Oleh : Angelo Wake Kako
Putra Ende, Domisili di Jakarta
Putra Ende, Domisili di Jakarta
Matahari begitu menyengat, tak seperti biasanya. Ratusan orang mulai
berdatangan ke lokasi kegiatan, Taman Mini Indonesia Indah (TMII),
Jakarta, Selasa 2 Juni 2015.
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.30 WIB. Orang tua, anak muda,
laki-laki dan perempuan mulai menempati deretan kursi yang sudah ditata
rapi. Sebagian dari mereka datang dengan corak budaya, mengenakan busana
khas daerah Ende-Lio: “lawo-lambu” (sarung-baju) dan “ragi-lesu”
(kain-desta). Sudah sekian lama mereka menenun persekutuan dalam sebuah
komunitas “Wuamesu” Jakarta.
Di tengah himpitan rutinitas di jantung Ibukota Negara, mereka tidak
lupa merawat “motif daerah”, hendak menegaskan darimana mereka berasal.
Itulah alasan bagi Yoseph Se’e, Endi Wangge dan para pendiri lainnya,
membentuk Komunitas “Wuamesu” pada tangga1 25 Desember 1957 di Jakarta,
58 tahun silam.
Mereka menanamkan fondasi persatuan, persaudaraan, solidaritas,
kekeluargaan, perdamian, kerukunan dan cinta sebagai spirit persekutuan
yang tak pernah luntur di tengah hiruk pikuk arus modernitas yang kian
melanda Ibukota. Mereka datang dengan satu nada bahasa: “sa ate” (satu
hati).
Merawat Budaya Lokal
Komunitas “Wuamesu” Jakarta, oleh para pendiri menjadi wadah
pemersatu etnik Ende-Lio yang ada di Jakarta. Mereka datang dengan
berbagai alasan: kerja, kuliah, dan alasan lain sehingga Jakarta menjadi
“rumah sementara” meniti hidup dan juga ilmu.
Sebagai sebuah komunitas, “Wuamesu” mulai merintis sejarah dengan
aneka corak budaya meski hal itu sulit untuk dibedakan, semisal dialek
bahasa, ritual adat, rumah dan simbol-simbol adat, motif tenunan, dan
sebagainya.
Merawat perbedaan dalam sebuah komunitas dan persekutuan, menjadi
sebuah keharusan. Terbentuknya komunitas “Wuamesu” tidak sekedar
menjelaskan konteks diaspora, melainkan terutama menegaskan ruang dan
rumah bersama yang harmonis untuk semua ata Ende-Lio (orang Ende-Lio)
yang ada di Jakarta.
Hingga kini mereka tetap merawat nilai-nilai budaya Ende-Lio sebagai
corak khas (kearifan) daerah di tengah tantangan modernitas. Nilai-nilai
budaya inilah yang menegaskan jati diri daerah melampaui sekat-sekat
primordial yang sering menimbulkan stigma, prasangka dan bahkan konflik
identitas daerah. Bahkan nilai budaya lokal tertanam bangga saat menyaksikan para ibu
dan anak-anak gadis mengenakan “lawo lambu” sementara laki-laki dengan
“ragi-lesu.” Unsur dan nilai-nilai budaya itulah yang menjasi corak khas
acara pengukuhan kepengurusan baru komunitas “Wuamesu” Jakarta.
Tanpa banyak wacana dan program muluk-muluk, Yosef Tote Badeoda
selaku Ketua Umum “Wuamesu” menekankan tanggung jawab bersama untuk
menjadikan “Wuamesu” sebagai komunitas yang demokratis, berkarakter,
berbudaya, harmonis dan sinergis satu sama lain. Sisi pendidikan, bantuan hukum, pengembangan koperasi dan program
sosio-karitatif lainnya menjadi prioritas guna mengangkat harkat dan
martabat ata Ende-Lio yang ada di Jakarta.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Dewan Pengawas, Bapak Lodovikus
Sensi Wandabio dan Bapak Bapak Ignas Iryanto Djou selaku Ketua Dewan
Pembina. Keduanya menekankan pentingnya regenerasi kepengurusan setiap
empat tahun sehingga komunitas “Wuamesu” sungguh sebagai wadah
kaderisasi dan sa’o ria tenda bewa (rumah bersama); tempat setiap ata
Ende-Lio dapat merasakan suasana “wuamesu” (cinta kasih).
Uniknya, pada acara pengukuhan ini, semua ata Ende-Lio dilibatkan.
Mereka datang dari berbagai wilayah tempat tinggal dan menempati
kursi-kursi yang disediakan panitia.
Pada barisan depan, tidak terlihat, “orang-orang terhormat” dari
kalangan elit birokrat semisal bupati, gubernur, menteri dan bahkan
presiden, sebagaimana yang lazim dibuat pada acara-acara formil. Semua
merasa sama dan sederajat.
Inilah atmosfer baru yang coba dihidupi oleh kepengurusan yang baru
dikukuhkan. Hal ini tanpa bermaksud mempertanyakan ketidakhadiran elit
daerah, minimal Bupati yang notabene tempat kelahiran anggota komunitas.
Penting untuk berpikir secara positif jika kehadiran seorang Bupati
atau pejabat daerah lainnya, tentu berimplikasi pada pengeluaran
anggaran daerah melalui Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD).
“Gawi: ‘Roh’ Pemersatu”
“Wuamesu” tidak sekedar sebuah nama. Ia memberi arti terdalam
tentang makna keberadaan manusia sebagai makhluk sosial, terutama dalam
Komunitas Ende-Lio sendiri. Dengan mengusung unsur budaya lokal
(bahasa), nama “Wua Mesu” yang berarti Cinta Kasih, menjadi fondasi
komunitas.
Cinta kasih sebagai dasar komunitas sungguh dimaknai secara
inkulturatif melalui ritual “Gawi” (tandak) yang dimotori kelompok
Wolojita. Setiap ata Ende-Lio mewarisi “Gawi” dalam setiap generasi
hingga kini. Sangat beralasan mengapa “gawi” diyakini sebagai “roh” pemersatu,
dalamnya semua orang bergandengan tangan satu sama lain, membentuk
harmoni dalam irama gerak dan syair daerah yang dilantunkan oleh seorang
sodha (solis yang memiliki kemampuan khusus), serta menjaga agar
lingkaran “gawi” tak boleh tercerai-berai.
Perpaduan yang harmonis dalam “gawi” semakin unik ketika beberapa ibu
membentangkan selendeng dengan motifnya yang khas. Mereka menari
(wanda) seirama dengan hentakan kaki para peserta “gawi”, membuat
suasana semakin meriah dan bersemangat. “Gawi” selalu menjadi spirit”
yang yang terus dirawat dan diwarisi karena pesan yang terkandung di
dalamnya sarat makna.
Tak ada lagi sekat-sekat perbedaan karena dilandasi kekuatan cinta
kasih dan persatuan. Semua larut dalam suasana kegembiraan,
persaudaraan, kekeluargaan, dan cinta kasih sembari menikmati hidangan
dengan sajian lokal; jagung, ubi, pisang, nasi kacang dan juga
rumpu-rampe, hasil karya tangan dan kreativitas para ibu yang sudah amat
biasa dengan keseharian hidup masyarakat Ende-Lio jauh sebelum mengenal
“menu modern” di KFC, Mc Donald, Pitzza, dan lain-lain.
Semua larut dalam suasana lokal yang begitu kental dengan selingan
tarian Rokatenda dan Wanda Pa’u oleh para ibu dan para gadis. Mereka
memberi pesan yang sarat makna agar di tengah arus modernitas, unsur dan
nilai budaya lokal harus terus dirawat oleh setiap generasi. Karena
dengan berakar pada budaya, kita menegaskan identitas dan jati diri kita
yang sesungguhnya. Selamat dan Proficiat bagi Kepengurusan “Wuamesu”
yang baru menuju Ende-Lio Sare Pawe!!