(Resensi: Rahasia Pengakuan Selibat)
Karya Gusti Adi Tetiro
Karya Gusti Adi Tetiro
Oleh Marlin Bato
Jakarta, 8 November 2015
"Keragu-raguan adalah sebentuk penghormatan terhadap kebenaran. Mungkin ungkapan Ernst Renan ini sangat sepadan disematkan pada mukadimah resensi ini untuk melukiskan peristiwa perjalanan alur kisah selibat".
Setelah menerbitkan Cinta Sang Pialang, Gusti Adi Tetiro kembali meluncurkan novel berjudul "Rahasia Pengakuan Selibat". Pada novel terdahulu, lewat resensi, saya pernah melontarkan kritik tak langsung (halus) terkait ketajaman intuisi, halusinasi dan klimaks bagi pembaca, kali ini Gusti nampak bahkan lebih vulgar tanpa ragu melucuti keintiman seluruh daya nalar menjadi reaktor penggerak imajinasi bagi pembaca. Ini eksplorasi yang berani. Ini adalah poin yang paling ditunggu sang penikmat novel untuk mengisi kisih-kisih kejenuhan ketika menyantap alur kisah yang disuguhkan penulis.
Novel karya Gusti kali ini berbentuk prosa menceritahkan kisah-kisah selibat. Yang paling menarik adalah kisah ini diangkat seperti pengakuan jujur dan ingin meneriakkan kebekuan serta kebisuan gereja atas resistensi kaum klerus dalam menghadapi godaan-godaan kaum hawa. Bahkan tanpa tendeng aling-aling penulis mengumbar rahasia amore [cinta] dalam biara sebagai tempat yang paling hening untuk berziarah menemukan jalan profetik.
Hadirnya novel ini menambah daftar panjang fakta-fakta yang menggurita bahwa tidak selamanya hidup selibat itu tak dapat lagi menemukan sebentuk cinta. Cinta itu akan datang tanpa bisa diduga meskipun kita sudah berusaha berhenti mencarinya, kendati pun kita sadar bahwa hidup selibat bukanlah jenis hidup yang bisa melibatkan cinta. Tetapi takdir selalu mampu mengumpulkan serpihan-serpihan hati sehingga kadang kita pun harus menyerah dengan apa yang telah kita lakoni.
Pada novel ini, penulis seperti ingin berpretensi bahwa hidup sebagai selibat tak otomatis dapat menyempurnakan kebahagiaan batin. Seperti anekdot para sastrawan: "Pada mulanya manusia menciptakan bahasa (sastra). Namun setelah bahasa tercipta, ia tersandera oleh hasil ciptaannya". Anekdot inilah yang cenderung menghantui kehidupan selibat, sebab dengan kelenturan bahasa satra yang dikuasai bukan tidak mungkin kehidupan selibat pun bisa terjebak dalam pelukan kaum hawa.
Novel ini dibumbui kisah cinta dan glamour, sesekali disesapi horison yang luas tentang karier seorang Putria Renata membuat kisah ini semakin complicated. Tetapi skenario yang dibangun Gusti Adi dalam novel ini sungguh membuat denyut berpacu seturut akselerasi hasrat birahi dan terus berdecak mengalun mengikuti alur cerita yang mengalir membuat pembaca menemukan imajinasi liar. Mungkin itulah kalimat yang cocok untuk melukiskan alur kisah yang diarsiteki sang penulis.
Rahasia pengakuan selibat memunculkan banyak hal problematis yang terjadi pada kehidupan calon-calon klerus. Kekuatan gravitasi terbesar dalam novel ini terletak pada gaya bahasa Gusti Adi sehingga ruh novel ini menjadi magnet bagi pembaca. Hebatnya, Gusti mampu mengumpulkan elemen-elemen perasa lalu diramu dengan formula seturut pakem alias template dogmatis dan doktrin agar pembaca melupakan sensasi liar imajinasi dan seolah-olah berkonsentrasi pada nalar cerita. Sub-sub tema dalam novel ini pun tak lupa disesapi panggilan penginjilan. Secara kontekstual Gusti ingin menjelaskan bahwa dalam ziarah kehidupan, setiap peristiwa selalu ada koherensi utuh antara selibat, cinta maupun hasrat badani.
Daftar Isi:
1. Prolog
2. Maria Cleofas
3. Capitulum; Saya menjadi Aku
4. Delastrada Bertanya
5. Guru, Sepatu Darun, Kacung dan Tu[H]an
6. Peristiwa Gembira Pertama
7. Ibu Muda
8. Entah
9. Maya. Juga, Pemuda Tanpa Nama
10. Peristiwa Gembira Kedua
11. Menunggu Mabuk
12. Cleopatra
13. Ciuman
14. Monica
15. Fatima
16. Orang Kristen Anonim
17. Peristiwa Gembira Ketiga
18. Maria Magdalena
19. Maria Tetap Perawan
20. Sisi Lain Diri
21. Cinta Bisa Dipelajari
22. Peristiwa Gembira Keempat
23. Kekasih Filsuf
24. Tirsa
25. Gundik Sang Pastor
26. Simulakra
27. Transeamus
28. Lazarus
29. Cerita Ayah
30. Peristiwa Gembira Kelima
31. Komitmen
32. Epilog
Kesimpulan:
Membaca novel ini, berarti kita sedang meresapi lautan kalimat eufemisme yang meneduhkan. Setiap nalar akan dituntun oleh pengalaman inderawi yang sudah akrab dengan gelombang kehidupan. Racikan karya tulis suguhan Gusti ini dikombinasikan dari berbagai elemen sebagai sumbuh untuk menyulut letupan emosional seperti kehidupan biara dan tradisi heterogenitas metropolitan yang sudah tentu akan memberi varian warna masing-masing arsitek kehidupan.
Dengan ciri dan gaya penulisan yang khas, sudah tentu novel ini dapat menemani ruang hening anda untuk meresapi betapa pentingnya sebuah arti dan pilihan hidup. Novel ini memperlihatkan bahwa manusia bisa saja jatuh atau berubah haluan dari apa yang dicita-citakannya. Tempat, waktu, dan situasi dapat mengubah apa yang pernah dijanjikan seseorang. Novel ini membawa pesan supaya lebih berhati-hati dalam pergaulan atau persahabatan dengan lawan jenis. Walaupun sebuah persahabatan yang dikatakan persahabatan biasa namun hati manusia bukanlah batu cadas yang kokoh. Hati yang paling murni toh terbuat dari daging. Segala sesuatu sering berawal dari yang biasa saja lalu beranjak menuju yang luar biasa. Karenanya berhati-hatilah dan buatlah pertimbangan sematang mungkin sebelum mengambil keputusan.
Semoga para pembaca yang punya jiwa petualang berbondong-bondong ikut merasakan eksplorasi Gusti Adi Tetiro kali ini. Novel seperti ini, barangkali hanya ditulis dalam situasi yang berbeda, tidak hanya sebatas imajinasi tetapi lebih dari itu penulis pasti merasakan dan mempunyai pengalaman-pengalaman yang cukup rumit untuk dapat merangkai karya-karya hebat. Oleh karena itu, saya dapat mengatakan bahwa: Rahasia Pengakuan Selibat adalah sebuah karya yang sangat spektakuler dan layak untuk dikonsumsi publik.
Jika ingin tahu lebih dalam tentang isi novel ini, silahkan kontak Gusti Adi Tetiro di nomor: 082126950440
Tolle et Lege - Ambil dan Bacalah..!!
Terimakasih..