Leo Wenas, seorang Tionghoa veteran pertempuran Surabaya, November 1945.
Foto: Iwan Santosa/Repro buku "Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran".
Tionghoa identik dengan perekonomian. Namun, ternyata mereka juga berkiprah dalam kemiliteran. Sejarah Indonesia dibentuk oleh berbagai
tokoh dari berbagai latarbelakang, termasuk warga Tionghoa. Namun,
penulisan sejarah oleh orang atau kelompok dengan tujuan tertentu telah
menenggelamkan sumbangsih mereka kepada bangsa dan negara.
“Tiga dekade Orde Baru berkuasa telah
menyembunyikan peran-peran Tionghoa kepada negara,” kata pengamat
militer, Jaleswari Pramodhawardani dalam diskusi buku Tionghoa dalam Sejarah Kemiliteran karya Iwan “Ong” Santosa, di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat (4/12).
Oleh karena itu, kata Jaleswari, sejarah
harus dikritisi karena banyak yang direduksi. Buktinya, buku ini
menguak peran-peran Tionghoa dalam kemiliteran yang tidak dimuat dalam
buku-buku sejarah. Buku ini menapaktilasi peran Tionghoa, mulai dari
zaman kerajaan-kerajaan Nusantara, kolonial Belanda, revolusi Indonesia,
hingga awal Orde Baru (1966-1967), dan sekilas era reformasi.
Tionghoa yang melegenda dalam militer
adalah Laksamana Muda John Lie. Dia menjadi Pahlawan Nasional pertama
dari etnis Tionghoa. Selain dia, masih banyak Tionghoa lainnya yang
berkiprah dalam kemiliteran yang termuat dalam buku ini.
Sonny Adrianto, Asintel Kodam Jayakarta,
mengatakan bahwa selama Orde Baru, khususnya pasca peristiwa Gerakan 30
September 1965, peran Tionghoa dalam kemiliteran berkurang. “Mungkin
akibat stigma negatif bahwa golongan Tionghoa dekat dengan golongan
komunis saat peristiwa 1965,” kata Sonny.
Kendati demikian, Sonny, menunjukkan
beberapa Tionghoa yang justru memegang posisi strategis di kemiliteran:
Teguh Santosa (Tan Tiong Hiem) mantan wakil asisten perencanaan Kasad
(1993-1995); Iskandar Kamil (Liem Key Ho) mantan kepala badan pembinaan
hukum (1998); Teddy Yusuf (Him Tek Ji) komandan resort militer 131
Manado (1995); dan Bambang Soembodo, asisten logistik kepala staf umum
(1996-1999).
Mayjen Gede Sumertha, kepala satuan
pengawas Universitas Pertahanan, menyebut nama Surya Margono, seorang
muslim Tionghoa asal Kalimantan Barat yang pernah menjadi atase udara di
kantor atase pertahanan Indonesia di Tiongkok, yang kemudian berdinas
di Kementerian Pertahanan.
Gede sendiri menceritakan pengalamanya
ketika masuk Akademi Militer Negara, diasuh oleh dua pengasuh bernama,
Hendra dan Totok. “Hendra, seorang Tionghoa dipanggil Acong. Dia
pengasuh paling galak dan cerewet. Tetapi anak didiknya berhasil semua,”
kenang Gede.
Dalam acara ini, hadir juga seorang
tentara Tionghoa, Hendra K. (30 tahun), yang bertugas di Bravo 90
Penanggulangan Teror. Orangtuanya terpaksa menyingkat namanya menjadi
Hendra K., karena kalau “Hendra Kho” akan menimbulkan masalah pada masa
Orde Baru.
“Saat masa pendidikan dulu, oleh
pelatih, saya sering dipanggil Dji Sam Soe. Sebab nomor helm saya 234,”
ujar Hendra. Dia masuk tentara karena terispirasi kakeknya yang datang
dari Tiongkok sekira tahun 1912-an. “Dan ketika disini, dia juga
mengangkat senjata,” kata pria asal Jambi ini.
Dalam sambutannya, Iwan Ong menyatakan,
buku yang ditulisnya selama tiga tahun ini bukan tentang kelompok etnis
tertentu, dalam hal ini Tionghoa. “Tapi, ini tentang kita. Tentang
ke-Indonesia-an,” ujar Iwan.
[Historia]