Dia membuat Indonesia menjadi pelopor industri penerbangan di Asia. Pada 1 Agustus 1959, FAR Eastern Aero
Technical Institute (FEATI), Manila, Filipina, memberi penghargaan
kepada alumninya asal Indonesia, Kolonel Nurtanio Pringgoadisurjo,
berupa Distinguish Achievement Medal. Penghargaan disematkan Wakil
Presiden FEATI G.Y. Zara.
“Keahlian dan prestasi yang ditunjukkan
oleh Kolonel Nurtanio telah membangkitkan rasa bangga, bukan saja bagi
rakyat Indonesia, bahkan juga bagi rakyat-rakyat Asia umumnya serta
mengangkat tinggi martabat dan gengsi bangsa Indonesia khususnya,” ujar
Zara, diberitakan majalah Varia, Januari 1965.
Nurtanio lahir di Kandangan, Kalimantan
Selatan, pada 3 Desember 1923. Sejak kecil, dia tertarik dunia teknik.
Dia memilih keluar saat duduk kelas dua Algemeene Middlebare School
(AMS) atau sekolah menengah atas di Semarang pada 1940 untuk masuk
Sekolah Teknik (Instituut voor Electrotechnisch Vak Onderwijs/IVEVO).
Dia lulus pada 1945.
Nurtanio bergabung dengan AURI pada
Desember 1945. Dengan pangkat Opsir Muda Udara setara Letnan Udara II,
dia ditempatkan pada bagian Rentjana/Konstruksi di Maospati, Madiun.
Bersama Wiweko Soepeno –kelak menjadi pionir pencipta pesawat berkokpit
tiga awak– dan J. Sumarsono, dia mengubah gudang kapuk di Magetan
menjadi bengkel. Di tempat inilah mereka menghasilkan pesawat layang
Zogling dengan kode NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider). Nurtanio sukses
mengujicoba pesawat tersebut.
Melihat bakat dan tekad Nurtanio, AURI
mengirimnya ke Filipina pada Juli 1948. Dua tahun kemudian, setelah
menggondol Bachelor in Aeronotical Science dari FEATI, dia kembali ke
tanah air dan pindah tugas ke Djawatan Tehnik Udara di lanud Husein
Sastranegara dengan pangkat letnan I.
Pada 1954, Nurtanio berhasil membuat Si
Kumbang, pesawat dalam negeri pertama yang bahannya seratus persen
logam. Pesawat tempur antigerilya itu diproduksi tiga buah. Tes terbang
perdananya pada 1 Agustus 1954. “Si Kumbang diterbangkan untuk pertama
kalinya oleh seorang ‘test pilot’ profesional berkebangsaan Amerika,”
tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat.
Nurtanio menciptakan pesawat latih
Belalang pada 1958 untuk pendidikan penerbangan. Dia menguji terbang
pada 26 April 1958. Dia memperbaiki kekurangan-kekurangannya sehingga
kecepatannya mencapai 144 km per jam. Setelah itu, tiga Belalang
diproduksi dan dikirim ke sekolah penerbangan AU di Yogyakarta dan
Curug, Tangerang, dan sekolah penerbangan AD di Semarang. PAda tahun
yang sama, Nurtanio juga menciptakan pesawat Si Kunang untuk olahraga.
Pesawat berbadan kayu ini menggunakan mesin Volkswagen 25HP berkapasitas
1190cc. Eksperimen Nurtanio berlanjut dengan beberapa pesawat
ciptaannya seperti Gelatik, Benson (gyrocopter), dan helikopter Kepik.
Pencapaian itu berbanding lurus dengan
kariernya. Setahun setelah pulang dari Filipina, dia memegang berbagai
jabatan: mulai dari kepala Djawatan Tehnik Udara sampai anggota Dewan
Perancang Nasional. Bersama beberapa perwira AURI lain, seperti Wiweko
Soepono dan Halim Perdanakusuma serta dibantu Prof. Rooseno, dia
membenahi tata kepangkatan AURI. Atas pencapaian-pencapaian itu,
Kementerian Pertahanan memberinya penghargaan pada 17 Februari 1959.
Sewaktu Menteri/KSAU Suryadi Suryadarma
membentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) pada 1 Agustus
1960, Nurtanio menjadi salah satu pendirinya. Bersama perwira-perwira
lain dari berbagai angkatan, dia juga dipercaya membesarkan Panitia
Industri Angkatan Perang yang didirikan KASAB Nasution.
Nurtanio merintis kerjasama dengan
berbagai pihak, yang terpenting dengan CEKOP, pabrik pesawat terbang
Polandia. Kontrak kerjasama itu berjalan setelah pemerintah membentuk
Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (Kopelapip) –terdiri
dari Lapip dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari– pada 1965.
Kesepakatan dalam kontrak kerjasama itu meliputi pembangunan pabrik,
pelatihan karyawan, dan lisensi produksi pesawat PZL-104 Wilga. Selain
dengan CEKOP, Kopelapip juga bekerjasama dengan Fokker, perusahaan
pesawat terbang Belanda. Kopelapip memproduksi pesawat Gelatik, nama
Indonesia PZL-104 Wilga yang diberikan Presiden Sukarno, sebanyak 44
unit.
Meski mengotaki beberapa pesawat buatan
dalam negeri, Nurtanio tetap rajin menerbangkan pesawat. Bahkan, dia
bercita-cita terbang nonstop Sabang-Merauke. Pada 21 Maret 1966, dia dan
kopilot Soepadio mengudara dengan Super Aero-45, berkeliling kota
Bandung. Namun baru tiga menit di udara, satu mesin tiba-tiba mati
sehingga pesawat kehilangan tenaga. Pesawat menghantam bangunan dan
pecah berkeping-keping. Nurtanio dan Soepadio tewas seketika.