Logo

Logo
Latest News
Saturday, February 7, 2015

Politik "Cara Binatang"


O l e h : Y F Ansy Lema*

Aristoteles menyatakan, manusia adalah binatang politik (political animal). Thomas Hobbes bilang, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo Homini Lupus). Secara naluriah, manusia memiliki tendensi memangsa satu sama lain. Kedua filsuf hendak menegaskan, dalam diri manusia terdapat insting-sifat binatang. Pertanyaannya, adakah kaitan antara naluri hewani dan politik? Lalu, apa implikasi plus-minus insting binantang dalam diri politisi dan pemimpin bagi negara?

Jika politik dipahami sebagai kerja, maka konsep kerja bagi hewan dan bagi manusia telak berbeda. Binatang bekerja semata untuk memenuhi kebutuhan fisik-biologis berupa makan, minum dan seks. Tak lebih dari itu. Sementara manusia bekerja melampaui pemenuhan kebutuhan fisik-biologis, yakni karena alasan sosiologis, politis, etis, kultural juga psikologis untuk aktualisasi diri. Binatang juga ditakuti karena kekuatan fisiknya. Ular ditakuti karena bisanya, singa mematikan karena cakar dan taringnya, serta badak ditakuti karena culanya. Sementara manusia, disegani karena nalar dan nuraninya. Itu sebabnya, dalam politik manusia mengandalkan logika, etika, bahkan estetika.

Dalam politik, sisi animalitas pemimpin tampak dalam sifat rakus-tamak pada materi, cinta berlebihan pada uang dan tahta. Kekuasaan dalam arti ini direduksi semata sebagai alat pemimpin dan politisi untuk memuaskan naluri rendah hewaninya. Itu mengapa, Eduardus Lemanto dalam bukunya "Presiden, Manusia 1/2 Binatang" mengungkapkan pemimpin yang gagal menjinakkan naluri hewaninya pasti terjerembab dalam kubangan korupsi, kolusi, suap dan grativikasi seks. Pemimpin tipikal ini juga memiliki naluri predatoris, yakni gemar memangsa, mengorbankan pihak lain. 

Bagi pemimpin dengan insting hewani tinggi, politik dimaknai sekedar arena konflik untuk merebut benda, harta, tahta. Politik jadi cara adu strategi untuk berkuasa. Nilai politik merosot menjadi media manipulasi dan korupsi, mirip binantang buas yang berkelahi demi mendapatkan mangsa dan mengamankan hidup spesiesnya. Proses perebutannya juga dilakukan dengan cara kekerasan. Politik direndahkan menjadi arena perebutan kekuasaan sarat intrik antar-elite guna merebut kekuasaan, ketimbang sebagai seni menata kota atau seni menata hidup bersama secara beradab-etis, sebagaimana kata Aristoteles. Dalam arti ini, politik adalah aktivitas jahat nan menjijikkan yang menggiring negara ke jurang kehancuran.

Idealnya, semakin tinggi posisi atau jabatan politik seseorang, mestinya semakin rendah sisi animalitasnya. Pemimpin harus mampu meredam dorongan rendahan hewaninya, agar tidak membahayakan rakyat dan negara. Tepat kata Agus Salim, memimpin adalah menderita. Mother Teresa mengatakan, manusia yang baik adalah yang mampu menekan egonya hingga titik nol. Dengan kata lain, pemimpin adalah mereka yang berkorban untuk negara, bukan mengorbankan negara untuk kepentingannya. Pemimpin adalah juga mereka yang memberi untuk negara, bukan merampok untuk kepuasan dirinya. Pemimpin bekerja untuk memperkaya negara, bukan memiskinkannya.

"Binatang" Machiavelli

Berbeda dengan jalan pikiran di atas, Niccolo Machiavelli justru berpendapat tidak sepenuhnya sisi animalitas seorang pemimpin adalah buruk. Filsuf aliran realisme politik ini menegaskan, dalam situasi darurat, seorang pemimpin justru harus bertindak dengan cara-cara "tidak manusiawi". "Cara tidak manusiawi" yang dimaksudkannya adalah dengan "cara binatang". Agar tidak disalah-pahami, Machiavelli merinci penjelasannya bahwa "cara binatang" yang ia maksudkan bukan naluri predatoris yang mengorbankan pihak lain untuk kepentingan egoisme pribadi. 

"Cara-cara binatang" yang dimaksud Machiavelli adalah "sifat menakuti lawan" dan "kelihaian-kelicikan" untuk bisa lepas dari perangkap atau jerat. Machiavelli berpendapat, seorang pemimpin harus memiliki sifat ditakuti agar lawan politiknya tidak lebih kuat darinya. Seorang pemimpin juga harus memiliki kelihaian-kelicikan agar ia bisa lepas dari jerat-perangkap politik rivalnya. Politik adalah realitas sarat persaingan dan jebakan. Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami sifat binatang gambaran Machiavelli, yakni singa dan rubah. Singa adalah binatang buas yang memiliki kekuatan sehingga ditakuti lawannya, sementara rubah adalah binatang yang peka membaca dan lihai menghindar dari perangkap atau jebakan lawan

Jadi, naluri binatang ada yang bersifat positif, ada pula yang negatif, tergantung bagaimana pemimpin menerapkannya dalam politik. Kekuasaan adalah alat yang fungsinya sangat ditentukan oleh siapa yang memegangnya. Kekuasaan ibarat sebilah pisau. Di tangan dokter dan juru masak, ia akan berguna bagi pengguna dan sesama. Sebaliknya di tangan penjahat, pisau akan sangat berbahaya dan mematikan. Idealnya, kekuasaan adalah alat pemimpin untuk mewujudkan bonum communae dan menegakkan keadilan.

Terkait dengan hal ini, politik bukan hanya soal "how to get the power", tapi juga "how to use the power". Tentu penggunaan kekuasaan untuk kebaikan, sebab kekuasan adalah alat untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan bonum communae. Hari-hari ini publik tengah menanti bagaimana Presiden Joko Widodo (Jokowi) menggunakan "pisau kekuasaan" sebagai solusi bagi kisruh KPK VS Polri. Beranikah Presiden Jokowi bertindak ala "binatang" Machiavelli untuk menggilas politik "cara binatang" yang menghancurkan negara? Butuh keberanian untuk itu. Pemimpin tak cukup hanya baik, ia juga harus berani. Dan saat ini yang lebih dibutuhkan adalah keberanian Presiden Jokowi. Presiden Jokowi tentu paham betul kebijakan apa yang perlu dijalankannya. Yang pasti, hanya "cara-cara binatang" Machiavelian yang bisa menjinakkan naluri hewani politisi yang merusak negara.***

*Penulis, Direktur Eksekutif Deliberasi Institute, Dosen FISIP Universitas Nasional (Unas), Jakarta.
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Politik "Cara Binatang" Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi