Foto: Cucun Suryana - www.inimaumere.com
Catatan Pinggir: Eltari Memorial Cup 2015
Oleh Marlin Bato,
Jakarta - Sabtu, 14 November 2015
Kompetisi
Eltari Cup 2015 sudah berakhir. PERSAMI Maumere berhasil merebut trofi
juara setelah menaklukan tim PERSE ENDE dengan score tipis 2-1. Dengan
berakhirnya kompetisi tersebut, kini sepak bola NTT sedang mendapatkan
momentum baru. Kesuksesan PSSI NTT melaksanakan agenda dua tahunan
tersebut menimbulkan kegairahan yang luar biasa terhadap turnamen Eltari
Cup NTT.
Tempalah
besi ketika ia masih panas. Setidaknya inilah sebuah anekdot yang patut
diberikan kepada PSSI NTT yang telah sukses menyelenggarakan kompetisi
sepak bola Eltari Cup 2015. Namun prestasi ini harus ditingkatkan lagi
agar dapat membangun sistem pembinaan sepak bola NTT lebih baik lagi.
Momentum ini harus dipakai untuk menghasilkan sebuah kompetisi yang
berkualitas kedepan.
Dengan mengusung tema besar "Sehati sesuara merajut persaudaraan, memupuk kebersamaan meraih prestasi",
Eltari Cup 2015 telah menawarkan sebuah kompetisi yang berbeda. Sebuah
kompetisi penuh gengsi, di mana hasilnya ditentukan oleh kualitas tim
yang bertanding. Siapa yang lebih siap taktik, strategi, teknik, dan
juga fisiknya, dialah yang berhak memenangi pertandingan dan kompetisi.
Kompetisi
yang berkualitas sangat diperlukan karena itulah kunci membangun tim
yang bisa diandalkan. Salah satu penyebab sepak bola NTT terpuruk begitu
lama, karena kita tidak pernah mempunyai kompetisi yang kredibel. Namun
kali ini PSSI NTT mampu menyuguhkan kompetisi dengan baik.
Disaat
sepak bola nasional sudah kehilangan kredibilitasnya, Eltari Cup kini
mulai hadir dengan letupan tema yang berbeda. Dengan mengusung tema
tersebut, Eltari Cup seolah ingin memberi contoh kepada publik nasional
bahwa dalam sepak bola perang urat syaraf itu hal biasa tetapi dalam
kompetisi untuk meraih prestasi sekalipun tidak boleh mengurangi esensi
utamanya yaitu merajut persaudaraan abadi.
Ajang
sepak bola dalam beberapa kasus, banyak direcoki dengan
peristiwa-peristiwa kerusuhan akibat kekalahan tim kesayangan. Tetapi
tidak banyak yang menyadari bahwa sepak bola adalah sebuah ajang
menumbuhkan rasa nasionalisme. Rasa nasionalisme yang paling utama
adalah cinta kepada tanah air, tentu dengan cara yang benar yaitu fair
play dan sportifitas. Sepak bola mampu menyatukan seluruh elemen yang
berbeda kepentingan. Mampu menghadirkan atmosfir, suhu dan tensi yang
beragam demi tujuan bersama, meraih prestasi.
Eltari
Cup kali ini pantas diraih oleh Tim Persami Maumere karena telah
menyuguhkan permainan terbaik sekaligus menampilkan taktik, skill,
strategi, teknik, dan juga fisiknya yang sangat prima. Tetapi tim dan
supporter Perse Ende telah memperlihatkan diri sebagai lawan yang baik
bagi Persami. Kekalahan Perse Ende bukan sebuah petaka tetapi sebuah
harapan baru untuk menata kembali kekurangan-kekurangan. Semua pasti
berduka atas kekalahan ini. Air mata boleh saja meleleh saat menyaksikan
laskar Kelimutu tak mampu menjadi juara. Tapi ada satu hal yang patut
dibanggakan, meskipun kalah laskar kelimutu ternyata masih tetap
berjalan dengan kepala tegak ketika meninggalkan Gelora Samador.
Sportifitas inilah yang jarang diperlihatkan tim manapun termasuk pula
tim yang berlaga dilevel nasional.
Loyalitas
tiada tara juga ditunjukan masing-masing supporter kepada timnya pun
kian mempertajam dewasanya cara mereka mendukung tim kesayangan. Skuad
Kelimutu boleh saja menyerah dari pasukan Persami di dalam lapangan.
Tetapi di pinggir lapangan, para suporter Kelimutu telah mampu
menunjukkan sportifitas mereka yang sebenarnya.
Usai
hiruk-pikuk meredup, ketika stadion mulai lengang dari jejalan penonton
yang hendak pulang, pekik Kelimutu ternyata masih tetap saja terdengar
sayup. Lalu, tersisa pula satu pertanyaan yang tak pernah henti
terngiang. Kapankah pekik lantang dari hati bersih itu bisa benar-benar
mengusik hati para pengurus sepak bola NTT untuk segera berbenah diri
menuju level nasional? Ah, suporter memang selalu memberi bukti untuk
mendukung tim tanpa ada membawa beragam misi dan kepentingan. Sedangkan
yang lain, entahlah!!
Pada
akhirnya saya jadi teringat akan satu cerita yang dikisahkan oleh bapak
Muhammad Rodja tentang kedigdayaan Ende Flores tahun 1950-an. Tentang
dua klub sepak bola yang sangat militan melawan pengaruh kolonial
ditanah Flores. Kedua klub itu dibentuk pemuda pribumi Flores di tanah
Ende dan diberi nama; SORIE - Serikat Olahraga Republik Indonesia Ende, lalu klub yang satunya diberi nama; SAPOE - Siap Pukul Orang Eropa.
Dari sinilah kisah rasa nasionalisme orang Flores kepada NKRI tercipta,
karena Ende pada saat itu merupakan pusat pemerintahan kabupaten
Flores.
RED/GARDANTT