bandung. Sebaliknya, orang-orang Belanda menyebut kaum
pejuang sebagai “anjing Sukarno”.