Pagi itu, matahari begitu anggun beranjak menyelinap dari ranjang cakrawala
timur. Sempurna bulat wujudnya menyihir puluhan pasang mata yang
antusias merayakan sunrise di Kawah Kelimutu. Kemolekan momen sunrise Kelimutu
telah menjadi alasan populer para pelancong dari seluruh dunia untuk
rela jauh-jauh menyambangi pesona alam yang terletak di Ende, Flores,
Nusa Tenggara Timur. Seiring cahaya emas surya menggerayangi sekujur
tubuh Kelimutu, rupa tiga warna kawahnya yang ajaib pun mulai terlihat
menjelita.
Sementara itu, John Bulu (36) tampak
cekatan menyiapkan beberapa gelas kopi pesanan para wisatawan.Salah
satunya ialah segelas kopi pesanan saya. Saya pesan kopi tanpa gula
seperti kebiasaan saya setiap pertama kali menikmati kopi-kopi lokal.
John – sapaannya – adalah salah satu dari warga lereng Kelimutu yang
berjualan kopi dan aneka cinderamata khas di Gardu Pandang Tugu
Kelimutu.
“Kopi asli Kelimutu ini adalah kawan sejati menikmati sunrise di Kelimutu” ungkap John seperti sedang promosi.
John menuangkan air panas dari termosnya ke sebuah gelas kecil yang
telah berisi sesendok kopi. Begitu air panas bertemu dengan bubuk
kopi, emmmm.. semerbak bau kopi langsung harum menguar. Saya yang duduk
di dekatnya langsung dimanjakan oleh wangi kopi. Sekeliling tugu
pandang Kelimutu juga lantas terharumi oleh kopi racikannya.
“Pahit sedang cenderung kuat, dengan berasa vanili yang bersemerbak
aroma wangi kopi.” Itulah cita rasa kopi racikan John yang terkecap di
lidah saya. Saya coba duga, hasil sangrai tradisional ala John ini tidak
terlalu gosong, tapi sanggup merata di tiap biji kopinya. Pasti pria
yang sehari-hari juga menjadi sukarelawan penjaga di Kawah Kelimutu ini
punya kiat-kiat khusus untuk membentuk kopi senikmat ini. Saya coba
tanya apa rahasianya, tapi dia enggan menjawabnya.
Baiklah, saya pun tak berlama-lama membiarkan kopi ini lebih banyak
mengharumkan suasana. Saya lekas menghabiskan kopi itu dalam satu teguk.
Seperti minum espresso. Tandasku. Saya punya prinsip, sebuah tempat pantas disematkan luar biasa dan
berkesan mendalam ialah: apabila saya bisa menyeruput kopi sambil
menikmati panorama alam yang menawan. Di situlah sebuah paduan cantik
alam berkelindan manis dengan minuman hitam pekat yang sebegitu
nikmat. Di Kawah Kelimutu, saya jumpai sebegitu pasnya: alam yang indah
dan kopi lokal yang orisinil nan wangi. Nikmat Tuhan mana yang sanggup
terdustakan?
“Kopi ini saya tumbuk langsung kemarin sore. Ditumbuk rasanya lebih
nikmat daripada digiling” sedikit cerita John mengungkap rahasianya.
Kopi John masih segar. Langsung diambil dari kebun John yang terletak
di desa Pomo, Wolowaru, sebuah desa yang asri di lereng Kelimutu. Dia
mengaku, meski tak luas kebunnya, dia bisa mengambil kopinya hampir
setiap hari untuk dikonsumsi dan dijual di Gardu Pandang Tugu Kelimutu.
Baru setelah musim panen tiba, hasil kopinya dijual kepada
pedagang-pedagang di kota Ende. John akan mendapatkan hasil besar saat
panen kopi.
Kopi memang telah lama menjadi salah satu sarana penghidupan warga di
daerah Ende pada khususnya dan Flores pada umumnya. Pada tahun
1914-1915, Pelabuhan Ende saja telah mengekspor kopi sekitar 100 ton
yang dikirimkan pemerintah kolonial Belanda ke Perancis, Amerika,
Singapura, Denmark, Italia, dan tentunya Belanda.
Kopi ini didapatkan dari hinterland Ende, yakni
daerah di lereng Kelimutu dan daerah lain di Pulau Flores seperti Ngada
dan Manggarai. Tanaman kopi mulai gencar ditanam di Flores sejak banyak
perkebunan kopi di Pulau Jawa terserang hama yang mengakibatkan
menurunnya produksi kopi di Hindia Belanda. Sejak itu, kopi mulai
merasuki kehidupan masyarakat Flores sampai memengaruhi aspek ekonomi,
sosial dan budayanya sebegitu kuat.
Seorang turis asing bernama Catherina memesan kopi tanpa gula kepada John. Turis asal Belanda ini sangat menikmati kopi racikan John. “So tasteful” begitulah kesan dia ketika menyeruput minuman hitam pekat ini. Margareth, kawannya, tertarik pula untuk minum kopi bikinan John. Mungkin duo backpacker Belanda ini tak tahu kalau dulu orang-orang dari negerinya lah yang memperkenalkan kopi bisa ditanam di Kelimutu. Tapi, kopi John ini bisa hadir sebagai pencerita dan penyambung sejarah yang sekarang sebegitu besar manfaatnya bagi petani lokal dan penikmat kopi internasional.
“Turis asing lebih suka minum kopi tanpa gula. Turis domestik sukanya
dicampur gula. Kecuali, jarang yang seperti mas, minum kopi tanpa gula.
” ungkap John mengamati perilaku wisatawan yang memesan kopi padanya.
“Kalau Pak John sendiri sukanya minum kopi yang gimana?” saya penasaran
“Senangnya saya racik kopi yang agak manis dengan dicampur jahe. Bisa
buat badan hangat dan segar.” jelasnya sambil tersenyum merekah
Saya pesan satu gelas lagi kepada John. Kali ini saya minta kopi
manis yang dicampur jahe sebagaimana favorit John. Katanya, kopi ini
lebih menyegarkan badan. Sembari duduk dan menyeruput kopi, saya jadi
teringat semasa SD dulu tentang uang pecahan 5 ribu rupiah yang
bergambar Kawah Kelimutu. Saya coba mengingat, bukannya Kawah Kelimutu
berwarna merah, hijau dan hitam? Sekarang dimana merahnya?
Ya, inilah sesungguhnya keajaiban Kawah Kelimutu. Danau Kelimutu bisa
berubah-ubah warna tanpa bisa terprediksikan. Panorama seperti ini
sangat langka di dunia, mungkin Kawah Kelimutu satu-satunya di dunia.
Kadang-kadang warnanya bisa biru, hijau dan hitam, di lain waktu bisa
berwarna putih, merah, dan biru. Kadang juga dua danau yang bersebelahan
bisa sama warnanya: hijau toska dan satu danaunya berwarna coklat tua.
Sungguh tidak bisa diprediksi.
Sejak BCChMM van Suchtelen pertama meneliti warna Kelimutu pada 1915, sudah banyak peneliti dari seluruh dunia yang takjub dengan keajaban Kelimutu. Kalangan peneliti memberikan informasi bahwa perubahan warna air pada danau Kelimutu disebabkan oleh faktor kandungan mineral, lumut, batu-batuan di dalam kawah, tekanan gas aktivitas vulkanik dan juga pengaruh cahaya matahari. Studi lain menambahkan bahwa aktivitas kegempaan juga dapat mengubah warna kawah danau.
“Orang Lio meyakini kalau warna Kelimutu sedang berubah itu pertanda akan terjadi peristiwa besar di Indonesia. Dulu saat mau tsunami Aceh, Kawah Kelimutu berubah warna” ungkap John. “Kalau sampai ketiganya warnanya sama, katanya dunia ini bakal ada bencana besar, mungkin bisa kiamat.”
Saat saya hadir di Kelimutu, tiga kawahnya sedang berharmoni dengan
paduan cantik warna hijau toska, coklat pekat dan hijau lumut kehitaman.
Di depan saya, terhampar kawah berwarna hijau toska cerah yang disebut
orang setempat sebagai Tiwu Nua Muri Koo Fai. Di sampingnya, dengan hanya dibatasi oleh tebing sempit, terdapat Tiwu Ata Polo yang berwarna coklat pekat. Satu lagi, kawah Tiwu Ata Mbupu yang berwarna hijau lumut kehitaman berada membelakangi saya.
Masyarakat suku Lio yang mendiami sekitar Kelimutu meyakini Kawah Kelimutu sebagai tempat yang sakral. Kelimutu dianggap sebagai kampung arwah leluhur mereka. Ini memang tak mengherankan karena dalam bahasa setempat, nama Kelimutu berasal dari Keli yang berarti “gunung” dan mutu yang berarti “berkumpul”. Bisa dimaknai bahwa Kelimutu merupakan gunung tempat para leluhur berkumpul.
Kawah Tiwu Nua Muri Koo Fai diyakini sebagai markas arwah kawula muda. Kawah Tiwu Ata Polo dianggap sebagai markas arwah orang yang suka melakukan kejahatan. Adapun kawah Tiwu Ata Mbupu merupakan singgasana arwah kaum sepuh yang bijaksana. Oleh sebab itu, setiap orang yang hadir ke Kelimutu harus menjaga kesopanan dan tidak boleh takabur. Tidak boleh untuk berkata kasar dan sembarangan. Dan, tentunya harus menjaga kebersihan tempat keramat nan indah ini.
Udara pagi di Kawah Kelimutu saya rasakan sangat segar dan sehat. Bagus sekali untuk mencuci paru-paru saya yang biasanya diasupi udara kotor perkotaan. Udara segar ini sungguh melimpah di Kawah Kelimutu karena terletak di jantung Taman Nasional Kelimutu yang dilingkupi oleh hutan yang lebat nan asri. Habitat yang masih alami ini menjadi rumah nyaman bagi ribuan flora dan fauna. Beberapa di antaranya endemik di Kawasan Taman Nasional Kelimutu, seperti burung garugiwa (pachycephala nudigula) yang kicauannya sangat semarak di pagi hari dan oleh masyarakat Lio dikenal sebagai burung arwah.
Ketika pagi mulai mendewasa, monyet-monyet dari tengah hutan Taman Nasional Kelimutu akan keluar ‘menyerbu’ puncak Kelimutu. Mereka suka mengusili para wisatawan, maksudnya suka mencuri makanan atau meminta ‘belas kasihan’ wisatawan untuk memberikan makanan kepada mereka. Saya coba tawarkan beberapa kerupuk. Langsung disambar tak malu-malu. Sungguh cepat sekali mereka meresponnya.
Sekarang, saya coba tawarkan segelas kopi saya yang tinggal tersisa sedikit. Ternyata tak ada satupun monyet yang mau menggaetnya. Ah, monyet Kelimutu pasti tak tahu bagaimana nikmatnya kopi Kelimutu.
Sukailah hadir di Kawah Kelimutu dengan dikawani oleh segelas kopi
lokal Kelimutu. Saya pikir, keindahan Kawah Kelimutu makin meriah saat
ada kopi nikmat yang memberi asupan kegembiraan untuk memuji keajaiban
alam di Flores ini. Gemulai tarian sunrise pada tiga warna kawah
Kelimutu yang menakjubkan dan kopi asli Kelimutu yang girang menghibur
indera rasa, bagi saya adalah sebuah pengalaman yang sempurna bertualang
ke Kawah Kelimutu.
Bagaimana dengan Anda? Cobalah kopi asli setempat jika melancong ke Kelimutu!