MB.com, OPINI-- Menyaksikan
drama politik pekan ini, ada kesan yang agak mudah ditangkap, bahwa
politik tampil kembali dalam wajah yang tegang. Politik seakan hadir
dalam hasrat yang tak lagi dapat dibendung. Tak lagi ada ruang
kompromi. Kepentingan telah memegang kendali. Politik lalu menjadi
ricuh. Lantas, bergerak dalam naluri purba untuk saling menumpas. Saling
bendung. Saling gulung. Pihak sana. Pihak sini. Hitam. Putih.
Pada situasi
ini, panggung politik terasa lebih dramatik dibanding panggung
sandiwara. Konflik yang sedianya merupakan sesuatu yang dinamik, dalam
panggung politik itu, menjadi hiruk-pikuk dan membingungkan.
Di atas
panggung itu, publik yang semula adalah pelakon utama seakan tak lagi
dilibatkan apalagi mendapat peran. Panggung itu, seakan,
sepenuh-penuhnya telah disesaki dan dikuasai sekelompok pemangku
kepentingan. Seolah, sudah dimiliki seluruhnya bagi mereka yang telah
dititipi mandat. Tak ada lagi yang tersisa.
Publik, sang
empunya mandat, seakan ingin ditempatkan kembali sebagai “mayoritas
diam”. Posisi ini kerap mudah dan pernah disalah-artikan. Dengan posisi
itu, orang kebanyakan yang diam ini, bolehlah diperlakukan apa saja.
Toh, meski mayoritas, orang kebanyakan ini akan adem ayem. Tenang-tenang
saja.
Pikiran
seperti ini, bisa jadi tak terlalu salah, jika ia dibaca dari paham lama
yang menganggap publik adalah sesuatu yang di luar sana. Bahwa, publik
hanya orang banyak yang menonton. Pikiran sejenis ini pernah menguasai
kekuasaan di negeri ini beberapa dasawarsa lamanya. Saat itu, senyum
seorang jenderal adalah ukuran atas baik dan buruk.
Tapi zaman
bergerak. Dan, sekarang bukan zaman edan. Publik kini adalah entitas
yang bertenaga. Pikiran yang menempatkan publik sebagai remah-remah,
sebagai sesuatu yang hanya akan mendapatkan “trickle down effect”,
adalah pikiran yang ingin memutar balik arah jarum jam. Pikiran yang
lahir dari rasa cemas akan lenyapnya hak-hak istimewa. Pikiran yang
menolak zaman baru. Pikiran yang menghindar dari gerak roda sejarah.
Dari kisah
Cina klasik, ada nasihat dari Zeng Guoquan, “Untuk menghindari suatu
negara jatuh ke dalam kekacauan, hukum berat diadakan. Di sebuah negara
yang sudah lama dalam keadaan kacau, pertimbangan-pertimbangan lunak
seharusnya diterapkan untuk memberi kesempatan pada rakyat.” (1824-1890)
Hari ini,
sejarah sedang kembali ditulis. Tiap-tiap kita adalah mata pena. Jika
ada yang dikaburkan dari yang ingin dikabarkan, tinta sejarah kelam itu
akan kalah kuat dibanding dengan ingatan mayoritas diam. Ingatan orang
banyak telah dan akan terus terpatri dalam kerelaan panjangnya selama
ini. Bahwa, jika berkehendak, suara mayoritas pernah membungkam senyum
seorang jenderal besar.
Bisa jadi,
kita mungkin memang hidup dalam ingatan yang singkat. Namun, di zaman
ini, catatan lebih mudah dibuat, media massa dan media sosial merekam
tiap-tiap babak juga lakon yang diperankan di atas panggung politik.
Dan, catatan itu tengah dibuat.
Pepatah lama
berkata, sepandai-pandainya menyimpan bangkai pada akhirnya tercium
juga. Sepandai-pandainya bermain sandiwara, aslinya akan ketahuan juga.
Alhasil, sebelum terlalu meracau, berilah kesempatan pada rakyat. (dadang rhs)