Cover film A Copy of My Min
Eklektisisme dalam mencari formula “going gaga”
Oleh: Mikael Johani
Di awal tahun 2000-an, salah satu kata yang paling sering dipakai anak gaul Jakarta untuk mendefinisikan diri sendiri adalah “eklektik”. Segalanya serba eklektik: set DJ, gaya bermusik, gaya berpakaian, ideologi. Jika masih bingung dengan identitas, panggil saja diri “eklektik.”
Anak gaul Jakarta tak pernah setia dengan patois mereka sendiri, tapi sejak era itu Joko Anwar masih bertahan menjadi salah satu sutradara komersil Indonesia yang paling eklektik dalam soal gaya, paling sering bereksperimen dengan bentuk, genre, bahkan disiplin karyanya: setelah mengawali karirnya di industri film mainstream Indonesia dengan menulis skenario film satir ringan Arisan, Joko kemudian menyutradarai film Woody Allen-lite Janji Joni, film pseudo-noir Kala, film gothic-psycho-thriller Pintu Terlarang, kemudian drama keluarga-gore Modus Anomali. Ia juga sempat menulis skenario lagi untuk film komedi Quickie Express, film drama fiksi., dan adaptasi bebas kitab esek-esek Moammar Emka, Jakarta Undercover, yang ia gubah menjadi film kejar-kejaran dengan judul sama yang mungkin bisa diberi judul alternatif Run Luna Maya Run. Keeklektikan Joko juga melebar ke luar film: bikin musikal off-off-off Broadway Onrop!, serial TV horor fantasi Halfworlds, dan jadi vokalis superband Mantra yang dimotori Stephen Malkmus, eh, Zeke Khaseli.
Keeklektikan, karena ia konsisten menjaganya, mungkin memang sudah jadi identitas Joko. Sebagai anak yang dibesarkan oleh Orba kemudian diberi kesempatan oleh sejarah untuk menikmati gegar kebebasan reformasi ’98, ia sepertinya cukup bahagia cap-cip-cup kembang kuncup memilih berbagai macam bentuk karya untuk mengekspresikan ka-auteur-annya. Selain itu, keeklektikan ini mungkin didasari hasratnya untuk menemukan formula film komersil yang bisa membuat penonton Indonesia “going gaga”.
Joko Anwar vs. @jokoanwar
Dalam hal tema, ada beberapa benang merah yang meyambungkan karya-karya Joko selama ini, salah satunya adalah kritik sosial yang dilancarkan dengan membuat mise-èn-scene yang menggambarkan Indonesia sebagai tempat antah-berantah kelam-mencekam (noir?) di mana satu-satunya hukum yang berlaku adalah hukum rimba, yang wong ciliknya berharap sia-sia akan datangnya seorang Ratu Adil—dan begitu datang ternyata ia seorang Rice Queen (satu lagi benang merah film-film Joko adalah gay subtext yang menjadi kritiknya terhadap moralitas yang kelewat heteronormatif di Indonesia seperti bisa dilihat di Kala; atau dengan menunjukkan skeptisisme terhadap kebahagiaan ala keluarga sakinah mawaddah wassalam khas Indonesia (Pintu Terlarang); atau sekalian mempreskripsikan final solution buat keluarga kelas menengah ngehek macam itu (Modus Anomali).
Selain dalam film dan opera musikal, kritik sosial Joko menemukan outletnya yang paling maksimal di media sosial. Sebagai @jokoanwar, selebtwit dengan pengikut 911 ribu (per 23 Februari 2016), ia gemar melancarkan kritiknya dengan lebih literal. Indoprogress mungkin akan mendefinisikan aliran politik @jokoanwar sebagai “liberal tua”, sehingga tidak mengherankan jika pada pilpres 2014 kemarin ia sempat mejadi relawan konser Salam Dua Jari Jokowi.
Setelah Modus Anomali, yang menunjukkan kemarahan luar biasa terhadap konsep nuclear family dan masyarakat yang mempromosikan konsep tersebut—hingga settingnya pun digubah bukan hanya menjadi tempat berhukum rimba tapi rimba beneran yang memangsa nuclear family tadi!—ada satu pertanyaan penting yang timbul buat Joko: ideologi pursuit of happiness macam apa yang ia tawarkan, yang ia percayai? Kritiknya terhadap konsep kebahagiaan orang lain sudah mencapai titik jenuh—apakah kemudian raison d’être-nya sebagai seorang sutradara? Atau ia lebih nyaman mengkritisi dan menyinyiri semuanya saja? Itu pilihan berkreasi yang sah-sah saja tentu, tapi jika Lenin (dan Godard) benar, bahwa “ethics are the esthetics of the future”, ethics macam apa yang didambakan Joko Anwar si auteur (bukan @jokoanawar si selebtwit) untuk kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI harga nego ini?
Deus ex Machina
Mungkin Joko sendiri sadar dengan dilema di atas, sehingga A Copy of My Mind menjadi karya pertamanya yang bukan cuma mengolok-ngolok dan mengkritisi moralitas masyarakat Indonesia—terutama materialisme Jakarta yang melumpuhkan—namun juga menawarkan resep untuk mencuri-curi kebahagiaan di antara himpitan poleksosbudhankam kota jahanam ini.
Alek si “pekerja teks DVD bajakan komersil” (apologies to Adrian Jonathan Pasaribu, yang pernah memakai “pekerja teks komersil” sebagai profil Twitternya) dan Sari si mbak-mbak facial adalah potret template kaum lumpenproletariat yang tidak akan pernah berhasil naik kelas sekeras apapun mereka kerja, kerja, kerja. Seorang tante garang makelar koruptor pelanggan facial Sari yang tinggal di sebuah penjara harga bintang lima, rasa bintang lima pun memvonisnya: “Hidupmu itu sama kayak polisi-polisi itu, susaaah!” Sementara itu, Alek yang memilih tidak ber-KTP, tidak ber-SIM, tidak ber-HP—mungkin sebuah usaha agar dirinya tidak menjadi sekedar angka statistik—akhirnya malah dihapus sama sekali dari sejarah Jakarta oleh tangan-tangan hitam dunia politik dagang apel yang panik tertangkap basah.
Namun sebelum nasib akhirnya mengubur harapan-harapan Sari dan Alek, mereka masih sempat menikmati saat-saat nikmat keringetan di kos, menyatu dalam adegan-adegan seks yang saru sekaligus seru, atau sekedar keringetan bangun kesiangan masih pelukan. Bahagia itu sederhana, kata hashtag, dan di momen-momen seperti ini, kita hampir mempercayainya sebagai kebenaran.
Kisah Sari dan Alek dituturkan dalam narasi yang tidak biasa bagi Joko: hampir tidak ada yang terjadi selama hampir tiga perempat film, selain cinta di antara mereka berdua yang tumbuh secepat keping-keping DVD memenuhi dinding kamar kos Alek (proyek Alek yang terhenti karena malas dan baru dilanjutkan setelah Sari berjanji membantunya). Sementara film-film Joko sebelum ini selalu dipenuhi aksi sejak babak pertama.
Seakan-akan Joko sadar bahwa tema filmnya kali ini lain dibandingkan film-filmnya sebelumnya, lebih personal, sehingga memerlukan treatment yang berbeda pula, yang lebih menunjukkan visi personalnya sebagai auteur dan tidak cuma fokus berusaha membuat penonton “going gaga”. Atau mungkin juga keinginan menawarkan resep untuk kebahagiaan ala Joko Anwar, bukan cuma menawarkan sebuah list errata atas konsep kebahagiaan orang lain seperti kebiasaannya sebelum film ini—sebuah langkah di luar kebiasaan—secara natural diikuti dengan rasa penasaran untuk mencoba cara bertutur yang lain. Membiarkan tidak ada yang terjadi dalam filmnya mungkin biasa buat Béla Tarr, tapi luar biasa buat Joko Anwar.
Sayangnya, sepertinya tidak mudah bagi Joko untuk keluar dari kebiasannya menggunakan bahasa film komersil yang selama ini digunakannya. Mungkin selain ingin penonton merenung setelah nonton A Copy of My Mind, ia juga masih ingin mereka “going gaga”. Tidak cukup tangan-tangan hitam dunia politik merecoki pedekate Sari dan Alek, tangan tuhan pun ikutan. Dalam sebuah insiden deus ex machina yang pasti akan ditolak auteur Dogma (begitu kebetulannya insiden ini, jadi tergoda untuk menyebutnya deus ex Maxima Pictures), kisah cinta Sari dan Alek karya Joko Anwar tiba-tiba banting setir menjadi kritik politik ala @jokoanwar. Adegan-adegan yang unik dan membumi (bercinta sambil nonton bokep gay, ngobrol ngalor-ngidul tentang cita-cita (Sari punya, Alek tak punya), ngobrol tentang jenis-jenis DVD bajakan sebagai metafora kehidupan) digantikan oleh metafora-metafora visual klise tentang negara yang tidak mau menegakkan hukum saat hukum itu rubuh diperkosa kuasa (Sari berjalan dekat polisi di tengah-tengah kampanye pilpres setelah Alek dihilangkan, Sari membayangkan udara Glodok yang panas menjelma menjadi dada bidang Alek yang hangat, Sari kembali kerja, kerja, kerja di salon lamanya yang hanya menjanjikan makro demabrasi bagi nasibnya yang terlanjur carut-marut).
Sindiran-sindiran sosial yang tadinya hanya sedikit mengganggu di awal-awal film, sekarang jadi terasa maksa dan salah tempat. Misalnya, adzan subuh yang dijukstaposisikan dengan adegan coli—sindiran tentang kemunafikan kaum hiper relijius yang mengundang reaksi yaelaaah, yaiyalah. Sayang, karena sebenarnya adzan subuh dalam film ini sudah punya peran yang lebih menarik dan tidak klise: menjadi alarm bangun pagi buat Sari—bukan pengingat lebih baik solat daripada tidur tapi lebih baik bangun subuh daripada tidak kebagian antrian mandi di kosan. Suara adzan dari loudspeaker yang sering dikomplain mengganggu digambarkan menjadi sesuatu yang telah menjadi banal, fungsional, dan hanya berperan meningkatkan produktivitas kerja, kerja, kerja. Ini justru sindiran yang lebih radikal sebenarnya, adzan subuh sebagai Apple Watch purbakala!
Bahasa yang menempel dan politik yang tempelan
Bahasa film yang komersil sepertinya juga membuat Joko tidak bisa tidak menambahkan adegan-adegan yang tidak perlu hanya karena narasinya memang harus sesuai standar piramida Freytag: exposition-climax-dénouement. Contoh yang paling baik untuk ini adalah scene Sari striptease di kamar Alek yang dilistrikkan jadi sebuah disko, yang menjadi klimaks selesainya proyek mereka menghiasi dinding dengan keping-keping DVD sekaligus klimaks mekarnya cinta di antara mereka berdua. Scene ini jadi terasa mengada-ada karena harus ada saja, karena diwajibkan oleh plot dan bahasa film yang setia mengikuti pola piramida Freytag. Tidak ada keterangan lebih dalam tentang karakter Sari sebelumnya yang bisa mengindikasikan bahwa di balik mesam-mesem alaynya ia sebenarnya adalah seekor kupu-kupu siang malam yang sudah tidak sabar menunggu lepas dari persahabatan bagai kepompong dan ingin segera asyik-keluar-masuk dalam percintaan sampai dengkul kopong. Justru Sari terlihat lebih tertarik dengan koleksi DVD Alek daripada koleksi otot di bicepnya. Waktu bercinta dengan Alek pun ia selalu lupa mencopot behanya!
Nasib yang sama terjadi pada kritik politik yang dilancarkan film ini sejak insiden deus ex Maxima tadi. Selain tempatnya mungkin lebih tepat dalam sebuah kultwit @jokoanwar berhashtag #politikitumunafik #bahagiatidaksederhana #keringetandikos #negaragagal, kritik ini juga harus dipanjang-panjangkan untuk mencapai dénouement-nya sendiri. Alek harus dihilangkan dan si pembunuh berkeringat dingin yang dibayar menghilangkannya harus dengan klise dan dalam ironi yang dipaksakan ngobrol-ngobrol sok sersan tentang masalah sejuta umat honor kecil nggak bisa nabung belum bisa beli rumah, sementara Alek terkapar tak berdaya mungkin juga tak bernyawa di dekat kakinya. Sepertinya, poin bahwa Jakarta kejam tiada tara terhadap kroco-kroco lumpenproletariatnya sudah ditegaskan berkali-kali, tidak perlu lagi diulang dalam adegan-adegan sadis-ironis ala Joko Anwar. Atau mungkin itu poinnya, adegan-adegan seperti itu harus ada karena ini masih film Joko Anwar, yang harus mengandung adegan-adegan sadis-ironis ala Joko Anwar. Tapi itu justru membuat kritik politik dalam film ini jadi terkesan lebay—karena yang diomongkan sebenarnya tidak lebih dalam daripada politik itu munafik dan menyiksa wong cilik, tapi dinyatakan berulang-ulang, dan bahkan di akhir film seperti telah menyisihkan sama sekali kisah romantis-tragis tentang koneksi personal antara Alek dan Sari yang sebenarnya mengharukan. Karena porsinya yang terlalu besar sementara kemunculannya begitu mengejutkan, kritik politik dalam film ini terkesan seperti sekedar tempelan, mungkin untuk menambah bobot kisah romansa yang takutnya dianggap terlalu 4LAy. Kenapa harus drama? Kenapa tidak?
Diskrepansi tema dan bahasa
Dalam sebuah percakapan di awal pedekate Alek dan Sari, Alek mewanti-wanti Sari si maniak DVD agar jangan membeli DVD bajakan yang berlabel “Combo Format”, karena DVD yang berlabel itu pasti hasil kopian dari kopian dari kopian yang kesekian, sehingga gambarnya pasti jelek. Adegan ini bisa menjadi metafora bagi keengganan Sari dan Alek menjadi sekedar manusia-manusia combo format, sekedar copy dari ratusan juta manusia Indonesia lain yang hidupnya cepat atau lambat akan jadi makin kabur sebelum akhirnya hilang tanpa meninggalkan bekas, atau, bisa juga menjadi metafora kebelumberhasilan Joko (sampai di titik ini) untuk meninggalkan bahasa film komersilnya yang lama dan menciptakan bahasa baru yang lebih personal, lebih auteur.
Jika “my” dalam A Copy of My Mind diinterpretasikan sebagai “Joko’s”, maka ternyata kepalanya masih mengandung banyak residu-residu bahasa film komersil, yang selalu berusaha, kadang terlalu keras, membuat penonton “going gaga”. Padahal ternyata bahasa seperti itu kurang cocok untuk menarasikan kisah romantis-tragis tentang mencuri-curi kebahagiaan sesaat di antara siksaan kesepian, keringetan, dan kemiskinan. Kisah tentang mereka yang dilumpuhkan, yang sudah penuh drama, ternyata tidak sesuai didongengkan dengan bahasa yang strukturnya dirancang untuk merekayasa melodrama. Film ini tidak sepenuhnya gagal menceritakan kisah manusia-manusia gagal, tapi ada diskrepansi yang signifikan di antara temanya yang personal dan bahasanya yang komersil—yang sering memaksakan yang personal menjadi politikal, dan yang politikal menjadi personal.
Naik kelas memang tidak gampang.