MB.com, RESENSI Film - Para pembantai mengklaim, masyarakat selama ini keliru mengasumsikan komunis itu kejam atau brutal. "PKI nggak lebih kejam daripada kita. Kita lebih kejam daripada mereka."
Kajian mengenai
pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik
negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film
dokumenter The Act of Killing yang disutradarai Joshua Oppenheimer dan baru-baru ini diluncurkan di Toronto International Film Festival.
The Act of Killing
berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama
ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal
1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau
simpatisan, sebagai tokoh utama. Dalam film ini, mereka mantan tokoh
organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan
orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian
dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir
satu juta jiwa.
Selama ini berbagai
film pasca-1998 mengenai pembunuhan massal 1965 atau dampak susulannya
dibikin khusus untuk memberi suara bagi para penyintas (survivor)
dan anggota keluarga mereka, terkadang disertai komentar simpatik dari
narasumber ahli. Setahu saya paling sedikit sudah ada 16 judul film
semacam itu, produksi anak bangsa, selain film asing dengan topik yang
sama.
Berbagai film itu
mengakhiri kebisuan di layar lebar di negara ini hampir seperempat abad.
Beberapa perempuan lanjut usia dan ringkih muncul di sebagian besar
film tersebut, berbicara dengan bersemangat tentang penderitaan tiada
akhir yang mereka alami, serta mengutuk ketidakadilan dan kegagalan
pemerintah untuk mengakui kebiadaban yang telah terjadi.
Berbagai film bertema
1965 selama ini disusun dengan pemilahan tegas antara pahlawan yang baik
ibarat malaikat dan tokoh penjahat seperti setan. Mirip dengan
film-film propaganda Orde Baru tentang kejahatan PKI. Dalam hal ini, The Act of Killing luar biasa dan sekaligus merisaukan, karena secara radikal menggugat paradigma hitam-lawan-putih yang selama ini berkuasa.
Film ini menampilkan
pengakuan para pelaku pembunuhan massal dalam sebuah kerangka cerita
yang kompleks, dengan sub-narasi berlapis, padat dengan ironi dan
kontradiksi. Ketimbang menyodorkan “fakta” baru atau “bukti-bukti”
serius tentang kejahatan kemanusiaan pada 1965-1966, film ini
menampilkan gaya ugal-ugalan para pelaku pembantaian ketika bersaksi
tentang kekejaman yang mereka kejar hingga ke titik terjauh. Di depan
kamera, mereka memperagakan tahap demi tahap cara membantai korban, juga
kunjungan di lokasi-lokasi tempat kejadian pada 1965 melalui
reka-tindakan, dan dengan bergantian memerankan tokoh pembantai dan
korban.
Dalam The Act of Killing,
para pembunuh itu menyatakan keyakinan bahwa masyarakat selama ini
keliru menganggap bahwa komunis itu kejam atau brutal. “Kita lebih kejam
daripada mereka”. The Act of Killing menggambarkan secara
blak-blakan apa yang selama ini justru dikubur hidup-hidup dalam sejarah
resmi dan pernyataan-pernyataan pemerintah sejak 1966. Adegan
mengerikan yang pernah direkam berbagai film dokumenter, termasuk Pengkhianatan G30S PKI, tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan yang tampilkan di The Act of Killing.
Mengapa para pelaku
kekerasan itu mau, bahkan tampak sangat bersemangat menceritakan
tindakan yang mereka akui sendiri sebagai kejahatan? Tidakkah mereka
kuatir akan menanggung akibatnya?
Jawaban singkat, meski
belum lengkap, atas pertanyaan itu tersedia jelas di sepanjang film:
para pembantai ini sangat bangga mengumbar kisah kekejaman mereka. Para
pelaku ini menyadari risiko yang mungkin bisa timbul akibat kesaksian
mereka yang direkam film ini untuk dipertunjukkan ke muka umum. Risiko
itu mereka bahas, dan pembahasan mereka direkam The Act of Killing dan menjadi bagian yang penting dari film itu.
Kondisi semacam apa
–nyata atau dalam angan-angan– yang memungkinkan para pembunuh ini
sedemikian nyaman dan bebas mengobral pengakuan tentang tindak kejahatan
mereka? Situasi seperti apa yang memberi mereka kekebalan hukum dalam
masa beberapa puluh tahun? Beberapa adegan The Act of Killing
memberikan sebagian jawabnya. Para tokoh utama film ini menikmati
perlindungan dari sesama pembantai dan politisi antikomunis yang
berhasil mendaki karier politik dan memangku jabatan negara di tingkat
pusat atau provinsi selama beberapa dekade belakangan.
Peneliti Loren Ryter
pernah menerbitkan kajian akademik tentang peran politik kelompok milisi
dan preman pada periode Orde Baru dan hubungan mereka dengan aparat
negara yang saling menguntungkan. Dengan fokus kajian pada organisasi
Pemuda Pancasila, Ryter menekankan pentingnya peran organisasi Pemuda
Pancasila cabang Medan dalam pembunuhan massal 1965-1966. Kota Medan
merupakan tempat lahir dan basis terkuat organisasi ini. Namun,
sebagaimana disinggung Ryter, sejak berubahnya politik setelah 1998,
kini tak jelas lagi sejauh mana dan seberapa lama para politisi itu mau
dan mampu melindungi para preman sebagai mitra politik dan dagang di
berbagai provinsi.
Untuk menghormati etika
yang mendasari pembuatan film dokumenter, para pembuat film tak hanya
menunjukkan rekaman kasar adegan-adegan film kepada para aktor yang juga
mantan pembantai. Melangkah lebih jauh, sutradara Oppenheimer
mengundang mereka ambil bagian dalam proses pembuatan film. Para mantan
preman itu diberi kebebasan menciptakan cerita fiksi dalam proyek
kolaborasi ini, berdasarkan ingatan dan pengalaman-langsung mereka
selama pembunuhan massal 1965-1966 serta tanggapan mereka atas peristiwa
di masa lalu itu. Ketika Oppenheimer mempertanyakan apakah mereka tidak
kuatir menghadapi kemungkinan tuduhan kejahatan perang, salah seorang
menjawabnya dengan nada mengejek dan penuh rasa percaya diri: “Wah saya
siap... Tolong sampaikan supaya saya dipanggil.”
The Act of Killing
bukan sebuah film dokumenter dengan alur cerita yang lurus. Ini sebuah
film dokumenter mengenai pelaku sejarah, dan bagaimana para pelaku ini
membuat film tentang diri mereka berdasarkan ingatan akan tindakan
mereka pada 1965-1966. Sambil menampilkan sejarah lisan, film ini
sekaligus berkisah tentang cerita khalayan yang dibuat secara sadar agak
berlebihan oleh para pelaku pembantaian, serta tanggapan mereka
terhadap semua itu. Dengan demikian, para pelaku bukan sekadar objek di
depan kamera, namun juga pihak yang berperan aktif sebagai penulis kisah
tentang tindakan kejam mereka sendiri yang dituturkan dalam penuh
semangat, tawa-ria, dan kegembiraan.
Dengan demikian
sebagian fakta teranyam dengan fiksi yang secara sadar disusun sebagai
khayalan, dicampur ingatan masa lampau, dan pengalaman bersaksi masa
kini di depan kamera. Hasilnya? Sebuah kolase memukau dan kaya makna,
dengan diselingi horor, canda tawa, nyanyian, dan dansa, tetapi juga
ironi dan kejutan.
Film ini memperkaya
pengetahuan dan kesadaran kita tidak lebih dan tidak kurang dibanding
film-film serupa yang dibuat sebelumnya, baik yang dibuat dengan tujuan
utama memberikan kebenaran faktual (seperti kesaksian para korban dalam
film dokumenter pasca-1998) maupun yang disusun dengan sengaja
menebarkan kebohongan (seperti propaganda antikomunis buatan pemerintah
Orde Baru). Dengan caranya sendiri-sendiri, berbagai jenis film itu
berkisah tentang apa artinya mengungkapkan sebuah pesan di tengah kancah
politik di zamannya, dan kondisi apa yang memungkinkan dituturkannya
pesan itu dengan makna tertentu.
Entah apa persisnya
yang ingin dicapai para protagonis film ini. Di layar, mereka mengaku
hanya ingin menyampaikan kebenaran sejarah apa adanya kepada seluruh
dunia, tidak hanya Indonesia. Pengakuan semacam ini mudah
menjadikan mantan para pembunuh ini sebagai pahlawan, seperti
diltampilkan dalam sebuah acara talk-show di TVRI lokal (dan tampil dalam The Act of Killing).
Oppenheimer tidak
memberikan kesempatan kepada para pembunuh itu untuk menobatkan-diri
sebagai pahlawan. Namun, dia juga tidak menampilkan mereka sebagai
orang-orang yang bodoh atau momok. Dalam salah satu adegan yang
tampaknya keluar dari naskah, salah seorang preman senior yang terkenal
kejam dan senang membanggakan diri, mendadak ambruk karena tak mampu
menahan emosi atau rasa bersalah, di saat dilakukan pengambilan gambar
dan dia berperan sebagai seorang tahanan komunis yang dulu pernah
disiksanya sebelum dibunuh.
Propaganda resmi tentang “G30S/PKI” berusia lebih panjang ketimbang rezim Orde Baru yang menciptakannya. The Act of Killing
membuka peluang memudar propaganda yang selama ini dikeramatkan negara.
Ini bisa terjadi, jika salinan film dokumenter ini tersedia dan
dijangkau jutaan penonton Indonesia melalui youtube yang bisa diakses di warnet atau ponsel pintar di tanah air, salah satu pengguna Facebook terbesar di dunia dan pasar terbesar DVD bajakan.
Jika ini terjadi, kita
akan menyaksikan ironi terbesar yang harus ditelan oleh berbagai pihak
yang saling berlawanan secara politis. Kebohongan terbesar dan terkeji
sebuah bangsa bisa terkoyak, bukan berkat kegigihan para penyintas
menggugat keadilan, atau jasa beberapa tokoh yang memperjuangkan mereka,
namun lewat kesaksian sekelompok pembantai bermulut besar.