Sumber: Lisabona Rahman
Maret
1930. Dua puluh tujuh peti berisi tiga kamera, ribuan meter stok film
nitrat, dua proyektor, generator listrik dan peralatan cuci-cetak film
tiba di Ende, Flores. Hari ini, setelah lebih dari 80 tahun kemudian,
seluruh dunia masih bisa melihat hasilnya lewat internet.
Tidak lama sesudah Loetoeng Kasaroeng (1926) dibuat di Bandung, tiga film rekaan dari Flores diluncurkan oleh Societas Verbi Divini (Soverdi) di Belanda. Ria Rago adalah
film rekaan pertama yang diluncurkan Soverdi. Soverdi bukanlah
perusahaan produksi film biasa, melainkan sebuah ordo (perkumpulan
rohaniwan) dari gereja Katolik.
Antara
tahun 1925-1933, pastor Simon Buis SVD, menghasilkan tiga film
perjalanan dan tiga film cerita rekaan yang diputar oleh Soverdi di
berbagai kesempatan penggalangan dana di Belanda dan sekitarnya. Dua
dari tiga film cerita karya Pastor Buis ini masih dapat kita saksikan
secara lengkap, hasil rekonstruksi EYE Film Institut. Berikut link video; "Ria Rago" - klik DISINI
Soverdi membuat film dengan tujuan menggalang dana untuk misi. Film perjalanan Flores-Film: Reis naar Insulinde en Missie op Flores Nederlands Oost-Indië
(1925) karya Pastor Simon Buis SVD berhasil menyedot perhatian
penonton. Saat diputar di ruang serbaguna Tivoli di Utrecht yang
berkapasitas 2.000 kursi, film perjalanan ini selalu penuh penonton
selama seminggu dengan frekuensi pemutaran tiga kali sehari.
Pastor Simon Buis
Setelah berhasil
dengan film perjalanan, Soverdi mencoba bentuk lain: film cerita.
Skenario film dikembangkan berdasarkan kisah nyata yang direka-ulang. Demi
menghasilkan karya-karya film yang mengesankan umat, ordo SVD
mengerahkan pastor-pastornya untuk menempuh pendidikan sinematografi.
Buis, sebagai pastor-pembuat film sukses, dikirim ke New York pada tahun
1929. Menurut catatan biografinya, di sana ia menamatkan pendidikan
sinematografi yang setara dengan tiga tahun sekolah hanya dalam tiga
bulan saja. Pastor Simon Buis, SVD (1892-1960) adalah tokoh
penting bagi komunitas Katolik Indonesia, terutama di wilayah Flores,
Bali dan sekitarnya. Ia ditugaskan merintis komunitas gereja Katolik di
beberapa wilayah daerah ini. Pastor Buis sempat ditahan oleh tentara
pendudukan Jepang. Ia tetap tinggal di wilayah Indonesia sampai tahun
1951 dan kemudian kembali ke Belanda.
Seperti juga banyak film yang diproduksi pada periode pra-kemerdekaan di
Indonesia, film-film Soverdi dihasilkan oleh tim kerja campuran antara
orang Eropa dan orang setempat. Percampuran ini kiranya bukan sekadar
siasat penghematan biaya seperti yang lazim dilakukan oleh produser film
komersial dalam pembuatan film-film fantasi eksotis seperti Tabu (Murnau & Flaherty, 1932) atau Goona-Goona, An Authentic Melodrama of the Island of Bali/Kriss the Sword of Death (Armand
Denis & Andre Roosevelt, 1932). Dalam hal film-film Soverdi,
keterlibatan pemain lokal adalah mutlak untuk menciptakan gambaran
otentik kehidupan masyarakat lokal di wilayah kerja ordo SVD.
Ada dua hal yang menjadi prioritas saat Uskup Nusa Tenggara Monsinyor
Arnold Verstraelen, SVD (1882-1932) menugaskan pembuatan film-film
rekaan dari Flores: ketepatan detil etnografis dan perlakuan yang peka
terhadap warga lokal. Karena itu Soverdi tidak mau merekrut kru film
profesional dari Belanda dan memilih melatih para pastor menjadi kru
untuk dikirim ke lokasi.
Pastor Buis tidak sendirian. Bersamanya,
Pastor Pieter Beltjens, SVD ditugaskan belajar khusus soal penggunaan
kamera dan selama tiga bulan magang di laboratorium film di Chicago
sampai menemukan cara yang cocok untuk menghasilkan gambar di atas film
nitrat di tengah lingkungan tanah tropis bergunung api.
Laboratorium Beratap Sirap di Lembah Ndona
Kompleks Keuskupan di Lembah Ndona, tahun 1915
April 1930. Pastor
Pieter Beltjens dengan kecewa menghadapi bak semen berdinding ganda
tempat penampungan air hujan yang mengaliri atap sirap kompleks
keuskupan. Ia berharap air hujan bisa menghasilkan campuran larutan cuci
yang lebih baik ketimbang air tanah setempat yang berpasir dan terlalu
kaya mineral vulkanis. Pastor Beltjens harus memutar akal mencari cara
menyaring 2.500 liter air, selain juga harus mendinginkannya sampai
mendekati 18 derajat Celcius, suhu ideal untuk proses cuci film.
Sementara
itu Pastor Simon Buis sibuk berkeliling kampung untuk mewawancarai
penduduk. Ia harus menulis ulang skenario yang sudah disiapkannya selama
setahun belakangan dengan memasukkan detil kehidupan penduduk dan
prosesi adat yang seakurat mungkin. Wawancara dilakukan dalam bahasa
Lio.
Selain melengkapi skenario, Pastor Buis juga harus melakukan casting.
Karena film ini adalah film bisu, karakter visual adalah satu-satunya
bahan pertimbangan. Para pemeran pembantu dipilih tanpa kesulitan karena
karakter wajah dan penampilan mereka sudah sangat menunjang. Tapi
menemukan pemeran utama, sang pemudi salehah, urusannya lain lagi.
Sesudah berkali-kali melakukan latihan dan uji-coba, Ria Rago terpilih
sebagai aktris pemeran utama.
Di laboratorium, Pastor Beltjens mulai menemukan titik-titik terang
sesudah bereksperimen hampir enam minggu. Ia membuat lima bak
penyaringan air untuk mengurangi kadar pasir dan mineral. Supaya
mendapat temperatur terendah, proses penampungan dan penyaringan air
harus dikerjakan pada malam hari. Hasil air saringan bisa mencapai suhu
rata-rata 22-24 derajat Celcius. Inilah kompromi terbaik yang bisa
dicapai laboratorium di Ndona. Dibandingkan suhu ideal standar larutan
cuci film, air Ndona lebih hangat 4-6 derajat. Pastor Beltjens harus
mengakali waktu cuci film seraya berhadapan dengan resiko gambar filmnya
nanti akan bertambah tingkat kontrasnya. Pengambilan gambar pun siap dimulai.
Adegan-adegan di lokasi dibuat pada pagi hari, antara jam 10 sampai jam 1
siang. Lepas dari itu sinar matahari sudah kelewat terik. Pengambilan
gambar selalu dilakukan empat hari sepekan, mulai Senin sampai Kamis.
Pastor Beltjens mencuci film negatif setiap hari, memeriksa apakah tiap
adegan terekam dengan jelas, sembari menyiapkan bahan pemutaran untuk
akhir pekan. Tiap hari Minggu sore sehabis ibadat, para pemain dan kru
film berkumpul menonton hasil pengambilan gambar pekan itu.
Ritual ini berjalan selama tiga bulan. Pastor Buis kadang harus
pulang dari lokasi dengan tangan hampa. Para pemeran tak selalu taat
jadual dan mangkir karena pergi mencari ikan atau bekerja di ladang. Ada
kalanya, mereka juga sedang malas main film dan pura-pura sakit. Di
hari-hari seperti ini, Pastor Buis harus mendatangi rumah pemeran dengan
membawa oleh-oleh demi membujuk para aktor. Kadang, meskipun semua kru
dan pemeran lengkap terkumpul, Ria Rago tak bisa menahan tawa sehingga
pengambilan gambar untuk adegan yang serius atau sedih harus diulang.
Menjelang
Oktober pada tahun yang sama, Pastor Beltjens berangkat ke Belanda
untuk proses pasca-produksi. Ia jugalah yang bertanggungjawab menyelia
proses persiapan musik pendamping untuk pertunjukan film ini.
Etnomusikolog Jaap Kunst
Masih
selaras dengan semangat menghasilkan gambaran otentik, Soverdi
memutuskan mengambil inspirasi dari hasil rekaman Jaap Kunst - Bapak
Etnomusikologi dunia - yang dibuat di Flores. Kunst berbulan-bulan
mengelilingi kepulauan Nusantara dengan membawa gramofon perekam Edison
Amberola untuk menyimpan musik setempat. Puluhan silinder lilin dari
koleksi Kunst dijadikan dasar komposisi oleh dirigen asal New York,
Fritz Pohl. Karya musik Pohl diproses kembali menjadi pelat siap putar
untuk gramofon di laboratorium di Berlin dengan menggunakan sistem suara
Lignose-Breusing.
Desember
1930. Pada pagi yang dingin itu para wartawan berkumpul di gedung
teater Flora, Utrecht. Asosiasi wartawan Katolik Belanda (De
Nederlandsche Rooms-Katholieke Journalistenvereeniging) mengadakan
pemutaran khusus untuk publikasi film Ria Rago.
Pastor Beltjens hari itu bertugas menggantikan sutradara Pastor Buis
yang masih berada di Flores untuk mendampingi Uskup Nusa Tenggara dalam
konperensi pers. Mereka harus meyakinkan para wartawan bahwa film ini
dibuat semata-mata untuk menunjukkan betapa penting dan berat misi yang
mereka hadapi di Flores sehingga perlu dukungan umat dari Belanda.
Perekam jenis Edison Amberola yang digunakan Jaap Kunst
Reaksi koran-koran Belanda terhadap Ria Rago menggambarkan dengan jelas bagaimana masyarakat Belanda saat itu membayangkan Hindia sebagai wilayah koloni.
Koresponden koran sore De Tijd,
koran Katolik tertua Belanda, menulis: “Film baru ini menunjukkan
bagaimana kasih Kristiani dapat mengatasi kekejaman para penyembah
berhala.” Artikel ini diikuti kisah panjang tentang perjuangan Pastor
Buis dan Beltjens menaklukkan tantangan alam Flores demi menghasilkan Ria Rago. Jelas bahwa De Tijd berusaha keras mendukung upaya penggalangan dana Soverdi.
Tak cuma mendapat pujian dari koran Katolik, Ria Rago pun nampaknya memukau kalangan liberal Belanda. Koran Algemeen-Handelsblad menulis, “... Ria Rago jelas
bukan film bertendens yang membuat penonton jengkel karena dijejali
informasi berlebihan yang diolah dengan berat-sebelah... [Film ini]
berselera tinggi dan tak melebih-lebihkan, meskipun tetap membuat kita
jeri akan kekejaman orangtua [Ria]. Kerja para misionaris tampil dengan
halus sebagai latar dengan tetap menonjolkan kehidupan masyarakat
kampung yang diperlihatkan dengan akurat.” Resensi yang sama juga terbit
satu bulan kemudian di koran Soerabaiasch-Handelsblad.
Adegan film 'Ria Rago'
Tentu saja, tidak semua koran bereaksi positif. Het Volk,
harian serikat pekerja Katolik dari Belgia, sama sekali tidak bersimpati
pada film ini. “Meskipun dari sudut pandang budaya upaya ini harus
dihargai, kegagalannya harus dicatat. Kegagalan [film ini terlihat] baik
dari sisi sinematik maupun propaganda.” Skenario Ria Rago
dianggap sangat lemah, lebih mirip laporan kerja misionaris yang ditulis
ulang menyerupai karya sastra. Komposisi gambar-gambarnya pun dianggap
sangat buruk karena banyak detil wajah yang terpotong akibat kesalahan framing. Pencahayaan gambarnya dinilai buruk dan terlalu minim close-up. Bagi Het Volk,
film ini tak lebih dari kumpulan gambar yang disambungkan secara
serampangan dan diberi arti oleh intertitel (teks antara dua gambar)
yang terlalu nyinyir. Het Volk menyimpulkan bahwa kegagalan Ria Rago adalah akibat Soverdi tak mau mempekerjakan kru film ahli.
Meskipun tanggapan para wartawan mengenai Ria Rago
berlawanan, nampaknya semua setuju bahwa elemen musik yang mengiringi
adegan upacara adat membuat film ini terasa sangat otentik dan istimewa.
Para pemain lokal dalam 'Ria Rago'.
Ria Rago berkeliling dari komunitas ke komunitas di Belanda,
Belgia, Jerman, Inggris, Irlandia dan Amerika Serikat dan memicu banyak
diskusi tentang kondisi perempuan (Katolik) di komunitas adat. Di luar
tanggapan tentang mutu sinematik atau cerita film, tanggapan terhadap Ria Rago juga memperlihatkan bahwa film ini sangat berhasil menempatkan masyarakat lokal sebagai sorotan utama. Koresponden koran Limburgsch Dagblad, melaporkan pada Desember 1935, bahwa sesudah pemutaran di Polytechnical Theatre London muncul komentar di koran Katolik lokal The Universe, “... bahkan Hollywood atau Paris belum pernah seberani Ria Rago menempatkan warga asli sebagai pemeran utama dalam film cerita.” Wartawan Limburgsch Dagblad pun mengamini dan menulis, “Inderdaad inlanders... en van welk allooi!” (Mereka memang inlander... dan [mereka] luar biasa!).
Berita dan tanggapan tentang Ria Rago terus muncul di media
massa Katolik hingga tahun 1936, sampai Pastor Buis meluncurkan film
rekaan kedua yang dibuatnya di Flores, Amorira. Selain berita mengenai pemutaran film dan resensi, Ria Rago juga
sempat menjadi tajuk utama di media massa nasional setelah kecelakaan
kebakaran pada sesi pemutaran film ini di Hilversum pada September 1934.
Percikan api di dekat proyektor mengakibatkan rol film nitrat terbakar.
Pembakaran nitrat terkenal kuat nyalanya, sangat cepat menjalar lagi
mustahil dipadamkan. Tiga anak perempuan meninggal dan lima puluh
lainnya terluka. Insiden ini memicu perubahan aturan hukum tentang
pemutaran film non-komersial di seluruh Belanda. Sejak kecelakaan itu
film nitrat dilarang penggunaannya untuk pertunjukan film selain di
bioskop yang memiliki kamar proyeksi kedap api.
Ria Rago dan Kita, Sekarang
Menonton film ini
pada zaman sekarang bukan perkara sederhana. Betul bahwa film ini mudah
diakses secara online. Kalau mengingat betapa susah mendapatkan
film-film sezaman yang dibuat di Nusantara, jelas kita patut bersyukur
dan merayakan keberadaan Ria Rago di
dunia maya. Di sisi lain, film ini hanya menyediakan cuplikan kecil
dari zamannya, selebihnya masih sangat samar. Informasi tentang
Nusantara tahun 1930-an dalam film lebih banyak berasal dari Jawa dan
Sumatera.
Kecelakaan kebakaran saat pemutaran Ria Rago di Hilversum, 1934
Selain itu, kita sudah terbiasa dengan film berwarna-bersuara dengan pola naratif mutakhir, sehingga menonton Ria Rago memerlukan
konsentrasi ekstra. Harus dibayangkan bahwa pada zamannya film ini
diputar bersama iringan musik berikut pengantar mengenai kerja
misionaris dan konteks kehidupan masyarakat di sekitar lembah Ndona di
Flores. Sebelum menonton, ada baiknya meluangkan sedikit waktu untuk
memahami soal film bisu, konteks pembuatannya dan ritual adat yang
ditampilkan.
Daniel Dhakidae, ilmuwan politik asal Flores, menyatakan bahwa Ria Rago
memberikan gambaran otentik mengenai ritual adat saat lamaran Haji
Dapo, juga mengenai kebiasaan-kebiasaan di lingkungan misionaris sampai
ke detil cara berpakaian lelaki dan perempuan lokal yang tinggal di
asrama misi. Kita bisa melihat perbedaan yang mencolok antara cara
berpakaian ‘orang kampung’ dengan anak asrama.
Daniel menjelaskan
bahwa ritual yang dilakukan Rago Da’oe ketika Ria melarikan diri terdiri
dari dua bagian yang lazim dijalankan: mencari pertanda dengan
jengkalan tangan dan hati ayam yang baru disembelih sebagai persembahan
kepada Wula (Bulan) dan Leja (Matahari). Menurutnya,
kedua ritual menunjukkan pertanda buruk bagi Rago Da’oe, seperti
ditunjukkan oleh mimik wajah dan sikap tubuhnya. Ia juga menekankan
bahwa bagian paling menarik film ini adalah penempatan dua elemen
penting dalam suntingan paralel (cross cutting): perayaan diterimanya lamaran Dapo Doki dan pelarian Ria Rago.
Bagian ini bisa dibilang adalah titik konsentrasi pesan yang ingin disampaikan Ria Rago. Judul lengkap film ini adalah Ria-Rago, de Heldin van het Ndona-dal (Ria Rago: Pahlawan Wanita dari Lembah Ndona).
Sekuens perayaan lamaran Dapo Doki yang ditempatkan paralel dengan
pelarian pemudi saleh menandai transformasi Ria dari gadis biasa yang
periang menjadi sang martir yang teguh pendirian. Rago Da’oe dan warga
kampung mewakili kepentingan kolektif adat yang serakah, sementara Ria
mewakili pemberontakan individu dibawah lindungan misi suci Kristiani.
Konflik adat versus individu berkesadaran ‘Barat’ (dalam hal ini bisa
berarti pendidikan Barat ataupun agama Kristen) seperti ini sangat
populer sebagai plot cerita dalam novel, terutama jika dibandingkan
dengan terbitan Balai Pustaka sejak tahun 1920-an sampai 1930-an. Dalam
teks-teks berbahasa Belanda bahkan ada istilah 'adat-roman'
untuk menyebut genre cerita dengan plot serupa. Suntingan paralel di
sinilah yang meningkatkan ketegangan kisah film dan membuat kita
berpihak kepada Ria.
Pastor Pieter Beltjens
Meskipun cara penyuntingan paralel sudah dikenal dalam dunia film sejak tahun 1903 lewat film The Great Train Robbery (Edwin
S. Porter), tapi penggunaannya terus mengalami pencanggihan sampai
sekarang. Dalam konteks ini kita bisa melihat bagaimana Ria Rago
menerapkan cara ini, 27 tahun setelah dikenal oleh pembuat film di
Amerika (ingat bahwa Pastor Buis dan Beltjens dilatih di sana). Tempo
suntingan paralel dalam Ria Rago terasa lamban akibat masing-masing shot terlalu panjang. Kurangnya close-up
juga membuat intensitas emosionalnya kurang kental. Tapi di sisi lain,
suntingan paralel ini menampilkan paduan yang cukup rumit untuk ukuran
film tahun akhir 1920-an dan 1930-an karena mampu melebur banyak hal
sekaligus: penggabungan kejadian di dua tempat dalam waktu bersamaan,
pertentangan suasana psikologis Ria dengan Ayahnya yang sedang berpesta
dan pertikaian kepentingan keluarga/adat dengan iman Katolik.
Kurangnya close-up di sini perlu dibahas secara khusus. Close-up
adalah kartu truf dalam tradisi film bisu, semacam kompas emosi yang
menggiring reaksi penonton. Kritikus kenamaan awal abad ke-20 Béla
Balázs menulis pada tahun 1923, “... film telah membawa senandika bisu (silent soliloquy)
ke hadapan kita, di mana wajah bisa berbicara dengan rona makna yang
paling tersamar tanpa sedikitpun kelihatan lancung dan membuat penonton
merasa muak. Dalam senandika bisu ini jiwa pribadi manusia menemukan
bahasa yang lebih alamiah dan leluasa dibanding senandika lisan manapun,
karena ia bertutur secara naluriah, di bawah sadar.” Kekuatan close-up dalam film bisu sangat menentukan penilaian kualitasnya. Ria Rago gagal memanfaatkan kekuatan close-up
dengan jitu. Di sisi lain, kalau mengingat betapa sulitnya Pastor Buis
menyutradarai pemerannya, kita bisa menduga bahwa minimnya close-up adalah
jalan aman untuk menghindari pemborosan stok film dan efisiensi waktu
produksi film. Tak bisa dibayangkan berapa lama waktu yang bakal
dihabiskan Pastor Buis untuk mengajarkan ilmu peran di Lembah Ndona demi
mendapatkan close-up yang layak. Tengoklah bagaimana semua pemeran diberi kesibukan ekstra pada saat shooting supaya penampilannya kelihatan lebih alamiah dan tidak terus-terusan memandang ke arah kamera.
Jika diperhatikan, Ria Rago lebih banyak terdiri atas shot-shot ‘aman’ antara full-shot sampai medium-shot
yang digunakan untuk membangun situasi ketimbang emosi. Ada dua alasan
yang tidak saling meniadakan, bahkan menunjang satu sama lain, yang
sepertinya mendorong pengambilan jalan aman ini: tingkat keahlian
pemeran amatir yang rendah dan kepentingan menangkap suasana lokal yang
otentik. Film ini akhirnya memang tidak menciptakan momen-momen
melodramatis seperti kebanyakan film bisu, tapi memungkinkan penonton
menangkap dan memahami lembah Ndona dan warganya mendekati cara
penceritaan film perjalanan.
Soverdi menekankan bahwa Ria Rago adalah
film reka-ulang kisah nyata, beberapa literatur bahkan menyebutnya
sebagai film dokumenter dan bukan film cerita. Kalaupun kita berusaha
melupakan konteks produksi film ini dan semata-mata melihat film ini
sebagai teks mandiri, kita akan tetap melihat ketaksaan (ambiguitas). Di
satu sisi, film ini dibuka dengan intertitel “Waktu dan tempat kejadian
sesungguhnya: Misi Flores, Hindia Belanda, 1923” yang langsung
memberitahu penonton bahwa film ini bukanlah rekaman kejadian
sebenarnya. Di sisi yang lain, dengan menyatakan bahwa kisah ini
betul-betul pernah terjadi, Ria Rago melakukan klaim kebenaran selayaknya berita atau karya dokumenter.
Titel pemeran 'Ria Rago'
Cara menyuguhkan para pemeran dalam kredit pembukaannyapun menarik.
Dalam kolom ‘acteurs’ disebutkan nama-nama pemeran, sementara dalam
kolom ‘spelers’ (peran) tidak ada satu nama pun dari kejadian aslinya,
hanya ada daftar tokoh cerita seperti ‘gadis pemberani’ atau ‘ayah yang
serakah’. Juga, tak ada pernyataan bahwa nama-nama tokoh dalam kejadian
asli sengaja disembunyikan. Ditilik dari atribut relijius atau
profesional nama-nama pemeran seperti ‘Hadji Dasa’, ‘Martinus Koenoe’
atau LE Dr. JM Kannoo, kelihatannya mereka dipilih berdasarkan kecocokan
antara agama/profesi dengan karakter yang diperankan. Artinya, para
pemain dipilihkan peran yang mendekati identitas aslinya, jauh dari
kecenderungan cara kerja pemeran profesional yang dituntut masuk ke
dalam identitas peran apapun asal cocok dengan penampilan, tanpa peduli
latar sosialnya. Dari sini juga terbaca semacam keinginan untuk lebih
menonjolkan para pemeran lokal yang dituliskan nama lengkapnya,
sementara para londo misionaris dipertahankan anonim. Detil ini
seringkali terlewat dalam penyusunan kredit film dan gejalanya sampai
sekarang masih bisa kita lihat dalam film-film koproduksi, di mana
nama-nama pemain atau kru lokal dibiarkan tidak lengkap atau salah
tulis.
Satu hal lagi yang juga taksa adalah pilihan musik pengiring. Kalau benar-benar ingin mengukuhkan ciri dokumenter, Ria Rago bisa
saja dilengkapi dengan rekaman suara dari adegan-adegan di lokasi.
Tetapi yang terjadi dalam produksi ini adalah penerjemahan dari hasil
rekaman otentik etnomusikolog Kunst menjadi skor musik oleh Pohl.
Satu-satunya unsur otentik yang bisa dipertanggungjawabkan keasliannya
secara ilmiah justru dengan sengaja direka-ulang. Sayang sekali belum
ada informasi yang bisa ditemukan tentang musik pengiring ini, baik
dalam bentuk pelat rekaman maupun skor aslinya. Simulasi pengalaman
menonton Ria Rago bisa semakin mendekati aslinya jika didampingi musik pengiring ini, tentunya dengan cara dilebur ke dalam versi digital.
Keberadaan Ria Rago
di wilayah abu-abu antara dokumenter dan rekaan inilah yang membuatnya
menarik, apalagi kalau kita bandingkan dengan film-film yang diproduksi
dengan cara serupa pada zaman sekarang. Beberapa sutradara Indonesia
kontemporer juga menerapkan metode kerja seperti ini dalam film-film
mutakhir seperti Garin Nugroho dalam Mata Tertutup (2011) atau Riri Riza dalam Atambua 39°C (2012)
yang keduanya berdasarkan kisah nyata dan melibatkan pemeran amatir
lokal. Kiranya kita perlu merenungkan lebih lanjut soal sumbangan metode
etnografi dalam film-film Nusantara, baik film rekaan maupun
dokumenter.