Logo

Logo
Latest News
Wednesday, June 5, 2019

Akhir Kolonialisme Belanda dan Jalan Indonesia Menuju Bangsa Merdeka

Dwitunggal, Moh Hatta dan Soekarno. (Foto: Istimewa)


Gerakan kemerdekaan datang dalam berbagai bentuk dan ukuran di berbagai belahan dunia. Di Asia Tenggara, kemerdekaan Indonesia diprakarsai oleh apa yang dijuluki dengan Dwitunggal. Tulisan kali ini menjelaskan gerakan anti-kolonial dan pencarian kemerdekaan di Indonesia pasca-Perang Dunia II dari sudut pandang situs sejarah di Amerika Serikat. 


Sumber: matamatapolitik


Gagasan nasionalisme Indonesia mulai berlaku pada awal abad ke-20. Hal itu bahkan mengikuti pola yang dilalui oleh banyak gerakan anti-kolonial, di mana kaum intelektual didikan Eropa mulai mengidamkan kebebasan politik. Gejolak ini menghasilkan dua tokoh penting yang akan mengantarkan kelahiran Indonesia: Mohammad Hatta yang intelektual, yang lebih berpandangan dan berperilaku ala orang Belanda dan bukannya seperti orang Jawa, dan Sukarno, yang latar belakangnya sebagai seorang insinyur hampir tidak mempersiapkannya untuk berkarier sebagai pemberontak profesional.

Bersama-sama mereka berdua membentuk kemitraan yang menarik, seorang ideolog dan seorang tokoh yang mengutamakan aksi. Keduanya dikenal sebagai sang Dwitunggal yang memimpin kendaraan yang kuat untuk ide-ide mereka: Partai Nasional Indonesia (PNI).

Invasi tiba-tiba Jepang di Asia Tenggara tahun 1941 telah menggulingkan pemerintah kolonial Belanda di Batavia (Jakarta sekarang). Selingan singkat ini, lengkap dengan kondisi kerja paksa yang keras, jelas menggembirakan kaum nasionalis di Jawa. Sukarno sendiri, yang sudah lama akrab dengan hukuman penjara yang dijatuhkan oleh pemerintah kolonial Belanda, dibebaskan oleh Jepang.

Pada gilirannya Sukarno tidak ragu untuk meminta bantuan dari penjajah negaranya. Kedekatannya dengan Jepang meluas ke ranah pribadi. Salah satu istri Sukarno ialah wanita Jepang.

Para revolusioner yang menuntut kemerdekaan Indonesia di tahun 1946. (Foto: Tropenmuseum/National Museum of World Cultures)


JALAN MENUJU KEMERDEKAAN

Menjelang akhir tahun 1945, dengan Pasukan Kekaisaran Jepang telah menyerah dan siap untuk demobilisasi, kaum nasionalis dan sekutu mereka, yang terlatih melalui peperangan gerilya bertahun-tahun, siap untuk merebut kembali Jawa. PNI pun bangkit dan dengan restu Jepang, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945.

Tetapi yang terjadi selanjutnya Belanda segera menyerang balik. Militer Belanda yang terdiri dari para anggota muda yang dipersenjatai dengan pasukan Sekutu sejumlah 120.000 tentara dikirim ke Hindia Belanda untuk meluncurkan Agresi Belanda I terhadap negara baru Indonesia. Kegiatan mereka mencakup pemenjaraan dan pembantaian terhadap para pejuang kemerdekaan.

Catatan sejarah “revolusi nasional” Indonesia masih buram. Fakta-fakta yang tersedia membentuk garis besar yang kurang warna dan drama. Pertarungan yang paling kritis, misalnya, adalah episode janggal di kota Surabaya di mana Inggris, bukan Belanda, yang berupaya mengalahkan gerilyawan lokal yang telah merebut kembali kota metropolitan tersebut.

Karena kegigihan republik muda Indonesia mempertahankan kemerdekaan, kebuntuan segera terjadi antara tentara Belanda dan Inggris yang berpangkalan di kota-kota besar, sementara pejuang kemerdekaan memimpin pemerintahan bebas di kawasan pedesaan. Nasib Madiun, di Jawa Timur, menarik karena jatuh ke tangan komunis garis keras yang kemudian dihancurkan bukan oleh Belanda tetapi oleh pasukan Indonesia itu sendiri. Di Jawa Barat, sebuah pemberontakan terpisah di bawah kedok Darul Islam berusaha untuk melakukan jihad dan membangun sebuah teokrasi besar yang bertahan selama dua dekade.

Bahkan Jepang turut berperan dalam konflik mempertahankan kemerdekaan di Indonesia. Dengan pasukan besar yang tersangkut di Jawa, para perwira Pasukan Kekaisaran Jepang dengan sukarela meminjamkan senjata dan peralatan kepada perlawanan Indonesia sebelum kembali ke Jepang. Tindakan ini dilakukan persis ketika Inggris mengandalkan pasukan Jepang untuk mengamankan koloni Indonesia yang tengah bergolak.

MUNCULNYA PEMIMPIN BARU

Revolusi Sukarno bukanlah revolusi yang luar biasa. Berbagai revolusi lainnya turut merobek-robek dominasi bangsa-bangsa Eropa yang kian melemah di berbagai wilayah asing, misalnya Inggris di Palestina, Prancis di Vietnam dan Aljazair, hingga Belgia di Kongo mereka yang berharga. Perang Dunia II mungkin telah menyelamatkan peradaban Barat, tetapi memicu letusan revolusi kecil di antara negara-negara yang menderita di bawah kolonialisme.

Perang Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan tidak pernah memiliki momen ala pertempuran Dien Bien Phu sendiri seperti dalam Perang Indochina Pertama, di mana keteguhan dan keberanian lokal menang atas keangkuhan Eropa. Meski demikian, perang kemerdekaan di Indonesia bukannya sama sekali tidak berdarah. Perang kemerdekaan Indonesia telah menewaskan lebih dari 100.000 pejuang pribumi dan sekian ribu pasukan Belanda bersama dengan setidaknya seribu tentara Inggris dan India yang mati.

Alih-alih Sukarno dan PNI yang menang tanpa keraguan, justru PBB yang akhirnya mengakui dan kemudian memulihkan kembali kemerdekaan Indonesia tanggal 27 Desember 1949. Belanda menyetujui ketetapan PBB tersebut karena ekonomi mereka yang terpukul dan memutuskan menarik pasukan mereka. Namun, alih-alih mengantarkan perdamaian, kebangkitan negara Indonesia memungkinkan munculnya diktator baru.

Meskipun fiksasi awal pada demokrasi parlementer tahun 1950-an, Sukarno akhirnya mengarahkan PNI menuju “demokrasi terpimpin,” yang benar-benar hanya istilah bagi kediktatoran seumur hidup. Dengan mengerahkan pasukan yang kuat, dorongan cepat untuk mencaplok Kalimantan memicu konfrontasi dengan Inggris. Provokasi yang diarahkan terhadap Singapura dan invasi terpisah atas Sulawesi dan Papua Barat meningkatkan reputasi Indonesia sebagai negara yang seakan gemar memicu konflik dengan para tetangganya.

Presiden Indonesia Suharto, memerintah Indonesia selama 32 tahun. (Foto: The Associated Press)


Ketika Sukarno condong ke arah poros Peking dan Moskow, Sukarno bermimpi mendirikan negara super di Asia Tenggara. Hal ni memaksa kampanye panjang Amerika Serikat untuk menggulingkannya, dimulai dengan invasi rahasia yang gagal tahun 1958 dan kudeta penuh Partai Komunis Indonesia (PKI) tahun 1965 yang mengantarkan era Orde Baru Suharto dan penumpasan mengerikan terhadap simpatisan komunis di Indonesia.

Satu-satunya hal yang membatasi kecenderungan agresif Indonesia tersebut adalah ketika lima menteri dari Indonesia, Singapura, Malaysia, Filipina, dan Thailand berkumpul di ibu kota Thailand, Bangkok, tanggal 8 Agustus 1967 dan sepakat di atas kertas untuk mendirikan serikat informal Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN). Gagasan itu datang dari Menteri Luar Negeri Indonesia Adam Malik, yang kelak melanjutkan karier diplomatiknya yang cemerlang.

Lima puluh tahun kemudian ASEAN masih terus berkembang pesat, meskipun masih tidak nyaman dengan tantangan dari apa yang dianggap oleh Dunia Pertama sebagai “pembangunan.”

Indonesia telah membayar mahal untuk kemerdekaan dan menderita dengan darah. Setelah mencapai demokrasi sejati, sangatlah menarik untuk memikirkan apakah Indonesia ditakdirkan untuk menjadi raksasa regional yang tak tertandingi. Bisakah mimpi Sukarno terwujud nyata?

************
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Akhir Kolonialisme Belanda dan Jalan Indonesia Menuju Bangsa Merdeka Rating: 5 Reviewed By: Trias Politika