Logo

Logo
Latest News
Saturday, May 2, 2015

Interaksi Sosial Suku Bangsa Lio Melalui Kearifan Adagium Sastrawi


Oleh: Marlin Bato

Persahabatan itu selalu bermula pada interaksi sosial. Tak dikenal maka tak disayang, begitulah sekelumit adagium yang berkembang dalam era global belakangan ini. Masyarakat Ende Lio mengenal interaksi sosial melalui ungkapan; "Talu Rapa Sambu, Tewa Rapa Rega". Ungkapan ini bermakna empirik tentang ritual tegur sapa yang dibangun suku bangsa Lio beratus ratus tahun lamanya. Sejatinya ungkapan lengkap kalimat ini adalah "Talu Sambu No'o Ata Mangu Lau - Tewa Rapa Rega no'o Ata Laja Ghawa, yang berarti bertegur sapa dengan orang asing". Namun pada era kekinian adagium ini telah berkembang dan berevolusi tidak semata interaksi sosial dengan orang asing tetapi juga bisa digunakan dalam kehidupan keseharian.

Talu sambu - tewa rega adalah ihkwal tutur kata yang merupakan sebuah kearifan lokal Lio yang berimplikasi pada pemuliaan jati diri manusia Lio sebagaimana terjadi diperadaban-peradaban Yunani kuno dan peradaban-peradaban lainnya. Pergulatan hidup masyarakat Lio, tidak ada bedanya seperti kaum filsuf-filsuf yang berkembang dimasanya karena mereka lahir, tumbuh dan berkembang dalam kearifan lokal, dalam kesatuan komunitas itu sendiri. Namun pemikiran mereka berkembang begitu pesat akibat ditempa oleh dialektika antara alam dengan manusia.

Kearifan lahir, tumbuh dan berkembang dari dan dalam masyarakat lokal itu sendiri. Semakin lama dan dalam pergulatan seseorang atau suatu masyarakat tentang kenyataan dan harapan masa depan mereka, semakin banyak pula pencerahan dan kearifan berkembang. Sehingga di sini, banyak lahir pemikir dan penyair, kaum arif bestari yang menunjukkan kearifan zamannya. Plato, Aristoteles lahir dan berkembang dalam masyarakat kota Yunani. Cicero, Seneca adalah pujangga lainnya di kota Roma yang memijarkan pencerahan melalui pergulatan pemikiran dan kearifan pada eranya. Butir pemikiran mereka hidup sekaligus menjiwai masyarakatnya dan sering digunakan oleh masyarakat dunia.

Ungkapan, pemikiran dan kearifan mereka bukanlah ber”merek, cap” global. Tetapi itu hanya bersifat universal. Kearifan dan ungkapan lokal tersebut tidak jarang diamini dan digunakan warga dunia karena mengandung nilai-nilai, prinsip - prinsip kehidupan. Misalnya "Engkau berpikir tentang dirimu sebagai seonggok materi semata, padahal di dalam dirimu tersimpan kekuatan tak terbatas". Sebuah pergulatan permenungan seorang Ali bin abi Thalib yang hidup di masyarakat Arab, bisa mirip dengan Pemikiran filsuf Perancis, Teihard de Chardin yang hidup di Tongkok, "we are not human beings having spritual experience; we are spritual being having human experience". Ungkapan Lio ”Ra nai no’o tangi-tangi” sebagai ungkapan kesetiaan - Kesiapsediaan yang mirip dengan Semper Fidelis (Semper Fi) semboyan US Marine Corps dan Semper Paratus (semper Par) semboyan US Air force One. Sanunu salema/sawiwi salema; satunya kata dan perbuatan berarti integritas hampir serupa dalam literatur kepemimpinan yakni integritas. Seperti kita ketahui integritaslah menjadi kualitas tertinggi seorang pemimpin .Contoh kearifan yang lain: Poto wolo tebo lo, renggi keli tebo weki/mengagungkan dan memuliakan manusia dll. Tentu masih banyak yang bisa digali dan telusuri lebih jauh.

Ini semua melukiskan betapa sebuah masyarakat yang sesederhana dan seterpencil apa pun masih memberikan suatu arah gerak sebuah masyarakatnya melalui kearifan. Oleh karenanya tidak berlebihan, jika kita warga masyarakat Ende Lio baik yang berada di Flores atau pun hidup sebagai sebuah komunitas diaspora masih bisa tergelitik hati dan pikiran untuk menggali dan membagikan kearifan dari kampung kita masing-masing. Menyadari dalam masyarakat Ende – Lio, ada sebuah ungkapan”Ro’a loka no’o keli-keli, Kura fangga no’o lowo; Setiap Nua, kampung dan kunu, wewa dan persekutuan adat lain memiliki pemimpin adat masing-masing, mempunyai keunikan masing-masing maka kelompok ini ingin memusatkan perhatian pada jaringan yang menghidupkan sel-sel kearifan lokal Ende Lio. Dengan demikian jaringan ini bersifat cell system yang non organisatoris tapi hanya menyalakan gagasan, kearifan dan pemikiran. Ro’a loka no’o keli-keli, kura fangga no'o lowo-lowo justru memperkaya keberagaman kearifan lokal masyarakat Ende Lio sendiri. Guna menyambung rasa, merajut semangat bersama serta mewadahi gagasan kearifan lokal yang tercecer maka kita akan memanfaatkan sarana komunikasi seperti facebook, salah satunya . "Wala surania"/facebook tau wi wolo kawe keli (The compression of Time, Distance and Access)

Kalau pada zaman Embu Mamo (leluhur) kita dulu, mungkin menggunakan ata nipi bhisa (sang pemimpi) untuk memperpendek jarak, waktu dan akses. Tapi pada zaman sekarang tau wi wolo kawe keli (memperpendek jarak) menggunakan jejaring sosial facebook/Surania, internet dll. Sarana ini bisa kita gunakan untuk menggali, memperkenalkan dan menyebarkan serta memanfaatkan kearifan tersebut untuk kepentingan masyarakat Ende Lio, khususnya bertalu sambu ataupun bertewa rega, baik kepada kerabat maupun orang - orang disekitar kita.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Interaksi Sosial Suku Bangsa Lio Melalui Kearifan Adagium Sastrawi Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi