Tradisi di sejumlah wilayah di Indonesia melibatkan aktivitas seksual
secara heteroseksual maupun homoseksual. Ia punya makna lain ketimbang
sekadar mencari kepuasan seksual.
Ketika sebagian masyarakat mempersoalkan tradisi semacam ini, layaklah apa yang ditulis Clifford Geertz dalam Tafsir Kebudayaan: manusia dengan kebudayaan ibarat binatang yang terperangkap dalam jerat-jerat makna yang dia tenun sendiri.
Seksualitas menjadi bagian dari setiap
fase kehidupan manusia. Di sejumlah daerah di Indonesia, ada proses
inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan sebelum memasuki jenjang
perkawinan. Ini menjadi bagian dari proses pendewasaan diri, yang punya
makna religi atau berkaitan dengan dunia gaib.
Dalam tradisi Islam, sunatan merupakan
bagian dari ritual inisiasi bagi remaja lelaki maupun perempuan untuk
menapak jenjang kedewasaan. Di sejumlah daerah di Indonesia, juga negara
lain, sunat juga dilakukan terhadap perempuan dengan alasan yang tak
masuk akal: mengurangi libido dan menjauhkan perempuan dari perzinahan
–sekalipun sejak 2006 Departemen Kesehatan sudah melarangnya.
Praktik sunat juga hidup pada tradisi
masyarakat Atoni Pah Meto dan Ema Belu (Orang Belu), dua suku besar di
Timor Barat. Ia dilakukan secara turun-temurun. Biasanya seorang pria
yang melewati masa akil balik disunat dengan alat sederhana: pisau dan
penjepit dari belahan bambu. Tujuannya, selain untuk memasuki alam
kedewasaan, juga untuk kepuasan seksual. Usai disunat, ketika luka belum
sembuh, dia diwajibkan melakukan hubungan seks dengan perempuan untuk
membuang “panas” (sial, penyakit) sekaligus menguji potensi seksualnya.
Ironisnya, perempuan yang dijadikan “tempat pembuangan” kemudian malah
dikucilkan masyarakatnya sendiri. Ada bias gender dalam praktik semacam
ini.
Di tempat lain, ritual inisiasi juga
berfungsi sebagai perantara dengan dunia arwah. Di Maluku, upacara
sakral pendewasaan diri mengharuskan remaja laki-laki digauli oleh
“dukun”, yang juga laki-laki, sebelum mengarungi bahtera perkawinan. Di
Papua, seorang anak laki-laki yang beranjak dewasa harus melalui ritual
berhubungan fisik dengan laki-laki yang lebih tua. Dipercaya “asupan
kekuatan” dari laki-laki dewasa itu akan membantu si remaja tumbuh
menjadi pria yang maskulin. Gilbert H. Herd dalam bukunya Ritualized Homosexuality in Melanesia
mengatakan bahwa upacara homoseksual ini ditemukan pada beberapa suku
di pantai selatan Papua antara Pantai Kasuari, di kabupaten Asmat,
Kolepom, Marind-Anim, juga beberapa tempat di Sungai Fly, Papua Nugini.
Sementara bagi perempuan di suku
Kelepom, Papua, yang memasuki masa puber melakukan hubungan seks secara
heteroseksual dengan lelaki yang sudah menikah. Ia menjadi suatu
pelengkap dalam upacara inisiasi untuk membuktikan masa kedewasaan
perempuan.
Ketika ritual inisiasi dilangsungkan,
seorang lelaki atau perempuan dianggap sudah menjadi bagian dari
masyarakat yang siap memegang tanggung jawab dan menikah. Di sejumlah
daerah, ritual pernikahan ini melibatkan bukan hanya aktivitas
heteroseksual tapi juga homoseksual.
Adat lama perkawinan di Ponorogo
menghidupkan tradisi gemblak. Setelah resepsi perkawinan, mempelai
perempuan tidur dengan keluarganya. Maklum, mereka kawin karena
perjodohan orangtua sehingga belum saling kenal. Untuk menemani
pengantin lelaki, pihak mempelai perempuan menyediakan gemblak. Kedua
mempelai baru berkumpul setelah beberapa malam. Gemblak adalah lelaki
muda yang menjadi peliharaan dan pelampias hasrat seksual seorang warok
karena tak boleh berhubungan seks dengan perempuan.
Jan Boelaars dalam bukunya Manusia Irian
menulis bahwa orang-orang suku Marind lebih menyukai bentuk hubungan
homoseksual dan di malam pertama perkawinan mereka akan ditemani rekan
(pria) satu sukunya. Ini diakibatkan, karena orang-orang Marind
menyadari kekuatan ekonomis dan sosial perempuan, terjadi semacam
kompleks kastarasi yang menyebabkan orang-orang Marind tak bisa
“menyerahkan” diri sepenuhnya kepada seorang perempuan.
Persetubuhan heteroseksual sebelum
menikah juga merupakan bagian dari upacara adat dalam kebudayaan Papua,
terutama di kalangan orang Purari, Kiwai, Marind, Kolepom, dan Asmat. Di
kalangan orang Marind, misalnya, persetubuhan ditegaskan untuk
menghasilkan cairan seksual guna meningkatkan kesuburan, mempersiapkan
diri sebelum memasuki kehidupan perkawinan (konsep kedewasaan), membuka
kebun, awal kegiatan pengayauan, keseimbangan lingkunggan, pengobatan,
kekuatan magi, dan kepemimpinan. Ia mempunyai makna untuk menata
kehidupan warganya.
Menurut A.E. Dumatubun dalam “Pengetahuan, Perilaku Seksual Suku Bangsa Marind-Anim” yang dimuat di Jurnal Antropologi Papua,
April 2003, dasar utama dari berbagai aktivitas seksual, baik secara
homoseksual maupun heteroseksual, di kalangan suku Marind-Anim itu
berlandaskan pada konsep “kebudayaan semen“ atau “kebudayaan sperma”.
Sperma merupakan kekuatan yang diperoleh dari seorang pria yang perkasa
dan kuat. Sperma berhubungan dengan konsep kesuburan, kecantikan,
kekuatan penyembuhan, dan kekuatan mematikan. Sehingga di dalam
aktivitas hidup suku Marind-Anim konsep sperma memainkan peranan
penting.