Selain Keraton, Yogyakarta memiliki tempat wisata budaya yang tak kalah menarik yaitu Tamansari. Letaknya tak jauh dari Keraton Yogyakarta, hanya berjarak sekitar 500 meter ke arah selatan.
Tamansari merupakan tempat pemandian, taman hiburan, tempat pertahanan sekaligus sebagai lokasi bersemedi raja Yogyakarta terdahulu, yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono I, II dan III. Taman tersebut hanya dapat digunakan oleh raja dan keluarganya termasuk para selir.
Namun dalam masa kepemimpinan Sultan HB IV dan seterusnya, taman yang dibangun tahun 1758 Masehi atau 1684 tahun Jawa tersebut dipugar dan dijadikan tempat wisata.
Saat ini gedung artistik bernuansa cokelat muda tersebut masih kokoh berdiri. Ornamen-ornamennya masih terawat meskipun telah mengalami 2 kali pemugaran, yaitu pada tahun 1974 dan tahun 2000. Ada juga beberapa bagian yang sudah tak lagi utuh bahkan hilang karena dihancurkan oleh pemerintah Belanda dan runtuh akibat gempa.
Tamansari terdiri dari beberapa bangunan utama. Yaitu Gapura Pagelaran, Gapura Agung, Gapura Panggung, Gapura Kenari dan Segaran Pulo Gedung. Taman kuno ini terdiri dari 59 gugusan bangunan yang membentuk konfigurasi fungsi yang saling berkaitan. Namun kini bangunan yang terdeteksi tinggal 21 unit dengan luas yang semula 36.666 hektar, jauh menyempit menjadi 12.666 hektar.
Kolam pemandian yang terletak di belakang Gapura Agung masih cukup terawat meskipun lantainya mulai menghitam di sana-sini. Kolam ini dibagi menjadi tiga area, yaitu Umbul Panguras yang digunakan untuk raja, Umbul Pamuncar untuk para selir dan Umbul Kawitan untuk putra-putri raja.
"Dulu kolamnya biru penuh air dan bertabur bunga-bunga yang wangi. Biasanya Sultan duduk di Gapura Panggung menyaksikan tari-tarian di Gapura Pagelaran," kata pengawas Tamansari dari Tepas Kaprajuritan Keraton Ngayogyakarta, Maryoto (68) saat ditemui awak media, Minggu (30/11/2014).
Selain keindahan tersebut, Tamansari juga memiliki 2 jalan bawah tanah yang berbentuk lorong sepanjang 45 meter dan 39 meter. Lorong gelap yang sunyi ini menghubungkan Sumur Gumuling, yang merupakan mata air di bawah masjid bawah tanah dan Pulo Kenanga yang merupakan ruang makan raja dan keluarga.
"Lorong ini buat jaga-jaga kalau Keraton dalam kondisi genting," kata pria yang ayahnya merupakan abdi dalem Keraton ini.
Banyak ruang rahasia tersembunyi di sepanjang lorong ini. Salah satunya adalah tempat pertapaan Sultan. Tempat 2 lantai yang dibatasi gerbang warna hijau tersebut belum pernah dibuka untuk umum.
"Lagi renovasi. Itu lantainya dari kayu jati, usianya sudah ratusan tahun takutnya mengkhawatirkan keselamatan pengunjung," ucap purnawirawan TNI ini.
Konon lorong tersebut dapat terhubung dengan laut selatan. Namun ujungnya telah ditutup sejak mengalami pemugaran pada tahun 1972.
"Ada yang bilang lorongnya nembus ke pantai selatan. Tapi benar atau tidaknya saya tidak tahu," kata Maryoto.
Menurut pria keturunan abdi dalem Keraton ini, Sri Sultan Hamengku Buwono I menginginkan Keraton Yogyakarta menguasai lautan selain juga menguasai daratan. Maka antara daratan dan lautan harus menyatu. Hal inilah yang diduga merupakan salah satu alasan mengapa Keraton dibangun dalam sumbu lurus imajiner yang menghubungkan antara Gunung Merapi dengan Pantai Parangtritis.
"Jadi agar antara Kerajaan milik Nyi Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan) dan Kerajaan yang ada di Gunung Merapi sana, menyatu dengan Keraton," tuturnya.
Diduga, hal tersebut yang menyebabkan bangunan Keraton tidak rusak parah saat gempa besar melanda Yogyakarta pada tahun 2010 lalu. Titik kerusakan gempa justru terjadi di daerah Pundong, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul yang terletak cukup jauh dari Keraton. Menurut pakar, Pundong memang terletak di atas pertemuan 2 lempeng bumi.
"Memang banyak beredar dugaan keterkaitan itu. Tapi saya tidak tahu betul kebenarannya," ucapnya.