Logo

Logo
Latest News
Wednesday, April 22, 2015

AMORIRA : CINTA YANG MEREDAM KEKERASAN MELALUI JALAN DAMAI

Titel pembuka film Amorira (1932/1933). Sumber: http://www.filminnederland.nl

Sumber data film: Centrale Commissie voor de Filmkeuring (Nationaal Archief; A2738) Nieuw Weekblad voor de Cinematografie Nr. 32, 1933
 
Lokasi Syuting: Daerah Ngada (Bajawa) 1932-1933
SutradaraSimon Buis SVD
Pemeran Keli Kadoe, Diroe Doka, Jacobs, Waroe Wesa, Kadoe Woga, Paroe Meo, Tjeke Ladja
Rasio gambar 1.33:1 (4:3) (berwarna)
Format syuting 35mm
Sistem suara Silent
Bahasa utama Bahasa Belanda


Film ini diberi "judul tambahan": haat en liefde bij de bamboeboschbewoners van Borado-Likowali eiland Flores (benci dan cinta di hutan bambu Borado-Likowali, Pulau Flores). Boleh disebut film fiksi ini lebih merupakan kisah pengkatolikan penduduk sebuah desa, yang dilakukan oleh seorang pastor misionaris. Meski demikian kisah utama ini baru muncul pada paruh kedua film.

Paruh pertama mengisahkan Keli Kadoe yang dipaksa kawin dengan Waroe Wesa, padahal dia sudah punya kekasih dari lain desa, Diroe Doka. Suatu hari Waroe memergoki Keli sedang bercengkerama dengan kekasihnya. Maka pecahlah pertengkaran yang berujung pada perang antardesa. Waroe terbunuh. Ayahnya, Paroe Meo, menghendaki Keli kawin dengan adik Waroe. Keli menolak. Permusuhan berlanjut. Penguasa wilayah mengirimkan tentara untuk menghentikan permusuhan ini dan menangkap biang keladinya, Diroe dan Paroe.

Mulai cerita baru tentang seorang pastor yang baru datang ke wilayah itu. Ia berusaha memikat penduduk dengan berbuat baik dan sedikit demi sedikit mengajarkan agamanya dan mengajak penduduk desa untuk membangun gereja. Ia juga dilapori oleh Keli, bahwa kekasihnya yang tidak bersalah ditahan di penjara. Pengadilan yang kemudian diadakan menentukan bahwa Paroe bersalah dan dihukum enam bulan.

Lepas dari penjara Paroe tetap menuntut Keli mengawini adik Maroe. Pastor turut campur: perkawinan tidak bisa dipaksakan. Paroe marah. Ia berusaha membunuh pastor. Pertama, membakar rumah pastor, kemudian memarang tubuhnya, hingga pastor terluka dan harus dirawat. Peristiwa ini membuat penduduk memusuhi Paroe, hingga yang terakhir ini minta maaf. Damai terwujud. Pastor melakukan pembaptisan pada sejumlah penduduk. Film ini juga dipenuhi deskripsi etnografis tentang adat desa Flores berbentuk tarian perang dan kegiatan sehari-hari.

Film ini diwarnai dengan sistem celup (tinting) dan diputar dengan musik pengiring hasil rekaman etnomusikolog Jaap Kunst dari plat gramofon terpisah. Produksi film ini dimulai pada paruh kedua 1930 dan berlangsung selama 19 bulan. De Indische courant mencatat pemutaran film ini di Katholieke Sociale Bond Surabaya tanggal 11 Agustus 1932. Film ini lulus sensor dengan rekomendasi baik di Belanda pada 24 April 1933. Masa putar film ini sekitar 2 jam dengan panjang film 2443 meter menurut data sensor tahun 1933, bisa diperkirakan bahwa Amorira adalah film dengan kecepatan putar sekitar 16 bingkai per detik (frame per second).

Pada waktu mengerjakan project ini, kabar naas tiba di kompleks keuskupan Lembah Ndona pada suatu hari di pertengahan Maret 1932. Monsinyor Arnold Verstraelen, uskup Nusa Tenggara saat itu, mengalami kecelakaan mobil dalam perjalanan ke Seminari di Todabelu. Seekor kuda kaget mendengar derum mesin mobil di jalanan Flores yang tenang dan lantas lepas kendali. Pengemudi mobil yang ditumpangi Uskup tak dapat menguasai kemudi dan menabrak batu besar. Uskup Verstraelen meninggal seketika.

Pada saat yang sama, Pastor Simon Buis sedang menyelesaikan film reka-ulang dari Flores-nya yang kedua, Amorira. Setelah keberhasilan film sebelumnya, Ria Rago, ia mempersiapkan film yang lebih kolosal melibatkan penduduk dua desa sekitar Likowali dan para perwira militer pemerintah kolonial di Bajawa. Meninggalnya Monsinyor Verstraelen berarti hilangnya saka guru penopang produksi film untuk pencarian dana operasional misi Flores.

Monsinyor Verstraelen adalah sang produser film-film misionaris dari Flores yang telah menarik perhatian banyak anak muda untuk membaktikan diri sebagai padri. Ia adalah anggota Societas Verbi Divini, ordo (perkumpulan rohaniwan) yang giat menggalang perhatian dan dana melalui produksi media, antara lain melalui penerbitan majalah dan pembuatan film. Di Jerman popularitas media buatan SVD bahkan menghasilkan istilah plesetan kepanjangan nama ordo ini menjadi “Sie verkaufen Drucksachen” (mereka menjual barang cetakan). Majalah Katholieke Missiën terbitan mereka mencapai oplah 100.000 eksemplar pada  tahun 1920-an dan 1930-an. Film-film produksi Soverdi, rumah produksi ordo ini, terus berkeliling mengumpulkan dana. Monsinyor Verstraelen termasuk salah satu tokoh SVD yang sangat giat memanfaatkan majalah dan film untuk menggalang dana misi Flores.

Ketika Ria Rago diluncurkan di Utrecht, Belanda, pada Desember 1930, Monsinyor Verstraelen sendiri yang tampil mengantar film itu. Ia juga berkeliling Eropa dan Amerika memimpin acara-acara penggalangan dana selama lebih dari setahun, dengan atau tanpa Ria Rago.

Ada tiga film reka-ulang yang dibuat di Flores. Meskipun hanya dua yang saat ini dapat diakses secara publik, terlihat ada upaya untuk perlahan-lahan lebih banyak memperlihatkan peran misi SVD di Flores. Peran misionaris dalam Ria Rago (1930) boleh dibilang sangat kecil, sementara dalam Amorira (1932/3) kisah perintisan misi merupakan separuh porsi kisah film. Dari catatan-catatan arsip, dapat diperkirakan bahwa film ketiga Anak Woda (1933) menceritakan keberhasilan pembangunan komunitas yang dibantu oleh SVD.
Iklan Amorira di koran 'Limburgsch dagblad' edisi 11 Sep 1936

Wafatnya Uskup Verstraelen menimbulkan kekosongan kepemimpinan resmi. Sementara itu, Eropa dan Amerika Serikat mulai dicekam depresi ekonomi mendalam sejak 1929. Belanda yang masih bisa mempertahankan ekonominya dari pengaruh krisis selama dua tahun joke mulai merasakan akibatnya sejak awal tahun 1932. Dapat diduga bahwa masa pergantian kepemimpinan dan kondisi ekonomi yang memburuk membuat proyek penggalangan dana lewat Amorira dan Anak Woda tidak segemilang film pertama.

Catatan tertua yang tersedia mengenai pemutaran Amorira berasal dari De Indische courant tentang pertunjukan tanggal 11 Agustus 1932 di Katholieke Sociale Bond Surabaya. Menurut laporan, film ini diputar untuk kalangan umat gereja dan cukup menarik perhatian walaupun tidak sampai menghadirkan penonton berjumlah besar. Film ini lulus sensor dengan rekomendasi baik di Belanda pada akhir Apr 1933, akan tetapi hanya sedikit sekali kabar mengenainya yang muncul di surat kabar setempat. Beberapa iklan dan berita komunitas gereja mengenai pemutaran Amorira dapat ditemukan di koran lokal antara Sep 1936 hingga Sep 1937.

Film ini merupakan reka-ulang suatu kejadian yang dicatat tahun 1917, yakni perang akibat cekcok antar desa soal perkawinan lazim terjadi di Flores pada masa itu. Seorang gadis bernama Keli Kadoe yang sudah punya kekasih bernama Diroe Doka. Sayangnya Diroe berasal dari desa lain. Keli dijodohkan paksa dengan pemuda sekampungnya, Waroe Wesa. Penolakan Keli memicu perang antar desa sampai harus melibatkan campur-tangan militer.

Keterlibatan orang luar atau pendatang dalam kehidupan warga lokal dari cerita ini menarik untuk dikaji. Jika menilik alur cerita, pihak militer didatangkan untuk mengatasi kekerasan antar komunitas yang dilakukan oleh warga setempat. Di sini kita bisa melihat bahwa militer (dan pemerintah kolonial) ditampilkan sebagai solusi atas konflik masyarakat lokal. Akan tetapi, solusi yang bagaimana?

Penampilan militer di dalam film ini terbatas dalam situasi konflik. Pendekatan yang mereka terapkan joke bersifat kekerasan, baik secara fisik (adegan penembakan dan pemukulan warga yang berperang) maupun secara institusional (pemenjaraan). Sementara itu di bagian lain, seorang misionaris sedang berusaha mendekati warga lokal dengan cara halus dan penuh kasih. Meskipun sang misionaris menghadapi ancaman maut, ia tetap menempuh jalan kasih dan memaafkan warga yang bersalah kepadanya. Film ini menempatkan militer/pemerintah kolonial sebagai karakter yang koersif, sementara misionaris/misi sebagai karakter yang persuasif. Film ditutup dengan akhir bahagia, keberhasilkan sang misionaris dalam kerjanya di tengah masyarakat setempat.

Jukstaposisi antara cara ‘keras’ yang ditempuh militer dengan cara ‘halus’ yang dipakai gereja dalam film ini terasa jauh lebih menonjol jika dibandingkan dengan subplot kisah cinta Keli-Diroe. Kita tidak menyertai Keli dalam perjuangannya mempertahankan pilihan untuk menolak kawin paksa. Adegan-adegan panjang yang melibatkan masyarakat lokal lebih banyak terdiri dari protocol persiapan perang dan ansambel pemain pendukung atau figuran untuk memperlihatkan beberapa upacara adat. Berbeda dengan dalam Ria Rago, adegan-adegan etnografis dalam film ini berfungsi sebagai persiapan menghadapi konflik, akan tetapi bukan inti dari konflik.
Scene gambar diambil dengan latar puncak gunung inerie

Kisah cinta Keli dibiarkan mengambang tipis sebagai latar belakang, sementara beban dramatik yang lebih besar justru berada di pundak Paroe Meo, ayah Waroe Wesa dan panglima Likowali. Paroe bukan saja memulai peperangan, akan tetapi juga mengalami langsung tindak kekerasan militer kolonial dan konflik dengan priest di desa. Paroe mempertanyakan akibat invasi kekuatan asing ke wilayahnya dan melawan dengan jalan kekerasan, sementara Keli bertindak lebih pragmatis dengan meminta bantuan priest membebaskan Diroe dari penjara. Dalam konstelasi lakon warga lokal, Paroe adalah antagonis, sementara Keli adalah protagonis. Sekali lagi jukstaposisi antara kekerasan dan jalan damai.

Pertentangan antara cara paksaan dan bujukan ini anehnya tidak diterapkan oleh Pastor Buis dalam skema warna Amorira. Dalam catatan restorasi film yang tampil pada awal kopi film di dunia maya, tertulis bahwa sumber utama restorasi ini adalah kopi nitrat yang telah hilang sebagian besar intertitelnya. Hanya ada informasi mengenai rekonstruksi intertitel berdasarkan information sensor, sementara informasi mengenai skema warna tidak dinyatakan. Kemungkinan besar versi yang direstorasi ini adalah rangkaian gambar positif dengan warna celupan (tinting) yang disambung-sambung (spliced). Metode ini sangat padat karya (labor-intensive), karena konsekuensinya setiap kopi harus dicelup dan disambung sesuai skema warna yang diinginkan.

Menilik kecanggihan pewarnaan dan bentuk grafis intertitel yang diletakkan di atas gambar dan dirancang khusus dengan trademark Soverdi, tampaknya biaya pasca produksi Amorira lebih besar dibandingkan Ria Rago. Ada kemungkinan pihak produser Soverdi merasa sangat bersemangat setelah mendapat tanggapan penonton yang sangat baik ketika meluncurkan Ria Rago dan ingin menawarkan sesuatu yang lebih hebat. Sebetulnya menjelang akhir 1920-an teknik ini jarang digunakan untuk film-film komersial yang didistribusikan dengan jumlah kopi yang banyak. Patut diduga bahwa Amorira dikopi dalam skala kecil sehingga kopi putarnya masih dapat dibuat dengan cara yang sangat padat karya tanpa menghabiskan terlalu banyak dana.

Film ini seluruhnya diwarnai dengan metode celup warna sepia atau kuning kecokelatan, hijau dan biru gelap, serta titel pembukaan berwarna jingga/ungu. Meskipun setiap sutradara dan rumah produksi film mempunyai kebijakan masing-masing tentang arti warna dalam film bisu, ada beberapa hal umum yang disepakati menjelang akhir 1920-an akibat sifat produksi kopi film yang semakin massal. Warna kuning atau kuning kecokelatan lazim dipakai untuk menggambarkan suasana siang di luar ruangan. Sementara warna hijau sering digunakan untuk menggambarkan hutan, kebun atau adegan yang berhubungan dengan keceriaan atau kebahagiaan. Sementara itu warna biru gelap cenderung banyak digunakan untuk adegan malam hari atau menggambarkan kegelapan, kecemasan atau ancaman. Warna jingga/ungu yang digunakan dalam titel pembuka biasanya digunakan untuk menggambarkan otoritas yang agung dan berwibawa. Tentu saja warna yang terdapat dalam kopi nitrat sumber restorasi Amorira sudah mengalami perubahan akibat usianya, sehingga warna yang tampak saat ini belum tentu akurat sesuai warna semula.

Selain fungsi membawa makna estetis yang berkaitan dengan emosi adegan, pewarnaan film juga membuat gambar menjadi lebih gelap. Kita tahu bahwa sejak memulai laboratorium mandirinya di Lembah Ndona, kamerawan Pastor Piet Beltjens sangat kewalahan mengendalikan cahaya pada gambarnya. Bukan saja matahari Flores lebih terik, suhu atmosphere joke lebih hangat sehingga gambar di atas film lebih cepat terproses sampai kadang terlalu terang. Pewarnaan gambar Amorira memang sangat membantu melembutkan cahaya gambar kalau dibandingkan dengan gambar Ria Rago.

Dari versi yang dapat kita lihat saat ini, pembubuhan warna khususnya kuning/kecokelatan dan hijau tidak selalu memperlihatkan pola khusus yang menunjang penceritaan. Kode warna-warna ini tampaknya menunjukkan hubungan dengan pembedaan ruang atau waktu, meskipun tidak selalu ajeg. Kadang warna biru dipakai untuk mewarnai adegan malam hari, seperti layaknya konvensi pewarnaan film bisu atau warna hijau digunakan untuk adegan-adegan yang bernuansa emosi positif. Maksud estetik penerapan warna ini sulit disimpulkan dari menilik versi video dunia maya tanpa menyelidiki langsung kopi acuan restorasi.

Meskipun saat ini kita masih belum dapat menonton film Anak Woda, akan tetapi dari dua film reka-ulang ini terlihat peta hubungan yang sangat menarik antara warga lokal, pemerintah kolonial dan aktor non-pemerintah (gereja) pada tahun 1930-an. Film-film ini bukan kisah heroik perang melawan penjajah seperti yang lebih banyak kita temui dalam literatur sejarah di sekolah dan karena itu menunjukkan nuansa lain dari percaturan politik lokal pada masanya.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: AMORIRA : CINTA YANG MEREDAM KEKERASAN MELALUI JALAN DAMAI Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi