Lukman Njoto
Oleh Marlin Bato
Setelah memuat resensi buku berjudul Musso si merah di simpang republik, kali ini saya meringkas kisah pelik tokoh kiri yang tak banyak disebut dalam perjalanan sejarah bangsa. Buku ini diterbitkan tempo dalam serial orang-orang kiri Indonesia.
Njoto adalah sapaan akrab dari Lukman-Njoto. Ia lahir dari keluarga ningrat Solo. Penyuka segala jenis alat musik ini terkenal ramah dan cerdas. Karakter pemimpin diturunkan dari ayahnya bernama Raden Sosro. Njoto kecil gemar berolahraga sepatu roda dan menari. Namun bakat menulisnya sangat menonjol sejak sekolah di MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwis) semacam sekolah menengah pertama.
Beranjak belia, Njoto mulai akrab dengan Karl Max, Lenin dan Stalin. Tak heran ia gemar menyantap buku-buku tokoh revolusioner. Periode ini ia mulai berkenalan dengan Aidit dan M.H Lukman. Ia berubah menjadi aktivis pergerakan mengikuti jejak ayahnya yang gencar melawan Belanda pada usia 16 tahun. Ditengah api revolusi yang membara, Pria yang lahir 17 Januari 1927 ini hijrah ke Surabaya dan menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) setelah kematian ayahnya yang dibunuh penjajah Belanda.
Saat itu, pemimpin PKI Sardjono eks digulis (mantan tahanan Bovedigoel) memindahkan kantor pusat PKI di Jogyakarta. Berkat bimbingan Alimin, Aidit yang baru pulang dari Uni Soviet menjadi anggota Comite Central dalam kongres PKI pada Januari 1947. Sejak saat itu, Aidit, Lukman dan Njoto menjadi akrab. Saat kongres di Malang, Aidit terpilih menjadi Ketua Fraksi PKI, sementara Njoto memimpin Badan Pekerja KNIP. Sebuah foto Njoto berpidato di Malang terpampang di sebuah koran. Njoto, Aidit dan Lukman kemudian masuk Komisi Penerjemah PKI pada awal 1948 sehingga ditahun yang sama, tiga serangkai ini menjadi anggota Comite Central PKI.
19 September 1948 peristiwa Madiun pecah. Partai PKI tercerai berai. Aidit, Lukman dan Njoto bagaikan The Three Musketeers. Mereka muncul sebagai tulang punggung partai dan sukses menghidupkan serta membesarkan partai. Ketiganya kemudian dijuluki trisula PKI. Tiga tokoh ini berhasil menggeser tokoh-tokoh sepuh seperti Tan Lieng Djie, Alimin, Wikana dan Ngadiman Hardjosubroto serta mengambil alih kepemimpinan partai. Terbunuhnya banyak kader PKI akibat peristiwa Madiun membuat tiga tokoh ini menjadi mandiri. Mereka menjadi independen karena tak punya lagi tempat bertanya.
Menjelang 1949 ketiganya hijrah ke Jakarta. Diam-diam memperluas jaringan PKI di Jakarta hingga tingkat Onder Seksi Comite di tingkat kecamatan.
Dalam situasi yang serba sulit akibat peristiwa Madiun, Aidit dan Lukman nekat menerbitkan koran Bintang Merah pada 15 Agustus 1950. Njoto bergabung setahun kemudian. Dua minggu sekali mereka meluncurkan stensilan Suara Rakyat embrio Harian Rakyat sebanyak 55 ribu oplah perhari.
Dua tahun kemudian tiga serangkai ini memimpin partai. Aidit menjadi Sekretaris Jenderal, Lukman Wakil Sekjen I, dan Njoto Wakil Sekjen II. Jabatan ini diganti menjadi Ketua dan Wakil Ketua pada 1959. Usia mereka saat itu jauh lebih muda dari pimpinan partai di Indonesia, bahkan setengah usia dari pemimpin partai Komunis negara lain. Bambang Sindhu, dalam Harian Minggu terbitan Mei 1954 menulis, keadaanlah yang menghendaki tenaga-tenaga muda militan tampil kepermukaan. "Orang-orang tua, pemimpin tua, biarlah disamping saja, bila perlu malah ditinggal di belakang", tulis Bambang.
Ketiga tokoh muda ini berbagi tugas. Aidit bertanggung jawab terhadap politik secara umum. Lukman memimpin Front Persatuan, sedangkan Njoto mengurus Agitasi dan Propaganda. Lewat Harian Rakyat dan majalah teori Bintang Merah, Njoto menghajar lawan-lawan politiknya. Sementara, lewat kolom catatan seorang publisis di Harian Rakyat Njoto tampil lebih lembut dan sastrawasi dengan nama pena Iramani, sebuah nama yang diambil dari adik bungsunya.
Salah satu polemik paling keras pernah terjadi antara "Harian Rakyat" dan "Merdeka" pada Juni hingga Juli 1964. Harian Rakyat memuat tulisan panjang bertajuk "Merdeka Sudah Jelas Sekali Membela Tuan Tana". Lewat tulisan itu, Harian Rakyat menangkis tudingan koran Merdeka yang menganggapnya "Kaum Rebelli". Silat pena ini baru berakhir setelah Jaksa Agung Soeprapto turun tangan. Usaha tiga sahabat ini berbuah. Pemilu pertama tahun 1955 partai PKI menempati urutan keempat. Persahabatan ketiganya terus berlanjut.
Jakarta, meskipun secara geografis sangat kecil namun menyimpan banyak misteri. 30 September 1965 peristiwa G30S pecah. Enam Jenderal dikabarkan diculik dan dibunuh. PKI dituduh sebagai dalang dari peristiwa geger itu. Begitu gegernya peristiwa itu sampai rakyat Indonesia terutama yang di lapisan underground tidak menyadari perjalanan sejarah bangsa akan berubah saking “gelap”-nya, dipenuhi berbagai praktik kotor yang menimbulkan dilema moral yang berat.
Kisah Njoto ini menarik. Diakhir masa keemasanya, Njoto Begitu dekat dengan Soekarno. Dia mengagumi sosok Soekarno. Keduanya punya irisan karir, karakter dan kesukaan yang sama. Dia Flamboyan, ahli memainkan hampir semua jenis alat musik sekaligus orator ulung. Njoto pencetus istilah Soekarnoisme. Istilah tersebut dilontarkan dalam sebuah pidato di Palembang pada 4 April 1964. Istilah ini sempat dilarang. Njoto dianggap berkhianat dengan membuat istilah baru dalam wacana ideologi. Sebab, bagaimanapun asas PKI adalah Marxisme dan Leninmisme. Gara-gara istilah ini, Aidit, sahabat karib seperjuanganya mendepaknya dari posisi penting partai PKI. Njoto juga ditengarai memiliki hubungan gelap dengan Rita, perempuan Rusia yang dicurigai sebagai agen Kong Guan Biskuit (KGB) sebuah sandi untuk menyebut agen mata-mata Rusia.
Namun Soekarno justru memilih Njoto jadi menteri negara sekaligus penulis naskah pidatonya. Njoto adalah andalan Soekarno untuk menulis pidato-pidato revolusi yang membakar. Soekarno merasa pemikirannya cocok dengan Njoto yang marxis progresif. Meskipun berhaluan marxis, namun Njoto tidak memusuhi kapitalis. Njoto kerap terlihat dalam pesta-pesta lenso. Dia tokoh paling mencorong. Sama seperti Soekarno, Njoto juga menguasai beberapa bahasa asing. Bahkan kerap melanglang buana ke beberapa negara seperti Uni Soviet dan RRC. Dia juga penerjemah Marxisme mumpuni. Karena itulah, Soekarno menjuluki Njoto "Marhaenis Sejati".
Pasca peristiwa G30S, nama Njoto mulai meredup. Ia diburu orde baru layaknya aktivis-aktivis komunis lainnya. Hal ini menandai akhir masa keemasan Partai Komunis Indonesia. Njoto menghilang tanpa jejak nisan. Istri dan Anaknya tercerai berai, bahkan hidup berpindah-pindah. Soetarni, istri Njoto bahkan sempat mengenyam dinginnya jeruji besi selama sebelas tahun oleh rezim orde baru kala itu. Sementara Njoto tak pernah kembali lagi.
Buku ini terdiri dari 108 halaman. Ada lima tema cerita terpisah yang ditulis dengan beberapa sub tema oleh penulis diantaranya;
1. Penulis Saksofon Ditengah Prahara
- Saat Lek Njot Bersepatu Roda
- Revolusi Tiga Serangkai
2. Yang Tersisih Dari Riak Samudra
- Jalan Curam Skandal Asmara
- Soekarnoisme dan Perempuan Rusia
- Merahnya HR (Harian Rakyat), Merahnya Lekra
3. Yang Sama-Samar Diakhir Hayat
- Rahasia Tiga Dasawarsa
- Karena Janji Setia
4. Puisi Pamflet Sang Ideolog
- Kalau Sayang, Aturan Dilangkahi
5. Kolom
- Politibiro PKI, Njoto dan G30S
Para jurnalis tempo merangkai lima bagian tema itu menjadi kesatuan rahasia gelap cerita sejarah. Wartawan Tempo, yang sejak era orde baru paling kritis dan berani, mengungkap alur cerita orang-orang kiri Indonesia serta pernak-pernik operasi bawah tanah menggunakan metode jurnalisme kepiting; "Berjalan hati-hati dipantai, maju selangkah untuk kemudian mundur jika capit mengenai kaki". Namun Tempo tak pernah surut meski liputan berpotensi kontroversi. Premisnya sederhana; Tempo sengaja menulis seri orang-orang kiri Indonesia ketika tak banyak media menulis tentang peran tokoh-tokoh PKI dalam malapetaka 1965.
Kegelisahan Goenawan Mohamad, seorang redaktur senior Tempo akan hilangnya sejarah menemui secercah harapan. Lewat jurnalisme kepiting para wartawan investigasi Tempo berhasil mengangkat satu-persatu bayang-bayang kelam masa lalu yang layak diketahui publik.
Bayangan kelam, daya tarik, dinamika, ketegangan, sekaligus pencerahan yang dibangun tempo dengan suguhan materi dan kaya narasumber sangat menggairahkan pembaca. Para jurnalis tempo sangat fokus mendalami dan mengeksplorasi cerita spesifik untold stories dari dunia bawah tanah, serta menyuguhkan dramatisasi serpihan-serpihan berita atau gosip yang hampir tak pernah terdengar, sekaligus menyuguhkan dilema-dilema moral hitam-putih yang dihadapi para tokoh sejarah revolusi.
Tempo mampu pemaparan latar belakang, pendalaman karakter, dan penggambaran motif yang melatari tindakan-tindakan para tokoh. Kekuatan karakter dan kejelasan motif merupakan fondasi utama sebuah narasi tentang moral dan api revolusi yang dibangun para pelaku sejarah. Selamat berkarya para jurnalis kepiting. Ruang pembaca senantiasa menanti karya-karya spektakuler lainnya.
******