Logo

Logo
Latest News
Friday, May 8, 2015

UPACARA ADAT REBA DALAM BUDAYA NGADA





Tulisan ini dikirim oleh Anisetus Dombo Mere 28 Desember 2011 via email
 

  1. Pengantar
            Setiap daerah di Indonesia, tentu memiliki  kebudayaan yang beraneka ragam. Kebudayaan menunjukkan ciri khas dari suatu suku bangsa. Kebudayaan bukan hanya melulu suatu yang bernilai materi namun juga  menyimpan sesuatu nilai etis. Hal ini membawa kita pada suatu refleksi bahwa kebudayaan membantu manusia untuk menjadi lebih arif dalam menemukan makna hidup ini. Atau dengan kata lain kebudayaan mengarahkan manusia untuk semakin berkembang secara manusiawi guna mencapai kebahagiaan dalam hidupnya. Melalaui paper sederhana ini, penulis ingin mendalami dan menggali makna terdalam dari Upacara Adat Reba dalam Budaya Ngada.

   11. Situasi Umum Daerah Ngada
            Ngada merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang beribukotakan Bajawa. Kabupaten Ngada terletak di Pulau Flores. Situasi geografis daerah ini didominasi oleh rangkaian pegunungan dan perbukitan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Kabupaten  Ngada berbatasan langsung dengan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah barat, sebelah timur dengan Kabupaten Ende, sebelah utara dengan Laut Sawu dan sebelah selatan dengan Laut Flores. Terkait dengan kepercayaan masyarakat di mana mayoritas penduduknya memeluk agama Katolik Roma. Terkait dengan adat istiadat, tentunya daerah ini memiliki banyak tradisi budaya yang terus dipertahankan sampai dengan saat ini. Tradisi budaya Ngada yang adalah potensi kekayaan daerah ini, yang masih terus dilestarikan dan dipertahankan sampai saat ini salah satunya yakni Upacara Adat Reba.

 111. Upacara Adat Reba
 Upacara Reba merupakan upacara adat di daerah Ngada yang diadakan setiap tahun baru, tepatnya di bulan Januari atau Februari. Upacara adat ini bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan  rasa terima kasih terhadap jasa para leluhur. Upacara ini juga bertujuan untuk mengevaluasi segala hal tentang kehidupan bermasyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani masyarakat Ngada[1]. Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat juga  meminta petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh adat untuk dapat menjalani hidup lebih baik pada tahun baru yang akan datang. Ubi memang menjadi simbol utama dalam upacara adat reba. Hal itu tidak lepas dari tradisi pada masa nenek moyang yang menjadikan ubi sebagai makanan pokok.  Bagi warga Ngada, ubi dianggap  sebagai makanan atau sumber kehidupan yang tak pernah habis disediakan oleh bumi.  Karena itu, warga Ngada tidak akan pernah mengalami rawan pangan ataupun busung lapar. Dalam merayakan upacara adat reba, seluruh sanak keluarga datang berhimpun, termasuk yang berada di luar kota, bahkan di luar Nusa Tenggara Timur. Anggota keluarga  biasanya mulai berdatangan pada tanggal 1 januari sore. Mereka antara lain membawa buah tangan berupa beras, ubi, ayam atau juga babi.
Selama upacara reba berlangsung diiringi oleh tarian dari para penari yang mengenakan pakaian adat lengkap, selain itu  para penari menggenggam  pedang tajam (sau) dan tongkat warna-warni yang pada bagian ujungnya  dihiasi  dengan bulu kambing berwarna putih (Tuba). Sebagai pengiring tarian adalah gong dan gendang (laba go) serta alat musik gesek berdawai tunggal yang terbuat dari tempurung kelapa. Keistimewaan upacara adat reba ini biasanya dilakukan selama tiga sampai empat hari. Sebelum pelaksanaan upacara  tari-tarian dan nyanyian (O Uwi) diadakan misa  inkulturasi yang dipimpin seorang pater atau romo. Beberapa rangkaian upacara juga diiringi dengan koor nyanyian gereja dan menggunakan bahasa lokal Ngada. Upacara ini secara tidak langsung memadukan unsur adat dan agama.


1V. Tahap-tahap Upacara Adat Reba[2]

v  Reba Lanu
            Reba Lanu yakni sebagai pembuka seluruh rangkaian reba. Dan dilakukan pada tempat khusus yang terletak diluar kampung, yang disebut Lanu. Tahap ini bertujuan untuk menghormati leluhur masyarakat di kampung.
v  Dheke Reba
           Dheke reba dilaksanakan pada malam pertama reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku datang ke rumah pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang disebut Ka’ Maki Reba. Semua hal yang berhubungan dengan anggota suku  seperti  bere tere oka pale, tege tua manu dan hal lainnya didiskusikan.
v  Tarian Reba
       Tarian reba merupakan kegiatan menari masal sambil menyanyikan lagu reba yang    disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini dilaksanakan pada siang hari setelah malam Dheke Reba. Peserta tarian berpakaian adat lengkap.
v  Doya Uwi
  Doya Uwi adalah acara arakan ubi yang dilaksanakan di kampung.

v  Sui Uwi 
Sui Uwi merupakan upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-masing suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan dan pesan kepada anak cucu dan leluhur. Acara ini sekaligus juga menutup seluruh rangkaian reba pada umumnya.

V. Makna Terdalam dari Upacara Adat Reba
Manusia adalah pelaku kebudayaan[3]. Dalam hal ini penulis tentu menyadari bahwa setiap adat kebudayaaan yang diciptakan manusia dan yang masih terus dilestarikan sampai saat ini tentu juga membawa manusia pada suatu perkembangan  yang lebih manusiawi. Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu  yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan belaka, diwujudkan dan diciptakan baru[4].  Namun di lain pihak, adat budaya juga membawa manusia pada keterikatan dengan aturan-aturan adat yang telah dibakukan yang membuat manusia merasa tidak bebas.   Telah kita lihat bersama bahwa Reba bagi orang Ngada merupakan suatu upacara adat guna menghormati para leluhur dan Sang Pencipta yang telah memberikan kehidupan dan keberhasilan selama setahun.
             Disatu sisi, orang Ngada meyakini bahwa para leluhur yang telah meninggal mempunyai semacam kuasa untuk mempengaruhi kehidupan anggota suku dan keluarga. Kuasa dari para leluhur akan tampak apabila mereka diabaikan dan tak diperhatikan. Mereka dapat mendatangkan malapetaka seperti kematian yang mendadak dalam suatu suku, penyakit, kegagalan panen dan hal- hal lain yang tak membawa manusia pada kebahagiaan hidup. Dalam tataran ini memang harus diakui bahwa terdapat unsur mitos dalam upacara ini. Mitos dalam hubungan dengan leluhur yang dipercaya dapat mendatangkan perlindungan dan juga malapetaka. Perlindungan yang dimaksud disini yakni terkait dengan seluruh usaha yang dilakukan setiap suku dalam setahun, akan berdampak baik dan berhasil apabila mereka tak menyingkirkan leluhur dalam kehidupan mereka. Sampai pada titik ini kita dapat melihat bahwa mitos dari upacara untuk menghormati para leluhur ini, dapat memberi jaminan pada masa kini[5]. Terlepas dari mitos, bahwa kedekatan masyarakat Ngada dalam bentuk penghormatan kepada para leluhur mereka, mengarah pada apa yang juga diajarkan dalam agama Kristen bahwa mereka yang telah mendahului kita dapat membantu kita  dengan doa dalam perjalanan  hidup kita dimuka bumi ini. Penghormatan kepada para leluhur dalam upacara ini, tidak berarti bahwa masyarakat Ngada mengesampingkan atau menomorduakan peran Allah sebagai pencipta. Namun perlu dilihat disini bahwa bagi masyarakat Ngada melalui para leluhur mereka dapat mencapai sesuatu yang melampaui segala-galanya. Sesuatu itu yang adalah sebab pertama dan  utama dari segala sesuatu yakni Allah sendiri.
Disisi lain makna reba perlu dilihat sebagai suatu nilai yang perlu dipertahankan dan dilestarikan. Pasalnya, dizaman era modernisasi dengan kemajuan ilmu pengetahuan teknologi, warga Ngada masih menjunjung tinggi nilai budaya dan adat istiadat secara turun temurun. Warga Ngada menyadari bahwa penting menghormati leluhur yang telah memberikan kehidupan dan berkat. Ini merupakan salah satu nilai mendalam dari upacara adat reba. Reba yang dirayakan setiap tahun dan berlangsung turun temurun bukannya tanpa makna. Reba selain sebagai moment  untuk mengenang dan menghormati para leluhur secara istimewa, juga menjadi titik permenungan akan nilai luhur kehidupan yang diwariskan para pendahulu. Para pendahulu telah menanamkan nilai kedamaian, persatuan, gotong royong, tekun bekerja tanpa kenal lelah, saling melayani, menghindari rasa dengki dan egois yang harus diaplikasikan dalam kehidupan. Secara tak langsung makna terdalam dari reba tersimpan pemikiran etika dan fungsional. Unsur etika dan fungsional ini terkait dengan suatu produk yang dihasilkan dari upacara ini dalam tahap-tahap upacara ini, yang dilihat sebagai  dasar pijak dalam menata dan membangun kehidupan bersama, baik dalam membangun kehidupan pribadi, keluarga, lingkungan atau membangun kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan adanya reba orang bisa menimba kekuatan dari menghindari adanya pengaruh budaya yang mencederai kehidupan bersama. Reba juga sebagai sarana promosi nilai budaya yang perlu dijadikan sebagai potensi pariwisata. Menurut penulis upacara adat reba mengandung unsur perdamaian, persaudaraan dan kasih dengan sesama. Banyak generasi hp, internet dan televisi yang sudah tidak mengetahui makna reba. Reba adalah suatu awal dari kehendak leluhur yang mewajibkan penerus guna melestarikan dan mengikuti ketentuan adat, peraturan dan hukum guna menuntun seseorang meraih kebahagiaan dalam kehidupan.


V1. Nilai Negatif  dari  Upacara Adat Reba
Selain  makna terdalam dari upacara adat reba yang telah dikemukakan  diatas, penulis  sebagai orang asli Ngada juga  melihat nilai negatif  yang terkandung dalam upacara adat reba.  Dalam upacara adat reba biasanya berlangsung selama tiga sampai empat hari. Dan  tentunya bukan sedikit anggaran yang disiapkan oleh setiap suku dalam kampung tersebut. Biasanya untuk melancarkan upacara ini setiap suku dalam kampung adat diwajibkan untuk menyiapkan babi, beras, ayam dan  materi yang lainnya. Dalam suku akan diadakan pembagian dan tentunya setiap kepala keluarga yang masuk dalam suku tersebut dibebankan pengumpulan-pengumpulan materi yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan bersama. Tak dapat dibayangkan bahwa hal tersebut dapat menjadi beban, apalagi upacara ini dilakukan pada setiap tahun. Dalam hal ini penulis melihat bahwa ada unsur “ketidakbebasan” dari setiap kepala keluarga dari setiap suku. Mau tak mau mereka harus taat dengan semua hal yang telah ditetapkan tersebut. Bagi mereka yang memiliki penghasilan yang cukup hal ini tak menjadi persoalan. Tetapi menjadi suatu persoalan dan memberatkan bagi mereka yang berpenghasilan rendah. Dengan segala cara mereka akan mengusahakan  apa yang telah diwajibkan oleh kepala suku maka mereka harus berusaha keras untuk memperoleh apa yang diminta misalnya dengan cara berhutang pada yang lain. Hal lain yang dilihat disini bahwa upacara adat reba secara tak langsung memadukan unsur agama dan budaya dalam hal ini terkait dengan misa  inkulturasi.  Memang harus diakui pula bahwa kebudayaan juga dapat digunakan sebagai sarana pewartaan. Paus Yohanes Paulus II menyatakan bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.” (Redemptoris Missio, Ch. V).
Maka dalam hubungan dengan misa inkuturasi upacara adat reba, tentunya diperlukan peran para tokoh agama untuk menjelaskan nilai-nilai iman yang dapat dikonfrontasikan dengan nilai budaya, sehingga tidak terjadi pencampuran paham-paham budaya ke dalam agama yang  dapat menimbulkan kehilangan makna asli dari inkulturasi budaya itu sendiri dalam agama. Dengan demikian masyarakat Ngada tentunya dapat dibantu untuk mengerti secara lebih baik hubungan iman dan budaya dihadapan Tuhan. Dengan kata lain seperti yang diungkapkan oleh Almarhum Paus Yohanes Paulus 11 bahwa didalam proses inkulturasi integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan. Gereja memang harus mampu memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari dalam.
V11.  Penutup
Upacara Adat Reba merupakan warisan leluhur yang  harus tetap dijaga dan dilestarikan  oleh masyarakat Ngada. Dalam upacara adat ini kita dapat belajar bahwa nilai-nilai budaya dapat membawa manusia untuk semakin bertumbuh dan berkembang secara lebih manusiawi. Reba dapat menjadi sarana persatuan dan persaudaraan antar daerah yang juga menjadi dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat dan berbangsa secara lebih baik. Memang ada nilai negatif yang  dapat kita temukan dalam berbagai macam budaya termasuk dalam upacara adat reba. Namun pada intinya penulis melihat bahwa upacara adat reba membantu masyarakat Ngada agar tidak hanyut dalam perkembangan zaman namun perlu menyadari bahwa  apa yang telah diwariskan oleh  para leluhur tersimpan sejuta filosofi hidup  yang mendalam.


Daftar Kepustakaan


Bakker,JWM. 1988. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Peursen, Van.1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius
Kadir,Hatib Abdul.Upacara Adat Reba di Kabupaten Ngada, (http://www.wisatamelayu.com,diakses 14 Oktober 2010).
Oktora,Samuel. Tradisi Reba Bukan Sekedar Reuni, (http:// www.wisata dan budaya.bolgspot.com, diakses 14 Oktober 2010).


[1]   Tradisi Reba, Bukan Sekedar  Reuni oleh Samuel Oktora, (Http://wisata dan budaya.blogspot.com, diakses tanggal 14 Oktober 2010)
[2]  Upacara Adat Reba di Kabupaten Ngada oleh Hatib Abdul Kadir (Http: //wisatamelayu.com, diakses tanggal 14 Oktober 2010)
[3]  J.W.M. Bakker SJ, Filsafata Kebudayaan, Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1988, hal 14
[4]  Ibid.
[5] Prof.dr.c.a.van peursen, Strategi Kebudayaan,Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1976,hal 39
  • Facebook Comments
Item Reviewed: UPACARA ADAT REBA DALAM BUDAYA NGADA Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi