Tulisan ini dikirim oleh Anisetus Dombo Mere 28 Desember 2011 via email
- Pengantar
Setiap
daerah di Indonesia,
tentu memiliki kebudayaan yang beraneka
ragam. Kebudayaan menunjukkan ciri khas dari suatu suku bangsa. Kebudayaan
bukan hanya melulu suatu yang bernilai materi namun juga menyimpan sesuatu nilai etis. Hal ini membawa
kita pada suatu refleksi bahwa kebudayaan membantu manusia untuk menjadi lebih
arif dalam menemukan makna hidup ini. Atau dengan kata lain kebudayaan
mengarahkan manusia untuk semakin berkembang secara manusiawi guna mencapai
kebahagiaan dalam hidupnya. Melalaui paper sederhana ini, penulis ingin
mendalami dan menggali makna terdalam dari Upacara Adat Reba dalam Budaya
Ngada.
11. Situasi Umum Daerah Ngada
Ngada
merupakan salah satu Kabupaten di Nusa Tenggara Timur yang beribukotakan
Bajawa. Kabupaten Ngada terletak di Pulau Flores.
Situasi geografis daerah ini didominasi oleh rangkaian pegunungan dan
perbukitan. Mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani.
Kabupaten Ngada berbatasan langsung
dengan Kabupaten Manggarai Timur di sebelah barat, sebelah timur dengan Kabupaten
Ende, sebelah utara dengan Laut Sawu dan sebelah selatan dengan Laut Flores.
Terkait dengan kepercayaan masyarakat di mana mayoritas penduduknya memeluk
agama Katolik Roma. Terkait dengan adat istiadat, tentunya daerah ini memiliki
banyak tradisi budaya yang terus dipertahankan sampai dengan saat ini. Tradisi
budaya Ngada yang adalah potensi kekayaan daerah ini, yang masih terus
dilestarikan dan dipertahankan sampai saat ini salah satunya yakni Upacara Adat
Reba.
111.
Upacara Adat Reba
Upacara Reba merupakan upacara adat di daerah
Ngada yang diadakan setiap tahun baru, tepatnya di bulan Januari atau Februari.
Upacara adat ini bertujuan untuk melakukan penghormatan dan ucapan rasa terima kasih terhadap jasa para leluhur.
Upacara ini juga bertujuan untuk mengevaluasi segala hal tentang kehidupan
bermasyarakat pada tahun sebelumnya yang telah dijalani masyarakat Ngada[1].
Melalui upacara ini, keluarga dan masyarakat juga meminta petunjuk kepada tokoh agama dan tokoh
adat untuk dapat menjalani hidup lebih baik pada tahun baru yang akan datang.
Ubi memang menjadi simbol utama dalam upacara adat reba. Hal itu tidak lepas
dari tradisi pada masa nenek moyang yang menjadikan ubi sebagai makanan pokok. Bagi warga Ngada, ubi dianggap sebagai makanan atau sumber kehidupan yang
tak pernah habis disediakan oleh bumi. Karena itu, warga Ngada tidak akan pernah
mengalami rawan pangan ataupun busung lapar. Dalam merayakan upacara adat reba,
seluruh sanak keluarga datang berhimpun, termasuk yang berada di luar kota,
bahkan di luar Nusa Tenggara Timur. Anggota keluarga biasanya mulai berdatangan pada tanggal 1
januari sore. Mereka antara lain membawa buah tangan berupa beras, ubi, ayam
atau juga babi.
Selama
upacara reba berlangsung diiringi oleh tarian dari para penari yang mengenakan
pakaian adat lengkap, selain itu para
penari menggenggam pedang tajam (sau)
dan tongkat warna-warni yang pada bagian ujungnya dihiasi
dengan bulu kambing berwarna putih (Tuba). Sebagai pengiring tarian
adalah gong dan gendang (laba go) serta alat musik gesek berdawai tunggal yang
terbuat dari tempurung kelapa. Keistimewaan upacara adat reba ini biasanya
dilakukan selama tiga sampai empat hari. Sebelum pelaksanaan upacara tari-tarian dan nyanyian (O Uwi) diadakan
misa inkulturasi yang dipimpin seorang
pater atau romo. Beberapa rangkaian upacara juga diiringi dengan koor nyanyian
gereja dan menggunakan bahasa lokal Ngada. Upacara ini secara tidak langsung
memadukan unsur adat dan agama.
1V. Tahap-tahap Upacara Adat Reba[2]
v
Reba Lanu
Reba Lanu yakni sebagai
pembuka seluruh rangkaian reba. Dan dilakukan pada tempat khusus yang terletak
diluar kampung, yang disebut Lanu. Tahap ini bertujuan untuk menghormati leluhur
masyarakat di kampung.
v
Dheke Reba
Dheke reba dilaksanakan
pada malam pertama reba. Pada kesempatan ini anggota-anggota suku datang ke
rumah pokok untuk merayakan reba melalui makan malam bersama yang disebut Ka’
Maki Reba. Semua hal yang berhubungan dengan anggota suku seperti
bere tere oka pale, tege tua manu dan hal lainnya didiskusikan.
v
Tarian Reba
Tarian reba merupakan kegiatan menari
masal sambil menyanyikan lagu reba yang disebut Kelo Ghae dan O Uwi. Kegiatan ini
dilaksanakan pada siang hari setelah malam Dheke Reba. Peserta tarian
berpakaian adat lengkap.
v
Doya Uwi
Doya Uwi adalah acara arakan ubi yang
dilaksanakan di kampung.
v
Sui Uwi
Sui Uwi merupakan upacara memotong ubi dalam rumah pokok masing-masing
suku seraya mengkisahkan sejarah suku disamping kesan dan pesan kepada anak
cucu dan leluhur. Acara ini sekaligus juga menutup seluruh rangkaian reba pada
umumnya.
V. Makna Terdalam dari Upacara Adat Reba
Manusia
adalah pelaku kebudayaan[3].
Dalam hal ini penulis tentu menyadari bahwa setiap adat kebudayaaan yang
diciptakan manusia dan yang masih terus dilestarikan sampai saat ini tentu juga
membawa manusia pada suatu perkembangan
yang lebih manusiawi. Melalui kegiatan kebudayaan, sesuatu yang sebelumnya hanya merupakan kemungkinan
belaka, diwujudkan dan diciptakan baru[4]. Namun di lain pihak, adat budaya juga membawa
manusia pada keterikatan dengan aturan-aturan adat yang telah dibakukan yang
membuat manusia merasa tidak bebas.
Telah kita lihat bersama bahwa Reba bagi orang Ngada merupakan suatu
upacara adat guna menghormati para leluhur dan Sang Pencipta yang telah
memberikan kehidupan dan keberhasilan selama setahun.
Disatu sisi, orang Ngada meyakini bahwa para
leluhur yang telah meninggal mempunyai semacam kuasa untuk mempengaruhi
kehidupan anggota suku dan keluarga. Kuasa dari para leluhur akan tampak
apabila mereka diabaikan dan tak diperhatikan. Mereka dapat mendatangkan
malapetaka seperti kematian yang mendadak dalam suatu suku, penyakit, kegagalan
panen dan hal- hal lain yang tak membawa manusia pada kebahagiaan hidup. Dalam
tataran ini memang harus diakui bahwa terdapat unsur mitos dalam upacara ini.
Mitos dalam hubungan dengan leluhur yang dipercaya dapat mendatangkan
perlindungan dan juga malapetaka. Perlindungan yang dimaksud disini yakni
terkait dengan seluruh usaha yang dilakukan setiap suku dalam setahun, akan
berdampak baik dan berhasil apabila mereka tak menyingkirkan leluhur dalam
kehidupan mereka. Sampai pada titik ini kita dapat melihat bahwa mitos dari
upacara untuk menghormati para leluhur ini, dapat memberi jaminan pada masa
kini[5].
Terlepas dari mitos, bahwa kedekatan masyarakat Ngada dalam bentuk penghormatan
kepada para leluhur mereka, mengarah pada apa yang juga diajarkan dalam agama
Kristen bahwa mereka yang telah mendahului kita dapat membantu kita dengan doa dalam perjalanan hidup kita dimuka bumi ini. Penghormatan
kepada para leluhur dalam upacara ini, tidak berarti bahwa masyarakat Ngada
mengesampingkan atau menomorduakan peran Allah sebagai pencipta. Namun perlu
dilihat disini bahwa bagi masyarakat Ngada melalui para leluhur mereka dapat
mencapai sesuatu yang melampaui segala-galanya. Sesuatu itu yang adalah sebab
pertama dan utama dari segala sesuatu
yakni Allah sendiri.
Disisi
lain makna reba perlu dilihat sebagai suatu nilai yang perlu dipertahankan dan
dilestarikan. Pasalnya, dizaman era modernisasi dengan kemajuan ilmu
pengetahuan teknologi, warga Ngada masih menjunjung tinggi nilai budaya dan
adat istiadat secara turun temurun. Warga Ngada menyadari bahwa penting
menghormati leluhur yang telah memberikan kehidupan dan berkat. Ini merupakan
salah satu nilai mendalam dari upacara adat reba. Reba yang dirayakan setiap
tahun dan berlangsung turun temurun bukannya tanpa makna. Reba selain sebagai
moment untuk mengenang dan menghormati
para leluhur secara istimewa, juga menjadi titik permenungan akan nilai luhur
kehidupan yang diwariskan para pendahulu. Para pendahulu telah menanamkan nilai
kedamaian, persatuan, gotong royong, tekun bekerja tanpa kenal lelah, saling
melayani, menghindari rasa dengki dan egois yang harus diaplikasikan dalam
kehidupan. Secara tak langsung makna terdalam dari reba tersimpan pemikiran
etika dan fungsional. Unsur etika dan fungsional ini terkait dengan suatu produk
yang dihasilkan dari upacara ini dalam tahap-tahap upacara ini, yang dilihat
sebagai dasar pijak dalam menata dan
membangun kehidupan bersama, baik dalam membangun kehidupan pribadi, keluarga,
lingkungan atau membangun kehidupan bermasyarakat. Selain itu, dengan adanya
reba orang bisa menimba kekuatan dari menghindari adanya pengaruh budaya yang
mencederai kehidupan bersama. Reba juga sebagai sarana promosi nilai budaya
yang perlu dijadikan sebagai potensi pariwisata. Menurut penulis upacara adat
reba mengandung unsur perdamaian, persaudaraan dan kasih dengan sesama. Banyak
generasi hp, internet dan televisi yang sudah tidak mengetahui makna reba. Reba
adalah suatu awal dari kehendak leluhur yang mewajibkan penerus guna melestarikan
dan mengikuti ketentuan adat, peraturan dan hukum guna menuntun seseorang meraih
kebahagiaan dalam kehidupan.
V1. Nilai Negatif dari Upacara Adat Reba
Selain
makna terdalam dari upacara adat reba yang
telah dikemukakan diatas, penulis sebagai orang asli Ngada juga melihat nilai negatif yang terkandung dalam upacara adat reba. Dalam upacara adat reba biasanya berlangsung
selama tiga sampai empat hari. Dan tentunya bukan sedikit anggaran yang disiapkan
oleh setiap suku dalam kampung tersebut. Biasanya untuk melancarkan upacara ini
setiap suku dalam kampung adat diwajibkan untuk menyiapkan babi, beras, ayam
dan materi yang lainnya. Dalam suku akan
diadakan pembagian dan tentunya setiap kepala keluarga yang masuk dalam suku
tersebut dibebankan pengumpulan-pengumpulan materi yang telah ditetapkan sesuai
dengan ketentuan bersama. Tak dapat dibayangkan bahwa hal tersebut dapat
menjadi beban, apalagi upacara ini dilakukan pada setiap tahun. Dalam hal ini
penulis melihat bahwa ada unsur “ketidakbebasan” dari setiap kepala keluarga
dari setiap suku. Mau tak mau mereka harus taat dengan semua hal yang telah
ditetapkan tersebut. Bagi mereka yang memiliki penghasilan yang cukup hal ini
tak menjadi persoalan. Tetapi menjadi suatu persoalan dan memberatkan bagi
mereka yang berpenghasilan rendah. Dengan segala cara mereka akan mengusahakan apa yang telah diwajibkan oleh kepala suku
maka mereka harus berusaha keras untuk memperoleh apa yang diminta misalnya dengan
cara berhutang pada yang lain. Hal lain yang dilihat disini bahwa upacara adat
reba secara tak langsung memadukan unsur agama dan budaya dalam hal ini terkait
dengan misa inkulturasi. Memang harus diakui pula bahwa kebudayaan juga
dapat digunakan sebagai sarana pewartaan. Paus Yohanes Paulus II menyatakan
bahwa “proses integrasi Gereja ke dalam budaya tertentu adalah suatu proses
yang panjang. Hal ini bukan hanya masalah adaptasi eksternal, karena
inkulturasi adalah suatu transformasi yang dalam dari nilai-nilai budaya yang
otentik melalui integrasi nilai-nilai tersebut ke dalam kristianitas, dan juga
mengintegrasikan kristianitas ke dalam berbagai macam budaya manusia.”
(Redemptoris Missio, Ch. V).
Maka
dalam hubungan dengan misa inkuturasi upacara adat reba, tentunya diperlukan peran
para tokoh agama untuk menjelaskan nilai-nilai iman yang dapat dikonfrontasikan
dengan nilai budaya, sehingga tidak terjadi pencampuran paham-paham budaya ke
dalam agama yang dapat menimbulkan
kehilangan makna asli dari inkulturasi budaya itu sendiri dalam agama. Dengan
demikian masyarakat Ngada tentunya dapat dibantu untuk mengerti secara lebih
baik hubungan iman dan budaya dihadapan Tuhan. Dengan kata lain seperti yang
diungkapkan oleh Almarhum Paus Yohanes Paulus 11 bahwa didalam proses
inkulturasi integritas dari iman Katolik tidak boleh dikorbankan. Gereja memang
harus mampu memberikan nilai-nilai kekristenan, dan pada saat yang bersamaan
mengambil nilai-nilai yang baik dari budaya yang ada dan memperbaharuinya dari
dalam.
V11.
Penutup
Upacara
Adat Reba merupakan warisan leluhur yang
harus tetap dijaga dan dilestarikan
oleh masyarakat Ngada. Dalam upacara adat ini kita dapat belajar bahwa
nilai-nilai budaya dapat membawa manusia untuk semakin bertumbuh dan berkembang
secara lebih manusiawi. Reba dapat menjadi sarana persatuan dan persaudaraan
antar daerah yang juga menjadi dasar untuk membangun kehidupan bermasyarakat
dan berbangsa secara lebih baik. Memang ada nilai negatif yang dapat kita temukan dalam berbagai macam
budaya termasuk dalam upacara adat reba. Namun pada intinya penulis melihat
bahwa upacara adat reba membantu masyarakat Ngada agar tidak hanyut dalam
perkembangan zaman namun perlu menyadari bahwa
apa yang telah diwariskan oleh
para leluhur tersimpan sejuta filosofi hidup yang mendalam.
Daftar Kepustakaan
Bakker,JWM. 1988. Filsafat Kebudayaan Sebuah Pengantar.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Peursen, Van.1976. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta:
Penerbit Kanisius
Kadir,Hatib Abdul.Upacara Adat Reba di Kabupaten Ngada, (http://www.wisatamelayu.com,diakses 14
Oktober 2010).
Oktora,Samuel. Tradisi Reba Bukan Sekedar Reuni, (http:// www.wisata
dan budaya.bolgspot.com, diakses 14 Oktober 2010).
[1] Tradisi Reba, Bukan Sekedar Reuni oleh Samuel Oktora, (Http://wisata
dan budaya.blogspot.com, diakses tanggal 14 Oktober 2010)
[2] Upacara Adat Reba di Kabupaten Ngada oleh
Hatib Abdul Kadir (Http: //wisatamelayu.com, diakses tanggal 14 Oktober 2010)
[3] J.W.M. Bakker SJ, Filsafata Kebudayaan, Sebuah
Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Kanisius,1988, hal 14
[4] Ibid.
[5]
Prof.dr.c.a.van peursen, Strategi Kebudayaan,Yogyakarta:Penerbit
Kanisius,1976,hal 39