MB.com, RESENSI - Orang Papua dipaksa menerima nasionalisme Indonesia, yang usianya lebih muda. Papua adalah “batu sandungan”.
Komplektisitas relasi Jakarta-Papua membuat penanganan pulau di ujung
timur Indonesia itu tak berujung selesai. Pola penanganan pemerintah
pusat, dengan pendekatan keamanan, turut memperkeruh suasana.
Pada dasarnya, akar masalahnya adalah
konflik persepsi. Nasionalisme dalam pandangan pemerintah pusat dan
nasionalisme orang Papua (pendukung kemerdekaan) sangat berbeda.
Nyatanya, Indonesia memaksakan nasionalismenya. Menurut Bernarda Meteray, penulis buku ini, pemaksaan nasionalisme Indonesia, tidak dapat dipertahankan.
“Sangat berbahaya apabila kita melihat
kesadaran nasional sebagai proses yang sama di setiap wilayah Indonesia.
Sejarah di Papua menunjukkan proses penyemaian nasionalisme Indonesia
yang berbeda dengan di daerah-daerah lain,” tulis Bernarda.
Nasionalisme orang Papua muncul dan
berkembang seiring perjalanan sejarah, budaya, dan relasi masyarakatnya
dengan dunia luar. Penyemaiannya dirintis pada 1920-an oleh IS Kijne,
guru yang didatangkan zending dari Belanda. Dia menumbuhkan kesadaran
etnis rakyat Papua melalui agama, pendidikan, dan kesenian. “Dia ingin
orang Papua kelak bertanggung jawab atas diri mereka sendiri,” tulis
Bernarda.
Namun, kesadaran etnis Papua belum
bersifat politis. Belum ada konstruksi masa depan sebagai negara-bangsa.
Kekejaman Jepang, yang memarjinalisasi dan menyengsarakan penduduk asli
Papua, mengubahnya jadi politis. Muncullah perlawanan. Kedatangan
Sekutu, di mana banyak tentara Amerika Serikat berkulit hitam, juga
memotivasi mereka untuk memikirkan kembali identitas mereka.
Hingga saat itu belum ada kesadaraan
keindonesiaan. Hanya sedikit orang Papua tahu soal Indonesia, dan
umumnya dengan pandangan negatif. Pengalaman pahit masa lalu masih
membekas. Banyak guru dari Pulau Kei, Ambon, dan Maluku serta daerah
lain kerap meremehkan murid Papua. Orang Papua lebih suka orang Belanda
ketimbang orang-orang dari daerah-daerah yang jadi bagian Indonesia.
Kesadaran keindonesiaan bersemi ketika
JPK Van Eechoud merekrut banyak orang Indonesia untuk jadi guru dan
pegawai pemerintah pada akhir 1945. Salah satunya Soegoro Atmoprasodjo,
eks tawanan Digoel yang kemudian memperkenalkan sejarah dan budaya
Indonesia. Dalam berbagai diskusi, dia meyakinkan bahwa orang Papua
adalah bagian dari Indonesia. Analoginya, Indonesia laiknya Papua yang
beragam. Soegoro juga mengkoordinasi perlawanan terhadap Belanda.
Tokoh lain yang ikut menyemai
keindonesiaan adalah J Gerungan, dokter perempuan di RS Nica (Sentani)
dan Merauke. Dia memprakarsai pendirian Komite Indonesia Merdeka (KIM),
organisasi politik pertama di Papua. Sementara Sam Ratulangi, yang
sempat diasingkan ke Serui, meyakinkan banyak elite Papua –termasuk
Silas Papare, yang sebelumnya anti-Indonesia– bahwa mereka merupakan
bagian dari Indonesia.
Namun Belanda berusaha mempertahankan
Papua. Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949 Belanda
mengulur-ulur waktu soal penyerahan Papua ke Indonesia. Belanda
menjanjikan hak orang Papua untuk menjalankan pemerintahan sendiri.
Belanda juga menumbuhkan dan melembagakan nasionalisme Papua, antara
lain melalui pembentukan Dewan Nieuw Guinea dan kebebasan mendirikan
partai politik.
Karena diplomasi menemui jalan buntu,
Sukarno mengambil langkah strategis dengan membatalkan hasil KMB.
Tarik-menarik kepentingan Belanda dan Indonesia membingungkan orang
Papua. Muncul tiga pandangan; bergabung dengan Indonesia atau Belanda,
atau menentukan nasib sendiri sebagai negara Papua.
[Historia]