Ole : Sumarlin Bato
Pengantar
Pertanyaan utama yang menggelitik rasa ingin tahu saya ketika membahas topik ini adalah, untuk apa mempelajari budaya dan menggali ‘rasa religiositas’ sebuah kelompok etnis? Apa sesungguhnya relevansi dan urgensinya? Jawaban atas pertanyaan ini yang akan diberikan di bagian pengantar, ini penting sebagai dasar bagi pembahasan selanjutnya. Beberapa ahli filsafat kebudayaan, seperti Zoetmulder, Driyarkara, Mangunwijaya, Dick Hartoko (dalam Taum, 1997a: 3) mengungkapkan bahwa awal mula segala ilmu pengetahuan dan kebudayaan adalah rasa religiositas. Dengan kata lain, keinginan untuk memuja Sang Pencipta mendorong terbentuknya kebudayaan setiap etnis. Jika kita mempelajari teori PLATO dan KANT, yang dibesarkan dalam pemikiran Yunani, Romawi oleh alam pemikiran Ras Semit orang Yahudi yang memperoleh dasar perbaikan pemikiran yang sangat diperluhkan untuk membuat rasa religiositas kita lebih sempurna, lebih universal bahkan lebih menyerupai kehidupan yang sungguh-sungguh manusiawi, bukan hanya hidup untuk sekarang ini tetapi juga untuk hidup abadi. Ini artinya kita dapat menemukan kebenaran kehidupan rohaniyangsempurna melalui rasa religiositas. Oleh karena itu menurut saya, memahami rasa ‘religiositas’ dari sebuah kelompok etnis merupakan kunci memahami kebudayaan etnis tersebut, karena kebudayaan pada awalnya diabdikan untuk mengungkapkan rasa religiositas tersebut. Selanjutnya saya akan merefleksikan peranan lembaga pendidikan Kristiani bagi pengembangan budaya di Flores. Saya sangat berterima kasih kepada lembaga-lembaga pendidikan ( Katholik-Protestan ) yang telah membentuk masyarakat Flores. Sejak abad 17, gereja melalui lembaga-lembaga pendidikan telah mengambil tempat yang secara merata diseluruh Flores sebagai pusat-pusat pengembangan kebudayaan. Peranan tersebut masih terasa sangat kuat hingga kini. Oleh karena itu lewat makalah ini saya akan membahas beberapa aspek tentang rasa religiositas serta sejarah masuknya gereja kristen dan peranan lembaga pendidikan swasta kristen terhadap pengembangan ‘kebudayaan’ orang Flores.
Pertama, Sejarah masuknya gereja kristen di Indonesia. Sebagai awal pembahasan dari topik diatas tentunya kita harus mengetahui apa dan bagaimana gereja masuk di Indonesia sehingga dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat pada beberapah abad yang lalu.
Kedua, Religiositas orang Flores. Untuk mengetahui lebih jauh tentang rasa religiositas orang Flores tentunya kita harus memahami sekilas masyarakat Flores, lingkungan masyarakat Flores, agama-agama asli orang Flores, keutamaan-keutamaan orang Flores dan inkulturisasi musik Flores.
Ketiga, Peranan lembaga-lembaga pendidikan kristen terhadap budaya orang Flores. Tentunya hal ini sangat berkaitan erat dengan dasar keterlibatan gereja dan arah pelayanan pendidikan kristen, peranan lembaga pendidikan kristen dalam sejarah, kebudayaan sebagai sesuatu yang dinamis dan tentunya akan saya akhiri dengan beberapa tanggapan dan harapan sebagai penutup dari pembahasan dalam makalah ini.
Daftar Isi;
1. Sejarah Masuknya Gereja Di-Indonesia
2. Rasa Religiositas Etnis Flores;
* Sekilas dan Kilas Balik Masyarakat Flores Dijaman dulu
* Sejarah Flores
* Lingkungan dan Masyarakat Flores
* Agama-agama Asli di Flores Dan penghayatan yang tinggi terhadap Tuhan
* Beberapa Keutamaan Orang Flores: Kasus Lamaholot
- Percaya kepada Tuhan yang Kuasa
- Kejujuran dan Keadilan
- Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
- Rasa Kesatuan Orang Flores
* Catatan tentang Rasa Musikal Orang Flores
* Soal Inkulturisasi
3. Peranan Lembaga Pendidikan Kristen Terhadap Budaya Etnis Flores
* Dasar Keterlibatan Gereja dan Arah pelayanan Pendidikan Kristen
* Peranan Lembaga pendidikan Kristiani Dalam Sejarah
* Kebudayaan sebagai sesuatu yang dinamis
* Beberapa Tanggapan Dan Harapan
1. SEJARAH MASUKNYA GEREJA DI-INDONESIA
Kristen Katolik dibawa masuk ke Indonesia oleh bangsa Portugis, khususnya di pulau Flores dan Timor. Kristen Protestan pertama kali diperkenalkan oleh bangsa Belanda pada abad ke-16 M dengan pengaruh ajaran Calvinis dan Lutheran. Wilayah penganut animisme di wilayah Indonesia bagian Timur, dan bagian lain, merupakan tujuan utama orang-orang Belanda, termasuk Maluku, Nusa Tenggara, Papua dan Kalimantan. Kemudian, Kristen menyebar melalui pelabuhan pantai Borneo, kaum misionarispun tiba di Toraja, Sulawesi. Wilayah Sumatera juga menjadi target para misionaris ketika itu, khususnya adalah orang-orang Batak, dimana banyak saat ini yang menjadi pemeluk Protestan. Umat Katolik Perintis di Indonesia: 645 - 1500
Agama Katolik untuk pertama kalinya masuk ke Indonesia pada bagian pertama abad ketujuh di Sumatera Barat. Fakta ini ditegaskan kembali oleh (Alm) Prof. Dr. Sucipto Wirjosuprapto. Untuk mengerti fakta ini perlulah penelitian dan rentetan berita dan kesaksian yang tersebar dalam jangka waktu dan tempat yang lebih luas. Berita tersebut dapat dibaca dalam sejarah kuno karangan seorang ahli sejarah Shaykh Abu Salih al-Armini yang menulis buku "Daftar berita-berita tentang Gereja-gereja dan pertapaan dari provinsi Mesir dan tanah-tanah di luarnya". yang memuat berita tentang 707 gereja dan 181 pertapaan Serani yang tersebar di Mesir, Nubia, Abbessinia, Afrika Barat, Spanyol, Arabia, India dan Indonesia. Dengan terus dilakukan penyelidikan berita dari Abu Salih al-Armini kita dapat mengambil kesimpulan kota Barus yang dahulu disebut Pancur dan saat ini terletak di dalam Keuskupan Sibolga di Sumatera Barat adalah tempat kediaman umat Katolik tertua di Indonesia. Di Barus juga telah berdiri sebuah Gereja dengan nama Gereja Bunda Perawan Murni Maria (Gereja Katolik Indonesia seri 1, diterbitkan oleh KWI) Awal Mula: abad ke-14 sampai abad ke-18. Dan selanjutnya abad ke-14 dan ke-15 entah sebagai kelanjutan umat di Barus atau bukan ternyata ada kesaksian bahwa abad ke-14 dan ke-15 telah ada umat Katolik di Sumatera Selatan. Kristen Katolik tiba di Indonesia saat kedatangan bangsa Portugis yang berdagang rempah-rempah. Banyak orang Portugis yang memiliki tujuan untuk menyebarkan agama Katolik Roma di Indonesia, dimulai dari kepulauan Maluku pada tahun 1534. Antara tahun 1546 dan 1547, pelopor misionaris Kristen, Fransiskus Xaverius, mengunjungi pulau itu dan membaptiskan beberapa ribu penduduk setempat.
Selama masa VOC, banyak praktisi paham Katolik Roma yang jatuh, dalam hal kaitan kebijakan VOC yang mengutuk agama itu. Yang paling tampak adalah di Flores dan Timor Timur, dimana VOC berpusat. Lebih dari itu, para imam Katolik Roma telah dikirim ke penjara atau dihukum dan digantikan oleh para imam Protestan dari Belanda.Seorang imam Katolik Roma telah dieksekusi karena merayakan misa kudus di suatu penjara semasa Jan Pieterszoon Coen menjabat sebagai gubernur Hindia Belanda.
Pada tahun 2006, 3% dari penduduk Indonesia adalah Katolik, lebih kecil dibandingkan para penganut Protestan. Mereka kebanyakan tinggal di Papua dan Flores.
Kristen Protestan berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda (VOC), pada sekitar abad ke-16. Kebijakan VOC yang mengutuk paham Katolik dengan sukses berhasil meningkatkan jumlah penganut paham Protestan di Indonesia. Agama ini berkembang dengan sangat pesat di abad ke-20, yang ditandai oleh kedatangan para misionaris dari Eopa ke beberapa wilayah di Indonesia, seperti di wilayah barat Papua dan lebih sedikit di kepulauan Sunda. Pada 1965, ketika terjadi perebutan kekuasaan, orang-orang tidak beragama dianggap sebagai orang-orang yang tidak ber-Tuhan, dan karenanya tidak mendapatkan hak-haknya yang penuh sebagai warganegara. Sebagai hasilnya, gereja Protestan mengalami suatu pertumbuhan anggota, sebagian besar dari mereka merasa gelisah atas cita-cita politik partai Islam.
Protestan membentuk suatu perkumpulan minoritas penting di beberapa wilayah. Sebagai contoh, di pulau Sulawesi, 17% penduduknya adalah Protestan, terutama di Tana Toraja dan Sulawesi Tengah. Sekitar 65% penduduk di Tana Toraja adalah Protestan. dibeberapa wilayah, keseluruhan desa atau kampung memiliki sebutan berbeda terhadap aliran Protestan ini, seperti Adventist atau Bala Keselamatan, tergantung pada keberhasilan aktivitas para misionaris.
Di Indonesia, terdapat dua provinsi yang mayoritas penduduknya adalah Protestan, yaitu Papua dan Sulawesi Utara, dengan 60% dan 64% dari jumlah penduduk.Di Papua, ajaran Protestan telah dipraktikkan secara baik oleh penduduk asli. Di Sulawesi Utara, kaum Minahasa yang berpusat di sekeliling Manado, berpindah agama ke Protestan pada sekitar abad ke-19. Saat ini, kebanyakan dari penduduk asli Sulawesi Utara menjalankan beberapa aliran Protestan. Selain itu, para transmigran dari pulau Jawa dan Madura yang beragama Islam juga mulai berdatangan. Pada tahun 2006, lima persen dari jumlah penduduk Indonesia adalah penganut Kristen Protestan.
2. RASA RELIGIOSITAS ETNIS FLORES
1. Sekilas dan Kilas Balik Masyarakat Flores Dijaman dulu
Pengantar ke dalam masyarakat Flores ini dimaksudkan untuk menjelaskan secara singkat bagaimana konteks nyata masyarakat Flores. Penjelasan ini akan mencakup dua hal yakni sejarah, lingkungan dan masyarakat Flores. Menyandarkan asumsi pada penemuan lewat penelitian-penelitian terdahulu, gambaran Flores di jaman dulu sangat jauh berbeda dengan Flores di jaman sekarang. Gambaran orang-orang Flores jaman dulu seakan hilang tanpa jejak seperti hilangnya jejak orang-orang Indian suku Maya. Peradaban yang didominasi oleh kehidupan spiritual murni tidak lagi mampu terlihat sebagai bagian sejarah bernilai tinggi bagi orang Flores. Padahal, tanpa kehidupan spiritual murni, orang Flores bagai mayat hidup tanpa nafas. Sisa-sisa kebanggaan yang bisa terlihat lewat musikalitas alamnya, hanyalah bagian kecil dari kebesaran nenek moyang orang Flores. Banyak cerita yang tersebar dari mulut ke mulut, diceritakan lagi dari orang tua kepada anaknya, telah menyimpan misteri luar biasa pencapaian spiritual tingkat tinggi disana. Jika India memiliki banyak ‘sadhu’ dan ‘para yogi’, maka Flores pun memiliki orang-orang seperti itu. Sampai sekarang, masih terdengar cerita-cerita mereka tinggal di hutan dan tempat-tempat yang sulit dijangkau. Bedanya, tidak ada catatan sejarah yang mencatat bahwa ada orang suci dan para bijak muncul dari Flores. Namun orang Flores tidak bisa memungkiri bahwa cerita-cerita nenek moyang mereka tidak lepas dari cerita-cerita kesucian dan kebijaksanaan, termasuk kemampuan supranormal yang dimiliki nenek moyang orang-orang Flores. Bahkan ada sebuah kemungkinan yang masih perlu digali, Flores adalah tempat penempaan spiritual murni dikarenakan alam Flores di jaman dulu sangat potensial bagi para pencari kebenaran hidup. Ada banyak sadhu dan yogi yang tak terekam sejarah Flores, mungkin nama dan perjalanan mereka tidak akan pernah terekam sejarah.
2. Sejarah Flores
Nama Pulau Flores berasal dari Bahasa Portugis "Cabo de Flores" yang berarti "Tanjung Bunga". Nama ini semula diberikan oleh S. M. Cabot untuk menyebut wilayah paling timur dari Pulau Flores. Nama ini kemudian dipakai secara resmi sejak tahun 1636 oleh Gubenur Jenderal Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Nama Flores yang sudah hidup hampir empat abad ini sesungguhnya tidak mencerminkan kekayaan Flora yang dikandung oleh pulau ini. Karena itu, lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) mengungkapkan bahwa nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa (yang artinya Pulau Ular). Dari sudut Antropologi, istilah ini lebih bermanfaat karena mengandung berbagai makna filosofis, kultural dan ritual masyarakat Flores.
Pulau Flores, Alor dan Pantar merupakan lanjutan dari rangkaian Sunda System yang bergunung api. Flores memiliki musim penghujan yang pendek dan musim kemarau yang panjang. Daerah Pulau Flores meliputi enam kabupaten, yakni Kabupaten Manggarai, Ngadha, Ende, Sikka, Flores Timur, dan Lembata.
3. Lingkungan dan Masyarakat Flores
Sejarah kependudukan masyarakat Flores menunjukkan bahwa Pulau ini dihuni oleh berbagai kelompok etnik yang hidup dalam komunitas-komunitas yang hampir-hampir eksklusif sifatnya. Masing-masing etnis menempati wilayah tertentu lengkap dengan pranata sosial budaya dan ideologi yang mengikat anggota masyarakatnya secara utuh (Barlow, 1989; Taum, 1997b). Heterogenitas penduduk Flores terlihat dalam sejarah asal-usul, suku, bahasa, filsafat dan pandangan dunia. Ditinjau dari sudut bahasa dan budaya, ada enam sub-kelompok etnis di Flores (Keraf, 1978; Fernandez, 1996). Keenam sub-kelompok etnis itu adalah: etnis Manggarai-Riung (yang meliputi kelompok bahasa Manggarai, Pae, Mbai, Rajong, dan Mbaen). Etnis Ngadha-Lio (terdiri dari kelompok bahasa-bahasa Rangga, Maung, Ngadha, Nage, Keo, Palue, Ende dan Lio. Kelompok etnis Mukang (meliputi bahasa Sikka, Krowe, Mukang dan Muhang). Kelompok etnis Lamaholot (meliputi kelompok bahasa Lamaholot Barat, Lamaholot Timur, dan Lamaholot Tengah). Terakhir kelompok bahasa Kedang (yang digunakan di wilayah Pulau Lembata bagian selatan). Keenam kelompok etnis di Flores sesungguhnya memiliki asal-usul genealogis dan budaya yang sama.
4. Agama-agama Asli di Flores Dan penghayatan yang tinggi terhadap Tuhan
Kristianitas, khususnya Katolik, sudah dikenal penduduk Pulau Flores sejak abad ke-16. Tahun 1556 Portugis tiba pertama kali di Solor. Tahun 1561 Uskup Malaka mengirim empat misionaris Dominikan untuk mendirikan misi permanen di sana. Tahun 1566 Pastor Antonio da Cruz membangun sebuah benteng di Solor dan sebuah Seminari di dekat kota Larantuka. Tahun 1577 saja sudah ada sekitar 50.000 orang Katolik di Flores (Pinto, 2000: 33-37). Kemudian tahun 1641 terjadi migrasi besar-besaran penduduk Melayu Kristen ke Larantuka ketika Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka. Sejak itulah kebanyakan penduduk Flores mulai mengenal kristianitas, dimulai dari Pulau Solor dan Larantuka di Flores Timur kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores dan Timor. Dengan demikian, berbeda dari penduduk di daerah-daerah lain di Indonesia, mayoritas masyarakat Pulau Flores memeluk agama Katolik.
Meskipun kristianitas sudah dikenal sejak permulaan abad ke-16, kehidupan keagamaan di Pulau Flores memiliki pelbagai kekhasan. Bagaimanapun, hidup beragama di Flores –sebagaimana juga di berbagai daerah lainnya di Nusantara (lihat Muskens, 1978)-- sangat diwarnai oleh unsur-unsur kultural yaitu pola tradisi asli warisan nenek-moyang. Di samping itu, unsur-unsur historis, yakni tradisi-tradisi luar yang masuk melalui para misionaris turut berperan pula dalam kehidupan masyarakat. Kedua unsur ini diberi bentuk oleh sistem kebudayaan Flores sehingga Vatter (1984: 38) menilai di beberapa tempat di Flores ada semacam percampuran yang aneh antara Kristianitas dan kekafiran.
Untuk dapat mengenal secara singkat gambaran agama-agama di Flores, Tabel 1 mendeskripsikan 'wujud tertinggi' orang Flores. Tabel itu menunjukkan bahwa orang Flores memiliki kepercayaan tradisional pada Dewa Matahari-Bulan-Bumi. Kepercayaan yang bersifat astral dan kosmologis ini berasal dari pengalaman hidup mereka yang agraris, yang hidup dari kebaikan langit (hujan) dan bumi (tanaman) (Fernandez, 1990). Lahan pertanian yang cenderung tandus membuat orang Flores sungguh-sungguh berharap pada penyelenggaraan Dewa Langit dan Dewi Bumi. Jiwa sejati orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada kehendak Tuhan.
Radha Soami Satsang Beas, sebuah kelompok spiritual besar yang berpusat di India, mempunyai keyakinan bahwa tingkat kepasrahan pada kehendak Tuhan merupakan suatu tahapan yang sulit dicapai jika seorang manusia belum melampui dan mengendalikan pikirannya sendiri. Mereka percaya jika seseorang masih diperbudak oleh pikirannya sendiri, maka tingkat kepasrahan pada kehendak Tuhan adalah sesuatu yang mustahil dilakukan. Sebab kepasrahan diri sama artinya mengembalikan pikiran pada tempatnya semula, sehingga jiwa bebas. Ketika jiwa bebas dari belenggu pikiran, maka ia hanya punya satu tujuan, kembali pulang ke rumah Bapa-Nya, Sumber segala jiwa, Tuhan segala jiwa. Radha Soami pun mempunyai arti Tuhan Segala Jiwa.
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan.
Tabel 1 Wujud Tertinggi Orang Flores
NO KABUPATEN WUJUD TERTINGGI MAKNA
1. Flores Timur - Lera Wulan Tana Ekan - Matahari Bulan Bumi
2. Lembata - Lera Wulan Tana Ekan - Matahari-Bulan-Bumi
3. Sikka - Ina Niang Tana Wawa/Ama Lero Wulang Reta - Bumi-Matahari-Bulan
4. Ende/Lio - Wula Leja Tana Watu - Bulan-Matahari-Bumi
5. Ngadha - Deva Zeta Nitu Zale - Langit-Bumi
6. Manggarai - Mori Kraeng, Bergelar : Tana Wa Awang Eta/Ine Wa Ema Eta - Tanah
dibawah, langit di atas
Selain itu, hampir semua etnis masyarakat Flores memiliki tempat-tempat pemujaan tertentu, lengkap dengan altar pemujaannya yang melambangkan hubungan antara alam manusia dengan alam ilahi. Tabel 2 menunjukkan altar tempat upacara ritual orang Flores.
Tabel 2 Altar/Tempat Pemujaan Orang Flores
NO KABUPATEN NAMA TEMPAT KETERANGAN
1. Flores Timur - Nuba Nara - Menhir & Dlomen
2. Lembata _ Nuba Nara - Menhir & Dolmen
3. Sikka - Watu Make - Menhir & Dolmen
4. Ende/Lio - Watu Boo - Dolmen
5. Ngadha - Vatu Leva, Vatu Meze - Menhir & Dolmen
6. Manggarai - Compang Lodok - Menhir & Dolmen
Altar yang disebutkan dalam Tabel 2 di atas merupakan tempat dilaksanakannya persembahan hewan korban dalam upacara ritual formal, misalnya: upacara panen, pembabatan hutan, pendirian rumah, perkawinan adat, dan sebagainya. Upacara ritual itu sendiri menduduki posisi penting sebagai sarana pembentukan kohesi sosial dan legitimasi status sosial. Ritus persembahan di altar tradisional itu mempengaruhi berbagai struktur dan proses sosial di Flores.
5. Beberapa Keutamaan Orang Flores: Kasus Lamaholot
5.1 Percaya kepada Tuhan yang Kuasa
Sebelum agama Katolik tiba di Flores, masyarakat di sana sudah mengenal Tuhan yang Kuasa, yang disebut ‘Lera Wulan Tanah Ekan’ atau Tuhan Langit dan Bumi. Orang Flores memiliki rasa syukur dan penyerahan diri yang begitu dalam kepada Tuhan. Untuk memperkuat kenyataan bahwa seseorang bertindak benar dan jujur, sekaligus memperingatkan lawannya, mereka berucap: "Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan": Tuhan mempunyai mata (untuk melihat), yang berarti Tuhan mengetahuinya, ia maha tahu, ia maha adil, ia akan bertindak adil. Pada peristiwa kematian, orang biasanya berkata: "Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en": Tuhan mengambil pulang miliknya.
Pada perayaan syukur sebelum panen, ada kewajiban bagi para anggota masyarakat untuk mempersembahkan sebagian hasil panen itu sebagai tanda ucapan syukur kepada Tuhan sebelum menikmati hasil panen tersebut. Adapun doa yang didaraskan sebagai berikut:
Bapa Lera Wulan lodo hau Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
Ema Tanah Ekan gere haka Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini
Tobo tukan Duduklah di tengah
Pae bawan Hadirlah di antara kami
Ola di ehin kae (Karena) kerja ladang sudah berbuah
Here di wain kae (Karena) menyadap tuak sudah berhasil
Goong molo Makanlah terlebih dahulu
Menu wahan Minumlah mendahului kami
Nein kame mekan Barulah kami makan
Dore menu urin Barulah kami minum kemudian
5.2 Kejujuran dan Keadilan
Kepercayaan yang kuat dan penyerahan diri seutuhnya pada Tuhan menimbulkan nilai-nilai keutamaan lainnya yang juga dijunjung tinggi orang Flores seperti kejujuran dan keadilan. Nilai ini muncul sebagai keyakinan bahwa ‘Tuhan mempunyai mata’ (Lera Wulan Tanah Ekan no-on matan). Tuhan melihat semua perbuatan manusia, sekalipun tersembunyi. Dia menghukum yang jahat dan mengganjar yang baik.
Sifat dan tabiat kejujuran ini sangat menarik perhatian Vatter (1984: 56). Dia mencatat, hormat terhadap hak milik oang lain tertanam sangat kuat di benak orang Flores. Pencurian termasuk pelanggaran berat di Flores. Pada zaman dahulu dikenakan hukuman mati, dan saat ini pencuri dikenai sangsi adat berupa denda yang sangat besar.
5.3 Penghargaan yang Tinggi akan Adat dan Upacara Ritual
Studi Graham (1985) mengungkapkan bahwa dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Flores Timur, ada empat aspek yang memainkan peranan penting, yaitu episode-episode dalam mitos asal-usul, dan tiga simbol ritual lainnya yakni nuba nara (altar/batu pemujaan), korke (rumah adat), dan namang (tempat menari yang biasanya terletak di halaman korke). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang Flores memiliki penghargaan yang sangat tinggi akan adat-istiadat dan upacara-upacara ritual warisan nenek-moyangnya. Mitos cerita asal-usul dipandang sebagai unsur terpenting dalam menentukan otoritas dan kekuasaan. Melalui episode-episode dalam mitos asal-usul itulah legitimasi magis leluhur pertama dapat diperoleh. Mitos asal-usul yang sering dikeramatkan itu biasanya diceritakan kembali pada kesempatan-kesempatan ritual formal seperti membangun relasi perkawinan, upacara penguburan, terjadi sengketa tanah, persiapan perang, pembukaan ladang baru, panen, menerima tamu, dan sebagainya. Nuba-nara atau altar/batu pemujaan merupakan simbol kehadiran Lera Wulan Tanah Ekan. Ada kepercayaan bahwa Lera Wulan turun dan bersatu dengan Tanah Ekan melalui Nuba Nara itu. Korke yang dilengkapi dengan Namang adalah "gereja" tradisional, pusat pengharapan dan penghiburan mereka. Sangat kuat dan menonjolnya peranan devoci kepada Bunda Maria di kalangan orang Flores di satu pihak menunjukkan unsur historis (warisan zaman Portugis) tetapi sekaligus kultural (pemujaan terhadap Ibu Bumi, seperti dalam ungkapan Ama Lera Wulan-Ina Tanah Ekan).
5.4 Rasa Kesatuan Orang Flores
Ikatan kolektif yang sangat kuat dalam masyarakat Lamaholot terjadi pada tingkat kampung atau Lewo. Masyarakat Lamaholot pada umumnya memiliki keterikatan yang khas dengan Lewotanah atau tempat tinggal. Melalui ukuran kampung, mereka membedakan dirinya dengan orang dari kampung lainnya. Kampung merupakan kelompok sosial terbesar, dan kesadaran berkelompok hampir tidak melampaui batas kampung (Vatter, 1984: 72-73). Di Flores sebetulnya tidak ada kesadaran akan persatuan yang bertopang pada pertalian genealogis, historis maupun politis. Seperti disebutkan di atas, keterikatan mereka lebih disebabkan faktor kesamaan tempat tinggal atau kampung. Sekalipun demikian, pola organisasi kampung selalu dibangun dengan semangat dan pemikiran tentang kohesi sosial yang berpangkal pada kerangka genealogis. Dalam kampung-kampuang itu tinggal orang-orang dari berbagai kelompok imigran, yang kemudian digolong-golongkan dalam suku (istilah untuk suku adalah Ama).
Itulah sebabnya orang Flores cenderung menyapa sesamanya dengan sebutan kekerabatan (Om, Tante, Kakak, Adik atau mengaku sebagai saudara). Mereka juga bisa menghargai perbedaan politis, agama, etnis bila mereka telah diikat dalam satu kesatuan tempat tinggal. Rasa kesatuan seperti ini, kadang-kadang membuat orang Flores menjadi sedikit bersifat etnosentris.
6. Catatan tentang Rasa Musikal Orang Flores
Sekalipun di Flores tidak banyak ditemukan alat-alat instrumen musik, rasa musikal orang Flores tergolong cukup istimewa. Hal ini dapat dilihat dalam pandangan Max Weber, yang dikutip dari J. Kunst (1942) berikut ini.
“Of musical instruments I did not see much, although, as a matter of fact, the population of Flores seemed to me to be more musically talented than the kindred Indonesian tribes whose acquaintance I made in Sumatra, Java and Celebes, where I never heard any tolerable voices sing agreeable melodies. It was different in Flores. Many a sonorous male voice, rendering simple songs at the river bank, still sounds in my ears; melodies which might well please the European ear, too. And where is the Florinese who could paddle without singing his pantuns, complete with soli and refrain sung in chorus? Among these soloists there were some voices that might, with better training, have been turned out as good tenor, soprano and bass voices. But this hardly seems to me to apply to the treble voices of the genuine Malay people, including the Buginese and Macassarians. It would seem that we have here to do with a morphological distinction in the vocal means of expression, which may well amount to a support of my view concerning the kinship of the Florinese with tribes living further east”..
Berikut ini terjemahan selengkapnya kutipan di atas;
“Tentang musik instrumen saya tidak banyak menemukan, tetapi adalah sebuah fakta bahwa penduduk Flores memiliki bakat musikal yang lebih dibandingkan suku-suku bangsa Indonesia lainnya yang saya jumpai di Sumatra, Jawa dan Sulawesi. Saya tidak pernah mendengar suara nyanyian yang kompak dan serasi dengan melodinya. Ini berbeda di Flores. Banyak terdengar suara pria yang dalam, gema nyanyian di sepanjang sungai, tetap terngiang-ngiang di telingaku, melodinya menyenangkan telinga Eropa juga. Dan di manakah orang Flores yang berjalan tanpa menyanyikan pantunnya, lengkap dengan solo dan refrainnya dalam koor? Di antara penyanyi-penyanyi solo ini, terdapat beberapa suara yang, dengan latihan yang lebih baik, akan menjadi penyanyi tenor, sopran dan bass yang baik. Tetapi hal ini jelas hampir tidak terlihat pada suara penduduk Melayu asli, termasuk Bugis dan Makasar. Barangkali inilah pembedaan morfologis dalam ekspresi vokal, yang mendukung gagasanku tentang kekeluargaan di Flores dengan suku-suku yang hidup di timur jauh".
Kesaksian menarik juga ditulis Kapten Tasuku Sato dan P Mark Tennien dalam buku I REMEMBER FLORES, penerbit Farrar, Straus and Cudahy, New York, 1957. Kapten Tasuku Sato yang lahir di Taipei pada Oktober 1899, pernah menjabat Komandan Angkatan Laut Jepang di Flores pada 1943. Tasuku Sato menulis;
“Penduduk pribumi Flores memiliki bakat musikal luar biasa. Mereka dapat mempelajari lagu baru dan langsung melagukannya dalam sekali dengar.” “Orang-orang Flores mempunyai bakat alam dalam bidang musik. Mereka dapat mempelajari lagu dengan cepat dan baik sekali. Mereka juga menirukan lagu-lagu Jepang dengan cepat. Orang-orang Flores juga mudah menangkap lagu-lagu yang mereka dengar dari radio, lalu menirukannya. Mereka mempunyai orkes asli yang terdiri atas bermacam-macam drum. Lagunya hidup dan sedap didengar. Di bawah pengawasan komisi kebudayaan, anak-anak diajarkan melagukan dan memainkan nyanyian-nyanyian Jepang....” Orang Flores, seperti terungkap dalam kutipan di atas, memiliki bakat musikal yang sangat tinggi, khususnya dalam nyanyian koor. Sebagian (kecil) lagu-lagu Flores sudah diakomodasikan dalam liturgi dan sudah termuat dalam buku Madah Bhakti. Tetapi buku ini kurang disenangi di Flores karena kurang variatif dan terasa seperti menekan kreativitas. Masih ada satu hal yang penting menjadi catatan. Jika orang Flores, menurut Max Weber, mempunyai bakat musikal yang sangat tinggi, pertanyaannya adalah, mengapa tidak ada orang Flores yang kemudian menonjol sebagai penyanyi nasional? Adakah kendala budaya yang menghambat pencapaian ini? Beberapa studi (Vatter, 1984; Graham, 1985; Taum, 1997b) mengungkapkan bahwa keluarga di Flores (dalam hal ini Flores Timur) memainkan peranan yang sangat kecil dalam proses pendidikan dan sosialisasi anak. Keluarga bukan tujuan melainkan sarana bagi pembentukan kelompok sosial yang menjadi inti masyarakat dan menentukan suku. Suku itulah basis sosial terkecil dan otonom. Semua hak dan kewajiban individual diarahkan kepada kebersamaan suku. Itulah sebabnya ruang bagi ekspresi dan aktualisasi potensi pribadi menjadi lebih terbatas, sebaliknya kebersamaan menjadi lebih bernilai. Mungkin ini salah satu kendala budaya yang menghambat hal itu, di samping faktor-faktor teknis lain seperti peluang, modal, dan sebagainya.
7. Soal Inkulturisasi
Agama Katolik hanya bisa berakar dalam kebudayaan sebuah kelompok etnis jika Katolik sudah terungkap dalam pola pikir, pola sikap, dan pola tindakan masyarakat pendukung etnis itu, dan bahkan memimpin dan mengarahkan kehidupan sosial-budaya setempat. Injil sudah harus ikut mempengaruhi, membentuk, mengarahkan, dan merasuk ke dalam sistem nilai dan sistem budaya lokal. Agama Katolik hanya akan berakar, sejauh ia mampu menginjili sistem keagamaan masyarakat. Jika tidak, Katolik akan tetap tinggal di luar. Dalam kaitan dengan ini, maka proses inkulturisasi, bagi saya, adalah mengangkat nilai-nilai dasar dan paham-paham inti budaya kelompok etnis tertentu ke dalam interaksi dinamis dengan Kitab Suci dan tradisi gereja. Dalam interaksi ini paham-paham budaya asli akan bertemu dengan ilham esensial gereja sebagai wahyu dan konteks-konteks wahyu itu sendiri. Hal ini membutuhkan proses yang panjang, dan di sisi akademis membutuhkan studi dan diskusi yang mendalam.
Khusus dalam hal inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu dipahami bakat musikal orang Flores itu. Lagu-lagu yang sudah direduksi menjadi satu suara sangat membosankan orang Flores yang sudah sangat terbiasa menyanyi dalam empat suara. Untuk mendukung inkulturisasi musik liturgi di Flores, perlu diinventarisasikan lagu-lagu rakyat, ditranformasikan menjadi lagu liturgis, dan diterbitkan dalam buku nyanyian khusus dengan pola empat suara. Lagu-lagu dengan semangat dan warna musik yang sama (seperti dari daerah Minahasa, Ambon, Papua, serta dari daerah lainnya) dapat pula
dilibatkan dalam buku nyanyian ini. Penggunaan alat-alat musik tradisional (misalnya gong waning di Sikka, suling bambu di Ende dan Flores Timur, orkes kampung hampir di seluruh Flores) dalam musik liturgi sungguh-sungguh menarik minat dan partisipasi umat, khususnya generasi muda Flores.
2. PERANAN LEMBAGA PENDIDIKAN KRISTEN PADA BUDAYA FLORES
1. Dasar Keterlibatan Gereja dan Arah pelayanan Pendidikan Kristen
Apakah yang memanggil Gereja untuk terlibat dalam dunia pendidikan ? Hal utama harus diketahui bahwa Gereja dipanggil untuk mengalami damai sejahtera dalam Allah dan kembali diutus untuk menghadirkan syalom Allah bagi dunia. Hal ini nyata dalam kata-kata Kristus sendiri; "Hendaklah kamu sempurna sama seperti Bapamu di sorga adalah sempurna" (Mat. 5: 48) undangan ini dilanjutkan oleh janji perutusan Yesus sendiri : "Aku telah menetapkan kamu supaya kamu pergi dan menghasilkan buah (Yoh.15.16) atau dalam versi Injil Mateus perutusan itu dirumuskan sebagai perintah untuk menjadikan segenap bangsa sebagai satu kawanan keluarga Allah di dunia ( bdk. Mat. 28; 1 9) Panggilan dan perutusan ini dimeterai oleh Yesus dalam ajarannya yang utama mengenai Cintakasih; Mengasihi Allah dengan seluruh daya dan mengasihi sesama manusia sebagai ungkapan kasih pada Allah.( Mat. 5.43,Mark.12.31,Luk.10;27, ) .Panggilan menjadi sempurna atau panggilan menjadi Kudus dengan begitu pada hakekatnya adalah panggilan untuk mencintai. Dalam konteks perintah cintakasih pendidikan dipahami sebagai ungkapan cintakasih pada kehidupan manusia dan Allah sang pemberi kehidupan. Gereja memandang kerasulan di bidang pendidikan sebagai aplikasi iman yang membebaskan seperti diungkapkan secara programatis oleh Yesus Sang Guru Ilahi : Roh Tuhan ada padaku. Oleh sebab la telah mengurapi Aku untuk menyampaikan khabar baik kepada orang-orang miskin; dan la telah mengutus Aku untuk memberitakan pembebasan kepada orang-orang tawanan,dan penglihatan bagi, orang- orang buta, untuk membebaskan orang-orang tertindas, untuk memberitakan tahun rahmat Tuhan telah datang...(Luk.4.18-19) Pendidikan merupakan jalan yang ditempuh untuk mengembangkan potensi-potensi manusia menjadi pribadi-pribadi yang merdeka dan bebas dari segala belenggu serta terbuka dan mampu membangun kehidupan masyarakat yang terbuka bagi undangan Tuhan sebagai tujuan terakhir hidup manusia .Inilah alasannya sejak awal mula Gereja-Gereja melihat pendidikan sebagai bagian dari kegiatan perutusannya di tengah dunia. Pada mulanya sekolah-sekolah dibuka dalam rangka pelajaran agama dan pendidikan moral. Namun sekolah-sekolah itu kemudian berkembang menjadi tempat pengembangan kecerdasan manusia secara utuh baik kecerdasan intelektul/, kecerdasan emosional maupun kecerdasan spiritual. Di sekolah- sekolah Kristen anak-anak tidak saja diajarkan pelajaran agama melainkan juga pengetahuan-pengetahuan umum serta ketrampilan-ketrampilan praktis. Yang diperlukan untuk hidup di tengah masyarakat kelak. Karena mendasarkan dirinya pada ajaran kasih kepada Allah dan manusia sebagai nilai yang universal maka ada dua ciri utama pendidikan Kristiani. pertama, bersifat terbuka. Dasar dari keterbukaan itu adalah pengakuan bahwa semua orang dicintai oleh Allah. Karena itu tiap orang harus saling memandang sebagai kembaran dirinya satu sarna lain yang sarna-sarna bermartabat dan harus dihargai. (Bdk. Gs. Art. 27) .Lagipula setiap orang terlahir untuk bahagia serta diundang untuk mengalami kebahagiaan yang sempurna dalam Allah. Hal prinsip ini menjadi dasar solidaritas antar manusia yang mengatasi pelbagai perbedaan dalam membangun kehidupan bersama yang ditandai sikap saling melindungi dan saling menghormati. Kedua, ciri berikut dari lembaga pendidikan Kristiani adalah solider dengan yang kecil .Solidaritas antar manusia sebagai wujud kasih harus diungkapkan secara tegas dengan melayani yang kecil. Hal ini sesuai dengan semangat Yesus Sang Guru Ilahi yang mengatakan; Segala sesuatu yang kamu lakukan kepada salah seorang Saudaraku yang paling hina ini,kamu telah melakukannya untuk Aku" (Mat. 25; 40). Praktisnya sekolah-sekolah harus memberi perhatian bagi mereka yang kecil, memberi prioritas bagi korban-korban ketidakadilan struktural entah struktur nasional maupun internasional. Selain itu sekolah-sekolah juga harus mengembangkan nilai penghargaan terhadap nasib orang-orang kecil dengan mengembangkan nilai serta budaya tandingan bagi pelbagai kenyataan ketidakadilan yang menimpa mereka yang kecil. Dengan sifatnya yang terbuka dan solider dengan yang kecil Pendidikan Kristiani diarahkan bagi pengembangan manusia-manusia utuh dalam kesejahteraan anak-anak Allah
2. Peranan Lembaga pendidikan Kristiani Dalam Sejarah
Pendidikan Kristiani di Flores (Katolik maupun Protestan) memiliki sejarah yang panjang. Keberadaannya malah jauh sebelum terbentuknya Negara Republik Indonesia. Umumya perkembangan pendidikan di Flores berjalan bersama proses pertemuan antara misionaris dari Eropa yang melakukan evangelisasi dengan masyarakat asli. Sekolah-sekolah dibuka pada awalnya dalam rangka pendidikan agama. Namun dalam perkembangan kemudian menjadi wadah pencerdasan anak-anak .Para siswa belajar membaca dan menulis melatih sejumlah ketrampilan dan meningkatkan ilmu pengetahuan. Kendatipun penyelenggaraan sekolah-sekolah ini pada awalnya hanya untuk memenuhi kebutuhan Kompeni, tapi dalam sejarah hal ini kemudian menjadi investasi bagi Flores di kemudian hari. Sejarah Pendidikan di kalangan Gereja Kristen jauh lebih awal. Sekolah pertama dimulai di Kupang-Timor oleh Paulus Kupang dengan 22 orang murid. pada Tahun 1701. Kemudian menyusul di Fiulain-Thie- Rote, kira-kira tahun 1730. Sekltar tahun 1766 sekolah dimulai di Sabu. Pada masa pendudukan VOC 1614-1819 pengembangan pendidikan kurang berjalan baik. Baru pada masa Nederlandsce Genootschaps Zending/NZG 1814-1860 dan kemudian diteruskan masa Indishe Kerk (1860-1942) karya pendidikan berkembang semakin baik. Sekolah- sekolah yang sudah ada diperbaiki dan dibuka sekolah-sekolah baru di Rote di Alor dan Timor serta Sumba. Tahun 1947 Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT) sebagai induk Gereja-gereja Kristen Protestan di Timor dibentuk. GMIT lalu membentuk (Yayasan Usaha Pendidikan Kristen (YUPENKRIS) pada tahun 1966. Dengan berbagaj keterbatasan pengelolaan pendidikan berjalan terus hingga saat ini. Di kalangan Gereja Katolik pendidikan melalui sekolah baru terjadi pada pertengahan abad 19. di Flores karya pendidikan Katolik dimulai oleh para Misionaris Jesuit dengan membuka sekolah serta kursus-kursus ketrampilan. Bulan April Tahun 1863 P. Georgius Metz Sj tiba di Larantuka dan mulai karya pendidikan di Larantuka. Sementara itu tahun 1879 Pertama kali para Suster Fransiskanes tiba di Larantuka dan juga memulai karya pendidikan keputrian.(sekolah ini bersama dengan semua sekolah di Maumere kemudian dipindahkan ke Lela-Sikka tahun 1898). Sejak tahun 1913 seluruh pendidikan di Flores diserahkan oleh Belanda ke tangan Misi Katolik. Tahun 1914 di Flores telah dimulai pendidikan sekolah Guru. Sekitar tahun-tahun ini sekolah-sekolah mulai dibuka di Flores;
di Ndona-Ende ,Paga-Sika, Ende. Reo ,Labuan Bajo, Manggarai dan beberapa tempat lainnya di flores. Perkembangan pendidikan di Timor, Sumba dan sekitarnya juga berjalan bersama -sarna dengan kegiatan evangelisasi para misionaris 1898 sudah ada sekofah di Lahurus dan Atapupu di perbatasan Timor Leste sekarang. Tahun 1911 pemerintah Kolonial menyerahkan sebuah Sekolah di Besikama untuk dikelola oleh Misi. Dalam sekolah-sekolah tersebut selain pelajaran Agama dan ilmu pengetahuan umum diajarkan juga ketrampilan-ketrampilan seperti pertukangan dan pertanian maupun ketrampilan-ketrampilan keputrian seperti menjahit dan :menenun sebagai bagian dari upaya pemberdayaan umat/ masyarakat setempat. Deskripsi Grondijs ;seorang Guru Sekolah Penierintah di Kupang Dalam Soerabajasche Handelsblad,21 Juni 1883 memberi kesaksian bahwa pendidikan yang dijalankan para Jesuit di Flores benar-benar diarahkan untuk transformasi masyarakat setempat tanpa tercerabut dari akar kebudayaan mereka sendiri. Setelah sekolah mereka akan kembali menjadi petani, peternak atau tukang yang baik. Sementara untuk yang perempuan agar setelah menyelesaikan Sekolah menjadi semakin trampil menjahit dan menenun. Demikianlah lukisan yang amat singkat dari perkembangan Pendidikan di flores .Saat ini GMIT melalui Yupenkris bersama dengan sejumlah lembaga pendidikan Kristiani lainnya yang ada di bawah pengawasan langsung Sinode atau Gereja yang tergabung dalam Majelis Pendidikan Kristen (MPK) mengelola sejumlah besar Lembaga Pendidikan Dasar dan dan Menengah di flores. Begitu pula Gereja Katolik melalui Tarekat religius atau Keuskupan maupun yayasan Katolik yang dikelola oleh kaum awam Katolik mengelola sejumlah besar lembaga pendidikan. Ada banyak perkembangan dan perubahan yang terjadi namun dalam segala keterbatasan karakter pendidikan Kristen seperti terlukis di atas tidak mengalami perubahan. Jumlah sekolah swasta Kristen (Katolik maupun Protestan) saat ini melampaui jumlah sekolah-sekolah negeri yang dikelola oleh pihak Pemerintah. Data berikut yang kami peroleh dari Diknas Flores dan sekitarnya termasuk Kupang dan lain-lain menggambarkan jumlah sekolah yang ada di NTT tahun 2002 menurut klasifikasi pihak pengelolanya.
No Jenis Sekolah Negeri Swasta/Termasuk
Katolik/Protestan Jumlah
1 TK 6 589 595
2 SD 2.347 1.705 4.052
3 SLTP 258 317 575
4 SMU 52 105 157
5 SMK 18 42 60
6 PT 1 18 19
7 Akademi 3 8 11
Catatan; 90 % Lembaga-lembaga pendidikan swasta adalah lembaga pendidikan Kristen( Katolik -Protestan) .Sumber data; Diknas Propini NTT, tahun 2002 dengan perbandingan angka-angka di atas tampak sangat jelas besarnya peranan swasta dalam dunia pendidikan .Selain itu ada beberapa hal berkaitan dengan peranan lembaga pendidikan kristiani sebagai kekuatan dinamik pengembangan budaya masyarakat flores yang harus dicatat. Pertama, Sekolah-sekolah atau lembaga-lembaga kursus non-formal yang diselenggarakan oleh Gereja telah melakukan pencerdasan anak-anak bangsa.
Pencerdasan itu tidak cuma meliputi kecerdasan spiritual melainkan juga kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional. Juga pencerdasan itu tidak cuma bagi orang-orang katolik atau protestan melainkan semua orang dari semua lapisan golongan ras,agama maupun etnis yang menjadi output. Sekolah-sekolah Katolik atau Kristen. Saat ini mereka tersebar di seluruh pelosok wilayah flores dan praktis menjadi kader-kader pembangunan bangsa di wilayah flores. Pencerdasan yang dilakukan lembaga-lembaga pendidikan Kristiani merupakan sumbangan yang sangat berarti .Karena itu eksistensi lembaga-lembaga Pendidikan- Kristiani juga harus dilihat sebagai satu "daya sejarah” untuk pembentukan bangsa ini. Kedua. J Transformasi kebudayaan satu masyarakat sebenarnya merupakan sebuah proses yang berlangsung terus menerus. Transformasi itu bergerak selalu dalam ketegangan antara tradisi dan modernisasi . antara kebudayaan dengan nilai-nilai serta kearifan lokal dan tantangan global. Transformasi itu tidak berlangsung secara alamiah semata-mata melainkan melalui proses belajar. Melalui sekolah-sekolah Gereja mendorong peningkatan pengetahuan I perubahan sikap dan perilaku serta memperkenalkan kebiasaan -kebiasaan baru bagi pribadi-pribadi terdidik dalam masyarakat flores. Dengan mendidik masyarakat flores lembaga-lembaga pendidikan kristiani menata aspek bath in kebudayaan flores berhadapan dengan tantangan perkembangan jaman. Ketiga , Lembaga-lembaga pendidikan yang dikelola oleh Misi atau Zending (di masa lalu) sebenarnya telah menjadi sebuah pusat pengembangan dan penumbuhan nasionalisme dan integrasi masyarakat flores yang majemuk. Flores merupakan sebuah wilayah yang sangat majemuk. Kemajemukan itu antara lain tampak dalam bahasa. Secara keseluruhan NTT terdiri dari 15 kelompok etnik utama, 75 kesatuan etnik dan 500 sub etnik .Kelompok-kelompok etnik ini mempergunakan 10 kelompok bahasa yang terdiri dari 36 bahasa dan 29 dialek, yang seringkali tidak saling memahami. Maka komunikasi antar etnik merupakan sebuah problem tersendiri. Sebagai contoh Ende sebuah kota kabupaten di flores, hingga ke desa paling pelosok masyarakat desa bisa berkomunikasi dalam bahasa Indonesia. Mereka memiliki dialek masing-masing yang seringkali tidak saling dimengerti. Sehingga bahasa Indonesia menjadi sarana yang mempertemukan mereka. Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari peran lembaga-lembaga Pendidikan Kristen yang melakukan investasi budaya dengan memajukan bahasa Melayu pada 'fajar kelahiran bangsa ini. Investasi budaya itu dilakukan dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam sekolah-sekolah (selain bahasa daerah dan sedikit bahasa Belanda). Selain itu sampai saat ini lembaga-lembaga pendidikan Kristiani juga mendorong terjadinya perjumpaan dan pembauran antara: generasi dari latar belakang budaya,etnis,bahasa dan agama yang berbeda. Pembauran itu mendorong tumbuhnya pengenalan serta pemahaman bersama akan pelbagai perbedaan sebagai prasyarat utama bagi toleransl dan integrasi masyarakat flores yang majemuk.
3. Kebudayaan sebagai sesuatu yang dinamis
Kebudayaan dipahami sebagai keseluruhan proses daya cipta manusia serta hasilnya yang nyata dalam masyarakat; sebuah realita dinamis yang terus berkembang,. Artinya kebudayaan dipahami sebagai dialektika manusia dengan pelbagai pertanyaan yang muncul dalam interaksinya dengan dirinya sendiri, sesama manusia , lingkungan alamnya,lingkungan sosialnya serta dengan Tuhan sang Pencipta. Dialektika itu terjadi
pada tiap titik garis waktu yang mengandung kelampauan, kekinian dan masa depan. Dengan demikian isi kebudayaan seperti sistem religi, sistem organisasi kemasyarakatan,sistem pengetahuan, bahasa, kesenian dan lain-lain bukanlah sesuatu yang sudah final melainkan masih akan terus berkembang dan menjadi. Karena manusia sebagai subyek kebudayaan senantiasa terus menjadi dalam sebuah proses aktualisasi diri tanpa henti. Mengacu kepada manusia sebagai makhluk terbuka, Kebudayaan memiliki kemungkinan untuk menjadi "Lebih baik atau mengalami kemandegan”. Kemajuan tercipta melalui proses kreatif manusia merumuskan jawaban-jawaban kreatif atas tantangan -tantangan baru. Karena setiap jaman memiliki pertanyaannya dan jawabannya sendiri. Sementara Kebudayaan akan mandeg ketika proses kreatif dan daya cipta terhenti. Untuk itu pengembangan budaya harus menjadi satu upaya humanisasi yang berjalan terus. Pada titik inilah lembaga pendidikan harus hadir sebagai variabel penentu. Lembaga-lembaga pendidikan termasuk sekolah-sekolah kristen telah menjalankan proses humanisasi manusia (sebagaimana dikatakan sebelumnya). Dengan mengembangkan potensi-potensi manusia agar semakin menjadi pribadi-pribadi yang utuh dan manusiawi di tengah tata dunia .Lembaga pendidikan Kristiani di flores sebenarnya menjadi kekuatan dinamik bagi perkembangan kebudayaan masyarakat flores
Dalam masyarakat Indonesia -termasuk masyarakat flores saat ini ada semacam kemandegan budaya. Tanda-tanda kemandegan budaya itu antara lain tampak dalam rendahnya respons masyarakat terhadap ketidakadilan dan pelanggaran HAM yang terjadi di mana-mana. Kekerasan terjadi dimana-mana. Sifat kenegarawanan di kalangan para pemimpin sangat lemah kerap lebih mendahulukan kepentingan kelompok daripada kepentingan bersama dan kurang menaruh minat atau kesungguhan pada perubahan dan perbaikan nasib rakyat. Korupsi merajalela hingga ke daerah-daerah. Radikalisme dan perilaku sektarian merebak di mana-mana. Situasi di atas menggambarkan kesenjangan amat jauh antara nilai-nilai kebaikan dengan tampilan pola perilaku masyarakat . Aktualisasi diri masyarakat saat ini ada dalam ketegangan yang mengarah pada kemunduran. Ini menjadi tantangan yang harus dihadapi. Situasi saat ini tidak akan berubah sendiri. Begitu pula kebudayaan tidak akan berkembang sendiri secara genetis melainkan melalui proses belajar, Lembaga-lembaga Pendidikan. harus kembali menjadi pusat pengembangan manusia secara menyeluruh; pusat humanisasi holistik. Bagi lembaga pendidikan Kristiani kemandegan yang terjadi saat ini merupakan panggilan untuk bermetanoia dengan menegaskan kembali keberadaan, arah serta perannya- bagi pengembangan manusia - manusia baru sebagai subyek kebudayaan. Hal itu dilakukan dengan merumuskan dan menegaskan kembali nilai-nilai kepelayanannya ke dalam praksis. Upaya humanisasi holistik melalui Pendidikan diperjuangkan dalam rangka menyiapkan manusia-manusia baru Indonesia menjawabi tanda-tanda kemandegan budaya yang ada dalam masyarakat kita; saat ini.
4. Beberapa Tanggapan Dan Harapan .
Selama hampir 300 tahun lembaga-lembaga Pendidikan Kristen "jatuh bangun" berkiprah di flores. Sejauh itu lembaga-lembaga pendidikan Kristen telah menyumbang pada terbentuknya kebudayaan masyarakat flores. Memang sulit merumuskan apa yang dimaksud dengan kebudayaan flores. Namun yang jelas bahwa sekolah-sekolah Kristen
telah menjadi pusat-pusat penting pengembangan budaya masyarakat flores. Utamanya lembaga-lembaga Pendidikan Kristen terbukti setia menyiapkan manusia - manusia sebagai subyek kebudayaan masyarakat flores yang merupakan bagian utuh Negara Bangsa ini. Karena itu mengakhiri refieksi ini saya ingin menitipkan beberapa harapan: Pertama, berhentilah membuat dikotomi antara swasta dan Negeri dalam kebijakan Pembangunan di bidang Pendidikan. dikotomi ini tidak relevan dan mengingkari sejarah. Lembaga-lembaga pendidikan swasta maupun Negeri adalah mitra dalam pengembangan manusia Indonesia. Kedua, Konsekwensinya ialah pelayanan publik yang diberikan Negara harus merata. Di beberapa wilayah kami mengalami bagaimana sekolah-sekolah swasta Kristen dipersulit tanpa alasan yang jelas. Ketiga, Tugas menyelenggarakan pendidikan adalah tugas negara yang sering tidak terlepas dari pelbagai hitungan-hitungan politik .Namun tetap diharapkan pendidikan tidak menjadi sekedar ladang politik apalagi dengan justifikasi agama. dunia Pendidikan harus menjadi ranah persemaian manusia-manusia baru Indonesia.
Daftar Acuan:
Barlow, Colin, Ria Gondowarsito, A.T. Birowo, S.K.W. Jayasurya, 1989.Potensi-
potensi Pengembangan Sosial Ekonomi di Nusa tenggara Timur. Canberra;
Australian National University.
Daeng, Hans J., 2000. Manusia, Kebudayaan, dan Lingkungan: Tinjauan Anropologis
Pengantar Dr. Irwan Abdullah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fernandez, Inyo Yos., 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores: Kajian
Linguistik Historis komparatif terhadap Sembilan Bahasa di Flores. Ende: Nusa
Indah.
Fernandez, Stephanus Osias, 1990. Kebijakan Manusia Nusa Tenggara Timur Dulu dan
Kini. Ledalero: Sekolah Tinggi Filsafat Katolik.
Ghono, John, 1992. “Nilai Religius Budaya NTT Sebelum dan Sesudah Masuknya
Pengaruh Kristianitas” Makalah Diskusi Panel Sehari Pelestarian Budaya Lokal.
Yogyakarta: Forum Studi Eureka.
Graham, Penelope, 1985. Issues in Social Strukcture in Eastern Indonesia. New York:
Oxford University.
Keraf, Gregorius, 1978. Morfologi Dialek Lamalera. Disertasi Doktor Ilmu Sastra
Universitas Indonesia. Ende: Percetakan Offset Arnoldus.
Kunst, J., 1942. Music in Flores: A Study of the Vocal and Instrumental Music Among the
Tribes Living in Flores. English Translation by Emile van Loo. Leiden: E. J. Brill.
Mubyarto, dkk., 1991. Etos kerja dan Kohesi Sosial Masyarakat Sumba, Rote, Sabu dan
Timor Propinsi Nusa Tenggara Timur. Yogyakarta: P3PK UGM.
Muskens, M.P.M., 1979. Partner in Nation Building: The Catholic Church in
Indonesia. Aachen: Missio Aktuell Verlag.
Orinbao, Sareng, 1969. Nusa Nipa: Nama Pribumi Nusa Flores Warisan Purba. Ende:
Pertjetakan Arnoldus/Penerbitan Nusa Indah.
Pinto da Franca, Antonio. 2000. Pengaruh Portugis di Indonesia. Diterjemahkan oleh
Pericles Katoppo dari Portuguese Influence in Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan.
Taum, Yoseph Yapi, 1994a. “Intervensi Budaya dalam Pengentasan Kemiskinan” dalam
harian BERNAS, 3 Juni 1994.
Taum, Yoseph Yapi, 1994b. “Sastra dan Bahasa Ritual dalam Tradisi Lisan Masyarakat
Flores Timur” dalam Basis No. XLIII-6. Yogyakarta: Andi Offset.
Taum, Yoseph Yapi, 1997a. Pengantar Teori Sastra: Ekspresivisme, Strukturalisme,
Pascastrukturalisme, Sosiologi, Resepsi. Ende: Nusa Indah.
Taum, Yoseph Yapi, 1997b. Kisah Wato Wele-Lia Nurat dalam Tradisi Puisi Lisan
Masyarakat Flores Timur. Jakarta: Yayasan Obor.
Widiyatmika, Munandjar, dkk., 1981. Adat-istiadat Daerah Nusa Tenggara Timur.
Jakarta: Pusat Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah Depdikbud.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker
im Tropishen Holland oleh S.D. Sjah. Ende: Nusa Indah.
Kunst, J., 1942. Music in Flores: A Study of the Vocal and Instrumental Music Among the Tribes Living in Flores. English Translation by Emile van Loo. Leiden: E. J. Brill.
Vatter, Ernst, 1984. Ata Kiwan. Diterjemahkan dari Ata Kiwan Unbekannte Bergvolker im Tropishen Holland oleh S.D. Sjah. Ende: Nusa Indah.
Berdasarkan Daftar Acuan Tersebut diatas, Untuk itu Saya Sampaikan Bahwa;
Makalah Ini Disusun Oleh;
Nama : Florensius Sumarlin Bato
Mahasiswa : Universitas Bung Karno
Jurusan : Fakultas Hukum
NIP : 2101070064