Serdadu Afrika diandalkan dalam Perang Padri hingga Perang Aceh
MB.com, SEKIRA tahun 1910, Oerip Soemohardjo,
kelak menjadi kepala staf pertama Tentara Keamanan Rakyat pada 1945
–menjadi Tentara Nasional Indonesia pada 1947 – mendapat cemoohan dari
para pemuda Afrika yang tinggal di Purworejo, kalau bahasa Belanda Oerip
jelek. Sementara para pemuda Afrika hampir semuanya bicara bahasa
Belanda dengan benar dan tanpa aksen.
Tak terima, Oerip yang berusia 17 tahun
memanggil pasukan ciliknya dari Sindurejan (permukiman pribumi di
Purworejo) untuk menyerang para pemuda Afrika saat senja sembari
berteriak: “Londo ireng toenteng, iroenge mentol, soearane bindeng!” (Belanda
hitam keling, hidungnya besar, suaranya bindeng). Beberapa kali ayah
Oerip dipanggil kepala desa. Dia berjanji akan memarahi anaknya dengan
syarat para pemuda Afrika tak lagi mengejek cara bicara anaknya.
Para veteran Afrika yang selesai
bertugas, awalnya tinggal di sejumlah kampung bersama orang-orang Jawa.
Ketika jumlahnya bertambah, residen daerah memutuskan membentuk kawasan
tersendiri bagi mereka, demi menghindari “perselisihan dengan penduduk
pribumi”. Selain itu, Belanda akan mudah mengawasi dan memanggil mereka
ketika keadaan tidak tenang. Untuk membangun kampung Afrika, sesuai
Keputusan Gubernemen tanggal 30 Agustus 1859 No. 25, Gubernemen Belanda
membeli sebidang tanah di Desa Pangenjurutengah. Setiap penghuni
memperoleh sebidang tanah sekitar 1.150 m2 untuk rumah atau lahan
garapan.
Pada 20 Juni 1939, Letnan Doris Land,
seorang pensiunan Afrika, menorehkan tandatangannya di bawah baris
terakhir naskah berjudul Het ontstaan van de Afrikaansch kampong te Poerworedjo (Munculnya
Kampung Afrika di Purworejo). Kelak, dia mencoret beberapa huruf di
akhir kata “kampung” sehingga membentuk kata “kamp”, karena “kampung” mungkin dianggapnya “kampungan”.
Dokumen empat halaman itu merupakan
satu-satunya peninggalan seorang Indo-Afrika. Isinya memuat sejarah
serdadu Afrika dan keturunannya. Menariknya, semasa hidupnya Doris tak
membagikan sejarah dengan siapa pun, termasuk kepada tujuh anaknya. Baru
setelah dia meninggal dunia pada 1986, dokumen itu ditemukan dalam
koper tua yang hampir dibuang ke tempat sampah. Terkuaklah petualangan
serdadu Afrika di Hindia Belanda.
Selain dokumen tersebut, sejarawan,
wartawan, dan peneliti senior di Africa Studies Centre Leiden Belanda,
Ineke van Kessel, mendapat limpahan setumpuk berkas penelitian tentang
serdadu Afrika di Jawa dari sejarawan Universitas Amsterdam Dr Silvia de
Groot. Van Kessel juga melakukan wawancara dengan keturunan-keturunan
serdadu Afrika di Jawa yang biasa reunian setiap dua tahun sekali di
Belanda. Pada 2005, van Kessel menerbitkan bukunya: Zwarte Hollanders: Afrikaanse Soldaten in Nederlands-Indië (Belanda Hitam: Serdadu Afrika di Hindia Belanda).
Penggunaan serdadu Afrika sudah
dilakukan dalam rentang waktu lama, dan bukan hanya di Hindia Belanda.
Seperti disebutkan Van Kessel, di Kerajaan Romawi terdapat seorang
serdadu yang dijuluki St. Mauricius, pemimpin legiun Theban. Sejak abad
ke-9, dinasti-dinasti Islam di Afrika Utara dan Spanyol menggunakan
serdadu Afrika, seperti Dinasti Alawi di Maroko –bahkan Sultan Alawai
kedua Mulay Ismail adalah putra dari seorang gundik berkulit hitam.
Portugis menempatkan serdadu Afrika dari
Mozambik dan Ethiopia di Timor Timur dan Sri Lanka. Pada 1640, sekitar
seratus pemanah berkulit hitam bertempur bersama Portugis melawan
Belanda. Pada tahun yang sama Gubernur Belanda di Sri Lanka Rijkloff van
Goens membutuhkan 4.000 orang kulit hitam untuk bekerja kepada VOC,
bahkan VOC mendatangkan para budak hitam baru dari Madagaskar dan bagian
selatan Afrika.
Pada 1875, Prancis membentuk Serdadu
Senegal Bersenjata (De Tiraileurs Sénégalais), dan Inggris membetuk Gold
Coast Corps pada 1851 dan West India Regiments, yang ditempatkan di
Hindia Barat dan Afrika Barat. Pada dua Perang Dunia, ratusan ribu
serdadu Afrika bertempur dengan tentara Prancis dan Inggris. Prancis
juga mengerahkan pasukan Afrika di Indocina dan dalam perang kemerdekaan
Aljazair.
“Perang Jawa menuntut dilakukannya perekrutan intensif,” tulis Van Kessel.
Semula, konsul-konsul Belanda di
Hamburg, Bremen, dan Frankfurt mengumpulkan ribuan relawan Jerman. Pada
1827, korps elite berkekuatan 3.000 orang berangkat dari Belanda ke
Jawa. Mereka harus menyelesaikan perang yang berlarut-larut. Setelah dua
tahun berperang, yang tersisa kurang dari 1.000 orang. Tak mengherankan
jika saran menggunakan orang Afrika mendapat tanggapan simpatik di Den
Haag. Serdadu Afrika dianggap tahan banting dan tahan penyakit di iklim
tropis, juga cenderung lambat berbaur dengan penduduk sehingga
menjadikan kesatuan tentara sebagai pengganti keluarga.
Usulan datang dari kalangan swasta:
seorang mayor Inggris, seorang bangsawan Jerman, dan ketua Nederlansche
Handelmaatschappij. Usul tersebut diterima Kementerian Urusan Perang dan
Kementerian Daerah Jajahan. Pada 1831-1872, Belanda merekrut sekitar
3.085 laki-laki di Afrika Barat, sebagian besar berasal dari Elmina
(sekarang Ghana) dan Burkina Faso.
Tapi para serdadu Afrika tak ikut dalam
Perang Jawa. Mereka tiba di Jawa sekitar tahun 1831, setelah Perang Jawa
usai. Pengalaman perang pertama diperoleh 44 serdadu Afrika untuk
memadamkan pemberontakan di Distrik Lampung yang dipimpin oleh Raja
Gepe. Di Padang, serdadu Afrika yang membentuk kompi ke-6 Batalyon
Infanteri 1 menduduki Bonjol setelah perang selama lima tahun. Serdadu
Afrika juga ikut dalam ekspedisi di Bali untuk menundukkan raja-raja
Bali, berjaga di garis belakang dan dari serangan dengan senjata bayonet
di Timor, serta ekspedisi ke Banjarmasin, sebelah tenggara Borneo
(Kalimantan).
Pada 1859, kompi Afrika Batalyon
Infanteri 2 ikut dalam ekspedisi ke Bone, Celebes (Sulawesi),
menggantikan serdadu-serdadu Eropa yang dievakuasi karena kerap jatuh
sakit. Hingga Juni 1859, meski diserang penyakit disentri, kolera,
tifus, dan malaria, kompi Afrika hanya kehilangan empat orang. Di Aceh
sebaliknya. Dua kompi serdadu Afrika yang dilibatkan dalam ekspedisi
besar-besaran kedua ikut berkontribusi atas keberhasilan menundukkan
Sultan Aceh tanpa perlawanan. Bahkan tak seorang pun serdadu Afrika mati
di medan perang –hanya satu yang mati karena terluka saat diungsikan.
Tapi, 78 serdadu atau sepertiga dari seluruh serdadu Afrika tewas karena
kolera.
Pemilihan Purworejo (disebut Kedong
Kebo) sebagai tempat menampung para veteran Afrika bukanlah kebetulan.
Bagelan pernah menjadi pusat perlawanan Perang Jawa. Mendirikan sebuah
koloni para veteran Afrika merupakan strategi Belanda untuk menjinakkan
pemberontakan yang dikhawatirkan terjadi lagi.
Usai Perang Jawa pada 1830 pemerintah
Hindia Belanda membangun sebuah tangsi besar di Purworejo. Di sana
ditempatkan tiga kompi pasukan Afrika, yang ironisnya pada 1840 membuat
panik pemerintah lantaran melakukan pemberontakan bersenjata. Beberapa
kali serdadu Afrika melakukan pemberontakan karena masalah adaptasi,
kesetaraan dengan serdadu Eropa, dan komunikasi di kalangan prajurit
Afrika sendiri, yang terdiri dari berbagai suku dengan bahasa berbeda.
Selain itu, para serdadu Afrika suka bersikap negatif: jorok, lamban
dalam mempelajari senjata, malas, brutal, cepat naik darah, sulit
diperintah, cenderung memberontak, padahal mereka prajurit yang tak
kenal lelah dan berani.
Banyak keturunan para serdadu Afrika
mengikuti jejak ayahnya. Generasi kedua dan ketiga Indo-Afrika terlibat
dalam perang melawan Jepang. Mereka merasakan nasib buruk di dalam kamp
tawanan dan proyek-proyek Jepang. Setelah Indonesia merdeka, beberapa
serdadu Afrika menetap di Indonesia.
Tak mudah bagi mereka menjalin hubungan
dengan penduduk pribumi. Mereka kerap merasa lebih tinggi statusnya
ketimbang warga pribumi. Pintu gerbang kamp Afrika di Purworejo ditutup
pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore. Orang Afrika hidup terasing dan
hanya berkomunikasi dengan orang Indonesia saat merasa butuh.
Keturunan-keturunan Afrika di Belanda membantah bahwa tak ada pagar dan
gapura dalam kamp Afrika. Cerita mengenai pagar barangkali menjadi
ungkapan simbolis jarak sosial dengan orang Indonesia saat berkomunikasi
dengan orang Afrika.
Orang Indonesia memiliki rasa segan terhadap “Belanda Hitam”. Di sisi lain, mereka juga merendahkan. Rambut orang Afrika yang kriwil diejek “rambut setan”. Karena penghuninya berkulit hitam, kamp Afrika kerap disebut “gudang arang.”
[Historia]