Logo

Logo
Latest News
Wednesday, April 22, 2015

Lembah Ndona di Dunia Maya: Roman Adat-Religius ala Flores tahun 1930-an


Sumber: Lisabona Rahman

Maret 1930. Dua puluh tujuh peti berisi tiga kamera, ribuan meter stok film nitrat, dua proyektor, generator listrik dan peralatan cuci-cetak film tiba di Ende, Flores. Hari ini, setelah lebih dari 80 tahun kemudian, seluruh dunia masih bisa melihat hasilnya lewat internet.

Tidak lama sesudah Loetoeng Kasaroeng (1926) dibuat di Bandung, tiga film rekaan dari Flores diluncurkan oleh Societas Verbi Divini (Soverdi) di Belanda. Ria Rago adalah film rekaan pertama yang diluncurkan Soverdi. Soverdi bukanlah perusahaan produksi film biasa, melainkan sebuah ordo (perkumpulan rohaniwan) dari gereja Katolik.

Antara tahun 1925-1933, pastor Simon Buis SVD, menghasilkan tiga film perjalanan dan tiga film cerita rekaan yang diputar oleh Soverdi di berbagai kesempatan penggalangan dana di Belanda dan sekitarnya. Dua dari tiga film cerita karya Pastor Buis ini masih dapat kita saksikan secara lengkap, hasil rekonstruksi EYE Film Institut. Berikut link video; "Ria Rago" - klik DISINI

Soverdi membuat film dengan tujuan menggalang dana untuk misi. Film perjalanan Flores-Film: Reis naar Insulinde en Missie op Flores Nederlands Oost-Indië (1925) karya Pastor Simon Buis SVD berhasil menyedot perhatian penonton. Saat diputar di ruang serbaguna Tivoli di Utrecht yang berkapasitas 2.000 kursi, film perjalanan ini selalu penuh penonton selama seminggu dengan frekuensi pemutaran tiga kali sehari.

                                                                                                                              Pastor Simon Buis
Setelah berhasil dengan film perjalanan, Soverdi mencoba bentuk lain: film cerita. Skenario film dikembangkan berdasarkan kisah nyata yang direka-ulang. Demi menghasilkan karya-karya film yang mengesankan umat, ordo SVD mengerahkan pastor-pastornya untuk menempuh pendidikan sinematografi. Buis, sebagai pastor-pembuat film sukses, dikirim ke New York pada tahun 1929. Menurut catatan biografinya, di sana ia menamatkan pendidikan sinematografi yang setara dengan tiga tahun sekolah hanya dalam tiga bulan saja. Pastor Simon Buis, SVD (1892-1960) adalah tokoh penting bagi komunitas Katolik Indonesia, terutama di wilayah Flores, Bali dan sekitarnya. Ia ditugaskan merintis komunitas gereja Katolik di beberapa wilayah daerah ini. Pastor Buis sempat ditahan oleh tentara pendudukan Jepang. Ia tetap tinggal di wilayah Indonesia sampai tahun 1951 dan kemudian kembali ke Belanda.

Seperti juga banyak film yang diproduksi pada periode pra-kemerdekaan di Indonesia, film-film Soverdi dihasilkan oleh tim kerja campuran antara orang Eropa dan orang setempat. Percampuran ini kiranya bukan sekadar siasat penghematan biaya seperti yang lazim dilakukan oleh produser film komersial dalam pembuatan film-film fantasi eksotis seperti Tabu (Murnau & Flaherty, 1932) atau Goona-Goona, An Authentic Melodrama of the Island of Bali/Kriss the Sword of Death (Armand Denis & Andre Roosevelt, 1932). Dalam hal film-film Soverdi, keterlibatan pemain lokal adalah mutlak untuk menciptakan gambaran otentik kehidupan masyarakat lokal di wilayah kerja ordo SVD.

Ada dua hal yang menjadi prioritas saat Uskup Nusa Tenggara Monsinyor Arnold Verstraelen, SVD (1882-1932) menugaskan pembuatan film-film rekaan dari Flores: ketepatan detil etnografis dan perlakuan yang peka terhadap warga lokal. Karena itu Soverdi tidak mau merekrut kru film profesional dari Belanda dan memilih melatih para pastor menjadi kru untuk dikirim ke lokasi.

Pastor Buis tidak sendirian. Bersamanya, Pastor Pieter Beltjens, SVD ditugaskan belajar khusus soal penggunaan kamera dan selama tiga bulan magang di laboratorium film di Chicago sampai menemukan cara yang cocok untuk menghasilkan gambar di atas film nitrat di tengah lingkungan tanah tropis bergunung api.

Laboratorium Beratap Sirap di Lembah Ndona

                       Kompleks Keuskupan di Lembah Ndona, tahun 1915
April 1930. Pastor Pieter Beltjens dengan kecewa menghadapi bak semen berdinding ganda tempat penampungan air hujan yang mengaliri atap sirap kompleks keuskupan. Ia berharap air hujan bisa menghasilkan campuran larutan cuci yang lebih baik ketimbang air tanah setempat yang berpasir dan terlalu kaya mineral vulkanis. Pastor Beltjens harus memutar akal mencari cara menyaring 2.500 liter air, selain juga harus mendinginkannya sampai mendekati 18 derajat Celcius, suhu ideal untuk proses cuci film.


Sementara itu Pastor Simon Buis sibuk berkeliling kampung untuk mewawancarai penduduk. Ia harus menulis ulang skenario yang sudah disiapkannya selama setahun belakangan dengan memasukkan detil kehidupan penduduk dan prosesi adat yang seakurat mungkin. Wawancara dilakukan dalam bahasa Lio.

Selain melengkapi skenario, Pastor Buis juga harus melakukan casting. Karena film ini adalah film bisu, karakter visual adalah satu-satunya bahan pertimbangan. Para pemeran pembantu dipilih tanpa kesulitan karena karakter wajah dan penampilan mereka sudah sangat menunjang. Tapi menemukan pemeran utama, sang pemudi salehah, urusannya lain lagi. Sesudah berkali-kali melakukan latihan dan uji-coba, Ria Rago terpilih sebagai aktris pemeran utama.

Di laboratorium, Pastor Beltjens mulai menemukan titik-titik terang sesudah bereksperimen hampir enam minggu. Ia membuat lima bak penyaringan air untuk mengurangi kadar pasir dan mineral. Supaya mendapat temperatur terendah, proses penampungan dan penyaringan air harus dikerjakan pada malam hari. Hasil air saringan bisa mencapai suhu rata-rata 22-24 derajat Celcius. Inilah kompromi terbaik yang bisa dicapai laboratorium di Ndona. Dibandingkan suhu ideal standar larutan cuci film, air Ndona lebih hangat 4-6 derajat. Pastor Beltjens harus mengakali waktu cuci film seraya berhadapan dengan resiko gambar filmnya nanti akan bertambah tingkat kontrasnya. Pengambilan gambar pun siap dimulai. 

 Ria Rago, aktris pemeran utama
Adegan-adegan di lokasi dibuat pada pagi hari, antara jam 10 sampai jam 1 siang. Lepas dari itu sinar matahari sudah kelewat terik. Pengambilan gambar selalu dilakukan empat hari sepekan, mulai Senin sampai Kamis. Pastor Beltjens mencuci film negatif setiap hari, memeriksa apakah tiap adegan terekam dengan jelas, sembari menyiapkan bahan pemutaran untuk akhir pekan. Tiap hari Minggu sore sehabis ibadat, para pemain dan kru film berkumpul menonton hasil pengambilan gambar pekan itu. 

 Ritual ini berjalan selama tiga bulan. Pastor Buis kadang harus pulang dari lokasi dengan tangan hampa. Para pemeran tak selalu taat jadual dan mangkir karena pergi mencari ikan atau bekerja di ladang. Ada kalanya, mereka juga sedang malas main film dan pura-pura sakit. Di hari-hari seperti ini, Pastor Buis harus mendatangi rumah pemeran dengan membawa oleh-oleh demi membujuk para aktor. Kadang, meskipun semua kru dan pemeran lengkap terkumpul, Ria Rago tak bisa menahan tawa sehingga pengambilan gambar untuk adegan yang serius atau sedih harus diulang.

Menjelang Oktober pada tahun yang sama, Pastor Beltjens berangkat ke Belanda untuk proses pasca-produksi. Ia jugalah yang bertanggungjawab menyelia proses persiapan musik pendamping untuk pertunjukan film ini.
                                                                                                                       Etnomusikolog Jaap Kunst
Masih selaras dengan semangat menghasilkan gambaran otentik, Soverdi memutuskan mengambil inspirasi dari hasil rekaman Jaap Kunst - Bapak Etnomusikologi dunia - yang dibuat di Flores. Kunst berbulan-bulan mengelilingi kepulauan Nusantara dengan membawa gramofon perekam Edison Amberola untuk menyimpan musik setempat. Puluhan silinder lilin dari koleksi Kunst dijadikan dasar komposisi oleh dirigen asal New York, Fritz Pohl. Karya musik Pohl diproses kembali menjadi pelat siap putar untuk gramofon di laboratorium di Berlin dengan menggunakan sistem suara Lignose-Breusing.

“Inderdaad inlanders... en van welk allooi!”

Desember 1930. Pada pagi yang dingin itu para wartawan berkumpul di gedung teater Flora, Utrecht. Asosiasi wartawan Katolik Belanda (De Nederlandsche Rooms-Katholieke Journalistenvereeniging) mengadakan pemutaran khusus untuk publikasi film Ria Rago. Pastor Beltjens hari itu bertugas menggantikan sutradara Pastor Buis yang masih berada di Flores untuk mendampingi Uskup Nusa Tenggara dalam konperensi pers. Mereka harus meyakinkan para wartawan bahwa film ini dibuat semata-mata untuk menunjukkan betapa penting dan berat misi yang mereka hadapi di Flores sehingga perlu dukungan umat dari Belanda.

Perekam jenis Edison Amberola yang digunakan Jaap Kunst
Reaksi koran-koran Belanda terhadap Ria Rago menggambarkan dengan jelas bagaimana masyarakat Belanda saat itu membayangkan Hindia sebagai wilayah koloni.

Koresponden koran sore De Tijd, koran Katolik tertua Belanda, menulis: “Film baru ini menunjukkan bagaimana kasih Kristiani dapat mengatasi kekejaman para penyembah berhala.” Artikel ini diikuti kisah panjang tentang perjuangan Pastor Buis dan Beltjens menaklukkan tantangan alam Flores demi menghasilkan Ria Rago. Jelas bahwa De Tijd berusaha keras mendukung upaya penggalangan dana Soverdi.

Tak cuma mendapat pujian dari koran Katolik, Ria Rago pun nampaknya memukau kalangan liberal Belanda. Koran Algemeen-Handelsblad menulis, “... Ria Rago jelas bukan film bertendens yang membuat penonton jengkel karena dijejali informasi berlebihan yang diolah dengan berat-sebelah... [Film ini] berselera tinggi dan tak melebih-lebihkan, meskipun tetap membuat kita jeri akan kekejaman orangtua [Ria]. Kerja para misionaris tampil dengan halus sebagai latar dengan tetap menonjolkan kehidupan masyarakat kampung yang diperlihatkan dengan akurat.” Resensi yang sama juga terbit satu bulan kemudian di koran Soerabaiasch-Handelsblad.
Adegan film 'Ria Rago'

Tentu saja, tidak semua koran bereaksi positif. Het Volk, harian serikat pekerja Katolik dari Belgia, sama sekali tidak bersimpati pada film ini. “Meskipun dari sudut pandang budaya upaya ini harus dihargai, kegagalannya harus dicatat. Kegagalan [film ini terlihat] baik dari sisi sinematik maupun propaganda.” Skenario Ria Rago dianggap sangat lemah, lebih mirip laporan kerja misionaris yang ditulis ulang menyerupai karya sastra. Komposisi gambar-gambarnya pun dianggap sangat buruk karena banyak detil wajah yang terpotong akibat kesalahan framing. Pencahayaan gambarnya dinilai buruk dan terlalu minim close-up. Bagi Het Volk, film ini tak lebih dari kumpulan gambar yang disambungkan secara serampangan dan diberi arti oleh intertitel (teks antara dua gambar) yang terlalu nyinyir. Het Volk menyimpulkan bahwa kegagalan Ria Rago adalah akibat Soverdi tak mau mempekerjakan kru film ahli.
Meskipun tanggapan para wartawan mengenai Ria Rago berlawanan, nampaknya semua setuju bahwa elemen musik yang mengiringi adegan upacara adat membuat film ini terasa sangat otentik dan istimewa.

 Para pemain lokal dalam 'Ria Rago'.
 Ria Rago berkeliling dari komunitas ke komunitas di Belanda, Belgia, Jerman, Inggris, Irlandia dan Amerika Serikat dan memicu banyak diskusi tentang kondisi perempuan (Katolik) di komunitas adat. Di luar tanggapan tentang mutu sinematik atau cerita film, tanggapan terhadap Ria Rago juga memperlihatkan bahwa film ini sangat berhasil menempatkan masyarakat lokal sebagai sorotan utama. Koresponden koran Limburgsch Dagblad, melaporkan pada Desember 1935, bahwa sesudah pemutaran di Polytechnical Theatre London muncul komentar di koran Katolik lokal The Universe, “... bahkan Hollywood atau Paris belum pernah seberani Ria Rago menempatkan warga asli sebagai pemeran utama dalam film cerita.” Wartawan Limburgsch Dagblad pun mengamini dan menulis, “Inderdaad inlanders... en van welk allooi!” (Mereka memang inlander... dan [mereka] luar biasa!).

Berita dan tanggapan tentang Ria Rago terus muncul di media massa Katolik hingga tahun 1936, sampai Pastor Buis meluncurkan film rekaan kedua yang dibuatnya di Flores, Amorira. Selain berita mengenai pemutaran film dan resensi, Ria Rago juga sempat menjadi tajuk utama di media massa nasional setelah kecelakaan kebakaran pada sesi pemutaran film ini di Hilversum pada September 1934. Percikan api di dekat proyektor mengakibatkan rol film nitrat terbakar. Pembakaran nitrat terkenal kuat nyalanya, sangat cepat menjalar lagi mustahil dipadamkan. Tiga anak perempuan meninggal dan lima puluh lainnya terluka. Insiden ini memicu perubahan aturan hukum tentang pemutaran film non-komersial di seluruh Belanda. Sejak kecelakaan itu film nitrat dilarang penggunaannya untuk pertunjukan film selain di bioskop yang memiliki kamar proyeksi kedap api.

 Ria Rago dan Kita, Sekarang

Menonton film ini pada zaman sekarang bukan perkara sederhana. Betul bahwa film ini mudah diakses secara online. Kalau mengingat betapa susah mendapatkan film-film sezaman yang dibuat di Nusantara, jelas kita patut bersyukur dan merayakan keberadaan Ria Rago di dunia maya. Di sisi lain, film ini hanya menyediakan cuplikan kecil dari zamannya, selebihnya masih sangat samar. Informasi tentang Nusantara tahun 1930-an dalam film lebih banyak berasal dari Jawa dan Sumatera.

 Kecelakaan kebakaran saat pemutaran Ria Rago di Hilversum, 1934

Selain itu, kita sudah terbiasa dengan film berwarna-bersuara dengan pola naratif mutakhir, sehingga menonton Ria Rago memerlukan konsentrasi ekstra. Harus dibayangkan bahwa pada zamannya film ini diputar bersama iringan musik berikut pengantar mengenai kerja misionaris dan konteks kehidupan masyarakat di sekitar lembah Ndona di Flores. Sebelum menonton, ada baiknya meluangkan sedikit waktu untuk memahami soal film bisu, konteks pembuatannya dan ritual adat yang ditampilkan.

Daniel Dhakidae, ilmuwan politik asal Flores, menyatakan bahwa Ria Rago memberikan gambaran otentik mengenai ritual adat saat lamaran Haji Dapo, juga mengenai kebiasaan-kebiasaan di lingkungan misionaris sampai ke detil cara berpakaian lelaki dan perempuan lokal yang tinggal di asrama misi. Kita bisa melihat perbedaan yang mencolok antara cara berpakaian ‘orang kampung’ dengan anak asrama.

Daniel menjelaskan bahwa ritual yang dilakukan Rago Da’oe ketika Ria melarikan diri terdiri dari dua bagian yang lazim dijalankan: mencari pertanda dengan jengkalan tangan dan hati ayam yang baru disembelih sebagai persembahan kepada Wula (Bulan) dan Leja (Matahari). Menurutnya, kedua ritual menunjukkan pertanda buruk bagi Rago Da’oe, seperti ditunjukkan oleh mimik wajah dan sikap tubuhnya. Ia juga menekankan bahwa bagian paling menarik film ini adalah penempatan dua elemen penting dalam suntingan paralel (cross cutting): perayaan diterimanya lamaran Dapo Doki dan pelarian Ria Rago.

Bagian ini bisa dibilang adalah titik konsentrasi pesan yang ingin disampaikan Ria Rago. Judul lengkap film ini adalah Ria-Rago, de Heldin van het Ndona-dal (Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona). Sekuens perayaan lamaran Dapo Doki yang ditempatkan paralel dengan pelarian pemudi saleh menandai transformasi Ria dari gadis biasa yang periang menjadi sang martir yang teguh pendirian. Rago Da’oe dan warga kampung mewakili kepentingan kolektif adat yang serakah, sementara Ria mewakili pemberontakan individu dibawah lindungan misi suci Kristiani. Konflik adat versus individu berkesadaran ‘Barat’ (dalam hal ini bisa berarti pendidikan Barat ataupun agama Kristen) seperti ini sangat populer sebagai plot cerita dalam novel, terutama jika dibandingkan dengan terbitan Balai Pustaka sejak tahun 1920-an sampai 1930-an. Dalam teks-teks berbahasa Belanda bahkan ada istilah 'adat-roman' untuk menyebut genre cerita dengan plot serupa. Suntingan paralel di sinilah yang meningkatkan ketegangan kisah film dan membuat kita berpihak kepada Ria.

 Pastor Pieter Beltjens
 Meskipun cara penyuntingan paralel sudah dikenal dalam dunia film sejak tahun 1903 lewat film The Great Train Robbery (Edwin S. Porter), tapi penggunaannya terus mengalami pencanggihan sampai sekarang. Dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Ria Rago menerapkan cara ini, 27 tahun setelah dikenal oleh pembuat film di Amerika (ingat bahwa Pastor Buis dan Beltjens dilatih di sana). Tempo suntingan paralel dalam Ria Rago terasa lamban akibat masing-masing shot terlalu panjang. Kurangnya close-up juga membuat intensitas emosionalnya kurang kental. Tapi di sisi lain, suntingan paralel ini menampilkan paduan yang cukup rumit untuk ukuran film tahun akhir 1920-an dan 1930-an karena mampu melebur banyak hal sekaligus: penggabungan kejadian di dua tempat dalam waktu bersamaan, pertentangan suasana psikologis Ria dengan Ayahnya yang sedang berpesta dan pertikaian kepentingan keluarga/adat dengan iman Katolik.

Kurangnya close-up di sini perlu dibahas secara khusus. Close-up adalah kartu truf dalam tradisi film bisu, semacam kompas emosi yang menggiring reaksi penonton. Kritikus kenamaan awal abad ke-20 Béla Balázs menulis pada tahun 1923, “... film telah membawa senandika bisu (silent soliloquy) ke hadapan kita, di mana wajah bisa berbicara dengan rona makna yang paling tersamar tanpa sedikitpun kelihatan lancung dan membuat penonton merasa muak. Dalam senandika bisu ini jiwa pribadi manusia menemukan bahasa yang lebih alamiah dan leluasa dibanding senandika lisan manapun, karena ia bertutur secara naluriah, di bawah sadar.” Kekuatan close-up dalam film bisu sangat menentukan penilaian kualitasnya. Ria Rago gagal memanfaatkan kekuatan close-up dengan jitu. Di sisi lain, kalau mengingat betapa sulitnya Pastor Buis menyutradarai pemerannya, kita bisa menduga bahwa minimnya close-up adalah jalan aman untuk menghindari pemborosan stok film dan efisiensi waktu produksi film. Tak bisa dibayangkan berapa lama waktu yang bakal dihabiskan Pastor Buis untuk mengajarkan ilmu peran di Lembah Ndona demi mendapatkan close-up yang layak. Tengoklah bagaimana semua pemeran diberi kesibukan ekstra pada saat shooting supaya penampilannya kelihatan lebih alamiah dan tidak terus-terusan memandang ke arah kamera.
Jika diperhatikan, Ria Rago lebih banyak terdiri atas shot-shot ‘aman’ antara full-shot sampai medium-shot yang digunakan untuk membangun situasi ketimbang emosi. Ada dua alasan yang tidak saling meniadakan, bahkan menunjang satu sama lain, yang sepertinya mendorong pengambilan jalan aman ini: tingkat keahlian pemeran amatir yang rendah dan kepentingan menangkap suasana lokal yang otentik. Film ini akhirnya memang tidak menciptakan momen-momen melodramatis seperti kebanyakan film bisu, tapi memungkinkan penonton menangkap dan memahami lembah Ndona dan warganya mendekati cara penceritaan film perjalanan.

Soverdi menekankan bahwa Ria Rago adalah film reka-ulang kisah nyata, beberapa literatur bahkan menyebutnya sebagai film dokumenter dan bukan film cerita. Kalaupun kita berusaha melupakan konteks produksi film ini dan semata-mata melihat film ini sebagai teks mandiri, kita akan tetap melihat ketaksaan (ambiguitas). Di satu sisi, film ini dibuka dengan intertitel “Waktu dan tempat kejadian sesungguhnya: Misi Flores, Hindia Belanda, 1923” yang langsung memberitahu penonton bahwa film ini bukanlah rekaman kejadian sebenarnya. Di sisi yang lain, dengan menyatakan bahwa kisah ini betul-betul pernah terjadi, Ria Rago melakukan klaim kebenaran selayaknya berita atau karya dokumenter.
 Titel pemeran 'Ria Rago'
Cara menyuguhkan para pemeran dalam kredit pembukaannyapun menarik. Dalam kolom ‘acteurs’  disebutkan nama-nama pemeran, sementara dalam kolom ‘spelers’ (peran) tidak ada satu nama pun dari kejadian aslinya, hanya ada daftar tokoh cerita seperti ‘gadis pemberani’ atau ‘ayah yang serakah’. Juga, tak ada pernyataan bahwa nama-nama tokoh dalam kejadian asli sengaja disembunyikan. Ditilik dari atribut relijius atau profesional nama-nama pemeran seperti ‘Hadji Dasa’, ‘Martinus Koenoe’ atau LE Dr. JM Kannoo, kelihatannya mereka dipilih berdasarkan kecocokan antara agama/profesi dengan karakter yang diperankan. Artinya, para pemain dipilihkan peran yang mendekati identitas aslinya, jauh dari kecenderungan cara kerja pemeran profesional yang dituntut masuk ke dalam identitas peran apapun asal cocok dengan penampilan, tanpa peduli latar sosialnya. Dari sini juga terbaca semacam keinginan untuk lebih menonjolkan para pemeran lokal yang dituliskan nama lengkapnya, sementara para londo misionaris dipertahankan anonim. Detil ini seringkali terlewat dalam penyusunan kredit film dan gejalanya sampai sekarang masih bisa kita lihat dalam film-film koproduksi, di mana nama-nama pemain atau kru lokal dibiarkan tidak lengkap atau salah tulis.

Satu hal lagi yang juga taksa adalah pilihan musik pengiring. Kalau benar-benar ingin mengukuhkan ciri dokumenter, Ria Rago bisa saja dilengkapi dengan rekaman suara dari adegan-adegan di lokasi. Tetapi yang terjadi dalam produksi ini adalah penerjemahan dari hasil rekaman otentik etnomusikolog Kunst menjadi skor musik oleh Pohl. Satu-satunya unsur otentik yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya secara ilmiah justru dengan sengaja direka-ulang. Sayang sekali belum ada informasi yang bisa ditemukan tentang musik pengiring ini, baik dalam bentuk pelat rekaman maupun skor aslinya. Simulasi pengalaman menonton Ria Rago bisa semakin mendekati aslinya jika didampingi musik pengiring ini, tentunya dengan cara dilebur ke dalam versi digital.

Keberadaan Ria Rago di wilayah abu-abu antara dokumenter dan rekaan inilah yang membuatnya menarik, apalagi kalau kita bandingkan dengan film-film yang diproduksi dengan cara serupa pada zaman sekarang. Beberapa sutradara Indonesia kontemporer juga menerapkan metode kerja seperti ini dalam film-film mutakhir seperti Garin Nugroho dalam Mata Tertutup (2011) atau Riri Riza dalam Atambua 39°C (2012) yang keduanya berdasarkan kisah nyata dan melibatkan pemeran amatir lokal. Kiranya kita perlu merenungkan lebih lanjut soal sumbangan metode etnografi dalam film-film Nusantara, baik film rekaan maupun dokumenter.




  • Facebook Comments
Item Reviewed: Lembah Ndona di Dunia Maya: Roman Adat-Religius ala Flores tahun 1930-an Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi