Oleh: Marlin Bato
Jakarta, 26/05/2015
Cinta Sang Pialang: karya perdana Gusti Adi Tetiro ini bercerita tentang kehilangan sekaligus persemaian batin kedua tokoh utama yaitu Bastian dan Kartika. Bastian, dalam novel ini digambarkan sebagai sosok pengusaha muda nan sukses yang sedang melancong, sesekali meresapi kehidupan kaum-kaum marjinal, sedangkan Kartika, gadis belia, dara elok nan rupawan asal pulau Bunga yang juga seorang wartawati cerdas sedang melakukan peliputan di Flores.
Di awal kisah, Bastian hanyalah sang pialang, seorang pelancong yang ingin menikmati indahnya tanah Flores. Ia rela merogoh kocek dalam-dalam hanya ingin kepuasan batin tertuntaskan. Karena itu, Flores adalah pilihan dan surga baginya, tempat yang hampir dilupakan masyarakat metropolis. Disini, ia berusaha mencari tahu makna kehidupan dan keindahan alam Flores. Disini pula, Bastian dipertemukan dengan cinta Kartika yang tidak digambarkan secara nyata oleh penulis, sebab pembaca hanya menemukan ungkapan " I Love You ", dari Kartika diakhir kisah dihalaman 144.
Bastian memang tidak mengungkapkan cinta, tetapi penulis menggambarkan setiap tindakan sang pialang tersebut telah mencerminkan unsur cinta yang mendalam kepada sang dara (Kartika). Mungkin saja hal ini sengaja tidak ditonjolkan oleh Gusti Adi, mengingat Bastian telah menjalin cinta dengan Putria, gadis Jakarta.
Kita sering membaca novel-novel dari berbagai penulis. Tetapi dalam novel Cinta Sang Pialang ini, karakter utama sang tokoh yang berasal dari kota besar datang ke kota kecil mampu menggerakkan keseluruhan isi cerita dengan berbagai lika-liku latar masyarakat terpencil. Berbeda dengan banyak novel lain yang mengambil latar tempat hanya bersifat intuitif. Dalam novel ini, tak lupa sang penulis menonjolkan sisi lain dari seorang Bastian sebagai pribadi yang protectif, patuh terhadap norma agama dan menghormati kebiasaan masyarakat lokal, tetapi sekaligus memperlihatkan unsur introvert sang tokoh.
Biasanya novel-novel romantika yang ditulis para novelis sekelas Mira Lesmana, selalu menghadirkan klimaks bagi pembaca. Tetapi dalam novel Cinta Sang Pialang ini, pembaca hampir belum menemukan titik klimaks tersebut. Jika Mira Lesmana mampu menggerakan ketajaman halusinasi sebagai klimaks bagi pembaca, sebaliknya Gusti Adi Tetiro justru mampu mengkombinasikan karakter filsuf sebagaimana yang sering diajarkan oleh kaum-kaum klerus. Sepertinya sang penulis ingin menempatkan sosok Bastian dan Kartika sebagai pretensi pergaulan yang liar namun tetap berpegang pada norma, tidak mengumbar cinta yang berlebihaan, tidak pula mengumbar unsur seksualitas. Tetapi penulis mampu menghadirkan kisah romantika dua sejoli di ujung tanjung bunga, debar jantung keduanya melantun bersama deru mesin mobil sepanjang perjalanan, sesekali jemari menggulung rindu di ujung kalbu, pun bermanja menghelai lembar-lembar kisah diantara keduanya.
Novel ini memperlihatkan sisi lain yang jarang ketahui masyarakat metropolis seperti bagaimana sejuknya kota Ende beserta keramahannya. Siluet taman rendo diujung senja, menyemburkan ceceran peluh desir mengalir dalam atma Bung Karno dikota ini. Adapun Ruteng ditahun 1986 ditampilkan sebagai rumah yang bersahabat bagi pendatang, kota para biara yang dijuluki lautan jubah. Kota Bajawa diekspresikan dengan kabut dan cuaca yang menusuk belulang. Disana ada Mataloko terselubung kemah tabor, locus ziarah nan sunyi bagi sang penyepi.
Dalam novel ini penulis seperti ingin menanamkan emosi universal tentang ritual kehidupan, tetapi dalam konteks khusus bagi masyarakat Flores, sebab fase-fase dalam penulisan tersebut sangat identik dengan karakter ke-Flores-an. Penulis bukan cuma ingin menyuguhi lekukan dan warna-warni bukit nan indah yang memang sangat memanjakan mata, tetapi pembaca juga diajak oleh penulis untuk memahami bahwa di tengah keindahan itu ada masyarakat yang berjuang hidup dengan tantangan alam yang berat.
Meskipun bersifat fiksi, namun novel karya Gusti Adi Tetiro yang diterbitkan PT. Veritas Dharma Satya (VDS) ini sesungguhnya hampir merepresentasikan dedikasi seorang penulis tentang kisah nyata tokoh tertentu. Tetapi, tak lupa pula penulis menawarkan referensi sebagai suatu perjalanan ziarah yang menarik dan mengisi kekosongan ruang publikasi khazanah Indonesia tentang realitas masyarakat lokal Flores. Perjalanan ziarah itulah yang saya sebut sebagai "kekuatan cinta yang sulit terbendung ketika hati telah terpanggil".
Jika ingin tahu lebih dalam tentang isi novel ini, silahkan kontak Gusti Adi Tetiro di nomor: 082126950440
Jakarta, 26/05/2015
Cinta Sang Pialang: karya perdana Gusti Adi Tetiro ini bercerita tentang kehilangan sekaligus persemaian batin kedua tokoh utama yaitu Bastian dan Kartika. Bastian, dalam novel ini digambarkan sebagai sosok pengusaha muda nan sukses yang sedang melancong, sesekali meresapi kehidupan kaum-kaum marjinal, sedangkan Kartika, gadis belia, dara elok nan rupawan asal pulau Bunga yang juga seorang wartawati cerdas sedang melakukan peliputan di Flores.
Di awal kisah, Bastian hanyalah sang pialang, seorang pelancong yang ingin menikmati indahnya tanah Flores. Ia rela merogoh kocek dalam-dalam hanya ingin kepuasan batin tertuntaskan. Karena itu, Flores adalah pilihan dan surga baginya, tempat yang hampir dilupakan masyarakat metropolis. Disini, ia berusaha mencari tahu makna kehidupan dan keindahan alam Flores. Disini pula, Bastian dipertemukan dengan cinta Kartika yang tidak digambarkan secara nyata oleh penulis, sebab pembaca hanya menemukan ungkapan " I Love You ", dari Kartika diakhir kisah dihalaman 144.
Bastian memang tidak mengungkapkan cinta, tetapi penulis menggambarkan setiap tindakan sang pialang tersebut telah mencerminkan unsur cinta yang mendalam kepada sang dara (Kartika). Mungkin saja hal ini sengaja tidak ditonjolkan oleh Gusti Adi, mengingat Bastian telah menjalin cinta dengan Putria, gadis Jakarta.
Kita sering membaca novel-novel dari berbagai penulis. Tetapi dalam novel Cinta Sang Pialang ini, karakter utama sang tokoh yang berasal dari kota besar datang ke kota kecil mampu menggerakkan keseluruhan isi cerita dengan berbagai lika-liku latar masyarakat terpencil. Berbeda dengan banyak novel lain yang mengambil latar tempat hanya bersifat intuitif. Dalam novel ini, tak lupa sang penulis menonjolkan sisi lain dari seorang Bastian sebagai pribadi yang protectif, patuh terhadap norma agama dan menghormati kebiasaan masyarakat lokal, tetapi sekaligus memperlihatkan unsur introvert sang tokoh.
Biasanya novel-novel romantika yang ditulis para novelis sekelas Mira Lesmana, selalu menghadirkan klimaks bagi pembaca. Tetapi dalam novel Cinta Sang Pialang ini, pembaca hampir belum menemukan titik klimaks tersebut. Jika Mira Lesmana mampu menggerakan ketajaman halusinasi sebagai klimaks bagi pembaca, sebaliknya Gusti Adi Tetiro justru mampu mengkombinasikan karakter filsuf sebagaimana yang sering diajarkan oleh kaum-kaum klerus. Sepertinya sang penulis ingin menempatkan sosok Bastian dan Kartika sebagai pretensi pergaulan yang liar namun tetap berpegang pada norma, tidak mengumbar cinta yang berlebihaan, tidak pula mengumbar unsur seksualitas. Tetapi penulis mampu menghadirkan kisah romantika dua sejoli di ujung tanjung bunga, debar jantung keduanya melantun bersama deru mesin mobil sepanjang perjalanan, sesekali jemari menggulung rindu di ujung kalbu, pun bermanja menghelai lembar-lembar kisah diantara keduanya.
Novel ini memperlihatkan sisi lain yang jarang ketahui masyarakat metropolis seperti bagaimana sejuknya kota Ende beserta keramahannya. Siluet taman rendo diujung senja, menyemburkan ceceran peluh desir mengalir dalam atma Bung Karno dikota ini. Adapun Ruteng ditahun 1986 ditampilkan sebagai rumah yang bersahabat bagi pendatang, kota para biara yang dijuluki lautan jubah. Kota Bajawa diekspresikan dengan kabut dan cuaca yang menusuk belulang. Disana ada Mataloko terselubung kemah tabor, locus ziarah nan sunyi bagi sang penyepi.
Dalam novel ini penulis seperti ingin menanamkan emosi universal tentang ritual kehidupan, tetapi dalam konteks khusus bagi masyarakat Flores, sebab fase-fase dalam penulisan tersebut sangat identik dengan karakter ke-Flores-an. Penulis bukan cuma ingin menyuguhi lekukan dan warna-warni bukit nan indah yang memang sangat memanjakan mata, tetapi pembaca juga diajak oleh penulis untuk memahami bahwa di tengah keindahan itu ada masyarakat yang berjuang hidup dengan tantangan alam yang berat.
Meskipun bersifat fiksi, namun novel karya Gusti Adi Tetiro yang diterbitkan PT. Veritas Dharma Satya (VDS) ini sesungguhnya hampir merepresentasikan dedikasi seorang penulis tentang kisah nyata tokoh tertentu. Tetapi, tak lupa pula penulis menawarkan referensi sebagai suatu perjalanan ziarah yang menarik dan mengisi kekosongan ruang publikasi khazanah Indonesia tentang realitas masyarakat lokal Flores. Perjalanan ziarah itulah yang saya sebut sebagai "kekuatan cinta yang sulit terbendung ketika hati telah terpanggil".
Jika ingin tahu lebih dalam tentang isi novel ini, silahkan kontak Gusti Adi Tetiro di nomor: 082126950440