MB.com, OPINI -- Ini adalah
kisah tentang masa depan. Sesuatu yang futuristik. Boleh percaya, boleh
tidak, tetapi ini bukan sesuatu yang mustahil. Anggaplah, Tuhan berkenan
memberi saya umur panjang sehingga masih hidup dan sehat sampai tahun
2050. Alhamdulillah, 36 tahun dari masa sekarang, NKRI (Negara Kesatuan
Republik Indonesia) juga masih eksis, bahkan semakin kuat. Tetapi
Indonesia 2050 jauh berbeda dengan Indonesia 2014.
NKRI 2050
masih menganut sistem demokrasi, di mana kedaulatan berada sepenuhnya di
tangan rakyat. Artinya, NKRI di masa depan tetap konsisten dengan
cita-cita para founding fathers, pendiri republik ini. Tetapi
kedaulatan rakyat itu, berkat kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi, plus didukung kemampuan ekonomi Indonesia yang maju pesat
berkat fokus ke jati diri sebagai kekuatan maritim besar dunia, tidak
membutuhkan lembaga yang namanya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).
Mengapa
demikian? Hal ini karena lembaga DPR bukanlah tujuan, melainkan hanya
sarana, alat, atau wahana untuk mencapai tujuan nasional, serta
nilai-nilai luhur yang dikehendaki bangsa. Maka, manakala situasi dan
kondisi nasional sudah berubah drastis, di mana pencapaian tujuan itu
tidak lagi membutuhkan alat, sarana, atau wahana bersangkutan, atau
sudah ditemukan alat, sarana, dan wahana yang lebih baik, maka alat,
sarana, dan wahana awal (baca: DPR) itu bisa ditinggalkan.
Coba kita
cermati, mengapa dulu dan sekarang, untuk sementara kita masih butuh
lembaga DPR. Inti dari demokrasi adalah pencarian keputusan terbaik
untuk kepentingan semua orang, dengan melibatkan (sedapat mungkin)
partisipasi setiap orang. Jika jumlah orang cuma 10, anda cukup rapat
bersama dan berembuk untuk menghasilkan keputusan terbaik.
Namun, karena
populasi penduduk Indonesia sudah 250 juta, secara teknis tidak mungkin
membuat rapat langsung yang dihadiri 250 juta orang. Karena itulah,
kita butuh “perwakilan” orang yang dipilih untuk mewakili banyak orang
lain. Karena jumlah wakil ini juga cukup banyak, ratusan atau lebih,
yang bekerja menurut sistem tertentu, maka butuh lembaga perwakilan yang
kita namai DPR.
Jadi, sistem
perwakilan tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Sistem perwakilan
bukanlah tujuan demokrasi, tetapi menjadi sarana untuk mengefektifkan
pelaksanaan prinsip demokrasi. Namun, sehebat-hebatnya sebuah
perwakilan, dia tetap tidak menghasilkan derajat keterwakilan yang sama
dengan jika seseorang mewakili dirinya sendiri. Perwakilan
sedikit-banyak tetaplah bersifat meredusir, karena secara hakiki orang
yang paling bisa mewakili diri saya adalah saya sendiri, bukan orang
lain siapapun dia.
Contoh
sederhana reduksi itu begini. Anda disuruh mewakili 100 buruh di sebuah
pabrik, untuk menentukan menu makan siang yang akan disajikan untuk
semua mereka. Dari semua masukan, ternyata 70 buruh memilih gado-gado,
10 memilih pecel lele, 10 memilih rendang, dan 10 memilih ayam bakar.
Karena merasa mayoritas suka gado-gado, anda pun memilih gado-gado.
Meskipun pilihan itu sah dan anda serius ingin betul-betul mewakili
semua buruh, sebenarnya ada 30 buruh yang aspirasinya kurang terpenuhi.
Jika anda
punya waktu dan ruang cukup untuk berdiskusi dan bermusyawarah dengan
semua buruh, mungkin anda akan memilih menu makanan yang lain sama
sekali: nasi goreng. Meski awalnya opsi nasi goreng ini tidak muncul,
ternyata justru opsi inilah yang disepakati semua buruh. Tetapi, yang
lebih sering terjadi, berbagai keterbatasan teknis dan desakan waktu
membuat anda memilih gado-gado, dan dengan demikian terjadilah reduksi. Kita bersyukur, para founding fathers
yang menggali dan merumuskan Pancasila tidak pernah menjadikan sistem
perwakilan sebagai tujuan. Sistem perwakilan pada dasarnya hanyalah
alat, wahana, atau sarana, untuk mengefektifkan implementasi nilai-nilai
dan prinsip-prinsip demokrasi.
Oleh karena
itu, jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah oleh para
anggota DPRD itu lebih mencerminkan demokrasi Pancasila dibandingkan
dengan pemilihan langsung oleh rakyat, pendapat itu jelas keliru.
Pendapat itu berangkat dari kerancuan cara berpikir. Mereka terpaku pada
alat, sarana, atau wahana untuk implementasi demokrasi, tapi tidak
berangkat dari hakikat atau esensi demokrasi itu sendiri.
Marilah kita cermati sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila keempat itu bukanlah dirumuskan secara sembarangan oleh para founding fathers.
Kalimat “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” disebut lebih dahulu dari
“permusyawaratan/perwakilan.” Ini berarti nilai-nilai luhur,
kebijaksanaan, dan kebaikan yang menjadi tujuan berdemokrasi lebih
diutamakan dari sekadar alat, sarana, atau wahana yang bisa direkayasa
atau dimanipulasi.
Jika para
politisi dan anggota DPRD korup “bermusyawarah dan bermufakat” untuk
bagi-bagi proyek APBD di antara mereka, atau memilih seorang teman
koalisinya sendiri (yang juga korup) untuk menjadi kepala daerah, maka
secara formal sistem perwakilan yang berlaku, mereka seolah-olah sudah
bertindak “mewakili rakyat”. Tetapi sebenarnya, permusyawarahan dan
permufakatan yang mereka lakukan itu jauh dari “hikmat kebijaksanaan”
yang dimaksud dalam sila keempat Pancasila. Jadi, “musyawarah para
anggota DPRD korup” untuk membela kepentingan dirinya atau kelompoknya
sendiri tidaklah layak diklaim sebagai pencerminan demokrasi Pancasila. Contoh pola
pikir rancu lain adalah menyatakan bahwa “Pilkada lewat pemungutan suara
rakyat secara langsung “ itu adalah sistem liberal. Jadi cara itu
dianggap tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, di mana pemilihan
kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Pandangan ini jelas rancu.
Sekali lagi, di sini alat, wahana, atau sarana dijadikan kriteria untuk
menentukan sesuatu yang lebih hakiki atau esensial.
Perbedaan
utama liberalisme dan Pancasila sebagai ideologi adalah pada pandangan
dunia dan prinsip-prinsip yang melandasinya. Dalam kaitan itu, Pilkada
lewat pemungutan suara rakyat secara langsung justru mencerminkan
kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Oleh karena itu, Pilkada
lewat pemilihan langsung itu tidak bisa secara simplistis direduksi
menjadi “ciri-ciri liberalisme,” untuk dikontraskan dengan pemilihan
kepala daerah oleh anggota DPRD yang diklaim mewakili “demokrasi
Pancasila.”
Ada lagi
pendapat lain, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara
langsung itu tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, karena tidak
pernah dicontohkan oleh para founding fathers, termasuk oleh
Bung Karno. Pendapat semacam ini jelas tidak berlandaskan pada pemahaman
kondisi obyektif historis. Bahwa dari 17 Agustus 1945 sampai 1999 belum
ada kepala daerah dan presiden RI yang dipilih secara langsung, itu
bukan karena pemilihan secara langsung tidak sesuai dengan demokrasi
Pancasila, tetapi karena kondisi obyektif historis yang memang belum
memungkinkan.
Konstitusi
kita UUD ’45 sendiri adalah produk sejarah yang disusun dalam situasi
bangsa yang dipenuhi berbagai keterbatasan. Namun dalam konteks situasi
saat itu, UUD ‘45 adalah pencapaian puncak para founding fathers.
Tapi karena dalam UUD ’45 asli tidak ada pasal yang membatasi masa
jabatan presiden, nilai-nilai luhur di UUD ’45 itu pun dimanipulasi oleh
penguasa.
Rakyat sempat
mengalami 32 tahun di bawah rezim otoriter-korup Orde Baru, dengan
seorang presiden yang setiap 5 tahun secara aklamasi selalu dipilih oleh
MPR. MPR di sini adalah DPR plus Utusan Daerah, mencakup juga
perwakilan ABRI, yang semuanya bisa dibilang loyalis penguasa atau orang
yang ditunjuk penguasa. Sesudah pengalaman pahit itu lahir gerakan
reformasi 1998, dan muncul kesadaran untuk membatasi masa jabatan
presiden dan pemilihan presiden secara langsung melalui amandemen UUD
‘45.
Saya
bayangkan, pada 2050, teknologi informasi dan komunikasi sudah sebegitu
majunya, sehingga seluruh rakyat Indonesia sampai daerah yang paling
ujung dan terpencil sudah punya sambungan internet. Kendala jarak dan
geografis tidak ada lagi. Tidak ada lagi problem kotak-kotak suara yang
butuh ruang dan berton-ton kertas suara, yang harus dikirimkan
bolak-balik antara daerah dan Jakarta.
Lewat saluran
internet yang jauh lebih canggih dan cepat aksesnya itu, mereka bisa
memilih secara langsung presiden ataupun kepala daerah, dengan biaya
yang sangat murah (semurah anda mengirim e-mail sekarang) dan
tidak bisa dimanipulasi. Hal ini karena data penduduk sudah terpadu
secara nasional. Setiap warga memiliki nomor dan ciri identitas
tersendiri yang tak bisa dipalsukan orang lain.
Selain itu,
untuk musyawarah dan mufakat secara nasional bisa dilakukan lewat media
sosial yang jauh lebih canggih dari Twitter, Facebook, Twoo, LinkedIn,
Instagram, dan lain-lain yang populer sekarang. Sebelum dilakukan voting
untuk isu-isu nasional penting, ada proses diskusi, pematangan, dan
pendalaman masalah, yang bisa diikuti seluruh rakyat lewat media sosial
itu. Bahkan para pakar langsung dilibatkan di sana, termasuk pakar
independen yang tidak terlibat di lembaga pemerintah. Jika tidak
diperoleh mufakat dalam forum besar ini, barulah kemudian dilakukan e-voting lewat internet dengan biaya sangat murah.
Nah, dengan
adanya kemajuan teknologi semacam itu, keberadaan DPR atau DPRD dengan
banyak anggotanya yang korup dan sok mewakili kepentingan rakyat, sudah
tidak diperlukan. Maka, kepada para anggota DPR 2014-2019 yang baru
dilantik sekarang, saya ucapkan selamat bekerja. Semoga anda semua
betul-betul bekerja tulus memperjuangkan kepentingan rakyat. Tetapi jika
anda berkhianat dan durhaka pada rakyat, janganlah sombong karena pada
2050 atau lebih dini, mungkin sudah tidak ada lagi yang namanya DPR dan
anggota DPR!
(Satrio Arismunandar, Doktor Ilmu Pengetahuan Budaya dari Universitas Indonesia)