Logo

Logo
Latest News
Thursday, October 9, 2014

Indonesia 2050: Demokrasi Tanpa DPR



MB.com, OPINI -- Ini adalah kisah tentang masa depan. Sesuatu yang futuristik. Boleh percaya, boleh tidak, tetapi ini bukan sesuatu yang mustahil. Anggaplah, Tuhan berkenan memberi saya umur panjang sehingga masih hidup dan sehat sampai tahun 2050. Alhamdulillah, 36 tahun dari masa sekarang, NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) juga masih eksis, bahkan semakin kuat. Tetapi Indonesia 2050 jauh berbeda dengan Indonesia 2014.

NKRI 2050 masih menganut sistem demokrasi, di mana kedaulatan berada sepenuhnya di tangan rakyat. Artinya, NKRI di masa depan tetap konsisten dengan cita-cita para founding fathers, pendiri republik ini. Tetapi kedaulatan rakyat itu, berkat kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, plus didukung kemampuan ekonomi Indonesia yang maju pesat berkat fokus ke jati diri sebagai kekuatan maritim besar dunia, tidak membutuhkan lembaga yang namanya DPR (Dewan Perwakilan Rakyat).

Mengapa demikian? Hal ini karena lembaga DPR bukanlah tujuan, melainkan hanya sarana, alat, atau wahana untuk mencapai tujuan nasional, serta nilai-nilai luhur yang dikehendaki bangsa. Maka, manakala situasi dan kondisi nasional sudah berubah drastis, di mana pencapaian tujuan itu tidak lagi membutuhkan alat, sarana, atau wahana bersangkutan, atau sudah ditemukan alat, sarana, dan wahana yang lebih baik, maka alat, sarana, dan wahana awal (baca: DPR) itu bisa ditinggalkan.

Coba kita cermati, mengapa dulu dan sekarang, untuk sementara kita masih butuh lembaga DPR. Inti dari demokrasi adalah pencarian keputusan terbaik untuk kepentingan semua orang, dengan melibatkan (sedapat mungkin) partisipasi setiap orang. Jika jumlah orang cuma 10, anda cukup rapat bersama dan berembuk untuk menghasilkan keputusan terbaik.

Namun, karena populasi penduduk Indonesia sudah 250 juta, secara teknis tidak mungkin membuat rapat langsung yang dihadiri 250 juta orang. Karena itulah, kita butuh “perwakilan” orang yang dipilih untuk mewakili banyak orang lain. Karena jumlah wakil ini juga cukup banyak, ratusan atau lebih, yang bekerja menurut sistem tertentu, maka butuh lembaga perwakilan yang kita namai DPR.

Jadi, sistem perwakilan tidaklah bertentangan dengan demokrasi. Sistem perwakilan bukanlah tujuan demokrasi, tetapi menjadi sarana untuk mengefektifkan pelaksanaan prinsip demokrasi. Namun, sehebat-hebatnya sebuah perwakilan, dia tetap tidak menghasilkan derajat keterwakilan yang sama dengan jika seseorang mewakili dirinya sendiri. Perwakilan sedikit-banyak tetaplah bersifat meredusir, karena secara hakiki orang yang paling bisa mewakili diri saya adalah saya sendiri, bukan orang lain siapapun dia.

Contoh sederhana reduksi itu begini. Anda disuruh mewakili 100 buruh di sebuah pabrik, untuk menentukan menu makan siang yang akan disajikan untuk semua mereka. Dari semua masukan, ternyata 70 buruh memilih gado-gado, 10 memilih pecel lele, 10 memilih rendang, dan 10 memilih ayam bakar. Karena merasa mayoritas suka gado-gado, anda pun memilih gado-gado. Meskipun pilihan itu sah dan anda serius ingin betul-betul mewakili semua buruh, sebenarnya ada 30 buruh yang aspirasinya kurang terpenuhi.

Jika anda punya waktu dan ruang cukup untuk berdiskusi dan bermusyawarah dengan semua buruh, mungkin anda akan memilih menu makanan yang lain sama sekali: nasi goreng. Meski awalnya opsi nasi goreng ini tidak muncul, ternyata justru opsi inilah yang disepakati semua buruh.  Tetapi, yang lebih sering terjadi, berbagai keterbatasan teknis dan desakan waktu membuat anda memilih gado-gado, dan dengan demikian terjadilah reduksi. Kita bersyukur, para founding fathers yang menggali dan merumuskan Pancasila tidak pernah menjadikan sistem perwakilan sebagai tujuan. Sistem perwakilan pada dasarnya hanyalah alat, wahana, atau sarana, untuk mengefektifkan implementasi nilai-nilai dan prinsip-prinsip demokrasi.

Oleh karena itu, jika ada yang berpendapat bahwa pemilihan kepala daerah oleh para anggota DPRD itu lebih mencerminkan demokrasi Pancasila dibandingkan dengan pemilihan langsung oleh rakyat, pendapat itu jelas keliru. Pendapat itu berangkat dari kerancuan cara berpikir. Mereka terpaku pada alat, sarana, atau wahana untuk implementasi demokrasi, tapi tidak berangkat dari hakikat atau esensi demokrasi itu sendiri.

Marilah kita cermati sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Sila keempat itu bukanlah dirumuskan secara sembarangan oleh para founding fathers.  Kalimat “dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan” disebut lebih dahulu dari “permusyawaratan/perwakilan.” Ini berarti nilai-nilai luhur, kebijaksanaan, dan kebaikan yang menjadi tujuan berdemokrasi lebih diutamakan dari sekadar alat, sarana, atau wahana yang bisa direkayasa atau dimanipulasi.

Jika para politisi dan anggota DPRD korup “bermusyawarah dan bermufakat” untuk bagi-bagi proyek APBD di antara mereka, atau memilih seorang teman koalisinya sendiri  (yang juga korup) untuk menjadi kepala daerah, maka secara formal sistem perwakilan yang berlaku, mereka seolah-olah sudah bertindak “mewakili rakyat”. Tetapi sebenarnya, permusyawarahan dan permufakatan yang mereka lakukan itu jauh dari “hikmat kebijaksanaan” yang dimaksud dalam sila keempat Pancasila. Jadi, “musyawarah para anggota DPRD korup” untuk membela kepentingan dirinya atau kelompoknya sendiri tidaklah layak diklaim sebagai pencerminan demokrasi Pancasila. Contoh pola pikir rancu lain adalah menyatakan bahwa “Pilkada lewat pemungutan suara rakyat secara langsung “ itu adalah sistem liberal. Jadi cara itu dianggap tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, di mana pemilihan kepala daerah dilakukan oleh anggota DPRD. Pandangan ini jelas rancu. Sekali lagi, di sini alat, wahana, atau sarana dijadikan kriteria untuk menentukan sesuatu yang lebih hakiki atau esensial.

Perbedaan utama liberalisme dan Pancasila sebagai ideologi adalah pada pandangan dunia dan prinsip-prinsip yang melandasinya. Dalam kaitan itu, Pilkada lewat pemungutan suara rakyat secara langsung justru mencerminkan kedaulatan rakyat dalam memilih pemimpinnya. Oleh karena itu, Pilkada lewat pemilihan langsung itu tidak bisa secara simplistis direduksi menjadi “ciri-ciri liberalisme,” untuk dikontraskan dengan pemilihan kepala daerah oleh anggota DPRD yang diklaim mewakili “demokrasi Pancasila.”

Ada lagi pendapat lain, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah secara langsung itu tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, karena tidak pernah dicontohkan oleh para founding fathers, termasuk oleh Bung Karno. Pendapat semacam ini jelas tidak berlandaskan pada pemahaman kondisi obyektif historis. Bahwa dari 17 Agustus 1945 sampai 1999 belum ada kepala daerah dan presiden RI yang dipilih secara langsung, itu bukan karena pemilihan secara langsung tidak sesuai dengan demokrasi Pancasila, tetapi karena kondisi obyektif historis yang memang belum memungkinkan.

Konstitusi kita UUD ’45 sendiri adalah produk sejarah yang disusun dalam situasi bangsa yang dipenuhi berbagai keterbatasan. Namun dalam konteks situasi saat itu, UUD ‘45 adalah pencapaian puncak para founding fathers. Tapi karena dalam UUD ’45 asli tidak ada pasal  yang membatasi masa jabatan presiden, nilai-nilai luhur di UUD ’45 itu pun dimanipulasi oleh penguasa.

Rakyat sempat mengalami 32 tahun di bawah rezim otoriter-korup Orde Baru, dengan seorang presiden yang setiap 5 tahun secara aklamasi selalu dipilih oleh MPR. MPR di sini adalah DPR plus Utusan Daerah, mencakup juga perwakilan ABRI, yang semuanya bisa dibilang loyalis penguasa atau orang yang ditunjuk penguasa. Sesudah pengalaman pahit itu lahir gerakan reformasi 1998, dan muncul kesadaran untuk membatasi masa jabatan presiden dan pemilihan presiden secara langsung melalui amandemen UUD ‘45.

Saya bayangkan, pada 2050, teknologi informasi dan komunikasi sudah sebegitu majunya, sehingga seluruh rakyat Indonesia sampai daerah yang paling ujung dan terpencil sudah punya sambungan internet. Kendala jarak dan geografis tidak ada lagi. Tidak ada lagi problem kotak-kotak suara yang butuh ruang dan berton-ton kertas suara, yang harus dikirimkan bolak-balik antara daerah dan Jakarta.

Lewat saluran internet yang jauh lebih canggih dan cepat aksesnya itu, mereka bisa memilih secara langsung presiden ataupun kepala daerah, dengan biaya yang sangat murah (semurah anda mengirim e-mail sekarang) dan tidak bisa dimanipulasi. Hal ini karena data penduduk sudah terpadu secara nasional. Setiap warga memiliki nomor dan ciri identitas tersendiri yang tak bisa dipalsukan orang lain.

Selain itu, untuk musyawarah dan mufakat secara nasional bisa dilakukan lewat media sosial yang jauh lebih canggih dari Twitter, Facebook, Twoo, LinkedIn, Instagram, dan lain-lain yang populer sekarang. Sebelum dilakukan voting untuk isu-isu nasional penting, ada proses diskusi, pematangan, dan pendalaman masalah, yang bisa diikuti seluruh rakyat lewat media sosial itu. Bahkan para pakar langsung dilibatkan di sana, termasuk pakar independen yang tidak terlibat di lembaga pemerintah. Jika tidak diperoleh mufakat dalam forum besar ini, barulah kemudian dilakukan e-voting lewat internet dengan biaya sangat murah.

Nah, dengan adanya kemajuan teknologi semacam itu, keberadaan DPR atau DPRD dengan banyak anggotanya yang korup dan sok mewakili kepentingan rakyat, sudah tidak diperlukan. Maka, kepada para anggota DPR 2014-2019 yang baru dilantik sekarang, saya ucapkan selamat bekerja. Semoga anda semua betul-betul bekerja tulus memperjuangkan kepentingan rakyat. Tetapi jika anda berkhianat dan durhaka pada rakyat, janganlah sombong karena pada 2050 atau lebih dini, mungkin sudah tidak ada lagi yang namanya DPR dan anggota DPR!

(Satrio Arismunandar, Doktor Ilmu Pengetahuan Budaya dari Universitas Indonesia)
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Indonesia 2050: Demokrasi Tanpa DPR Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi