O l e h : Y F Ansy Lema*
Aristoteles menyatakan,
manusia adalah binatang politik (political animal). Thomas Hobbes
bilang, manusia adalah serigala bagi manusia lainnya (Homo Homini
Lupus). Secara naluriah, manusia memiliki tendensi memangsa satu sama
lain. Kedua filsuf hendak menegaskan, dalam diri manusia terdapat
insting-sifat binatang. Pertanyaannya, adakah kaitan antara naluri
hewani dan politik? Lalu, apa implikasi plus-minus insting binantang
dalam diri politisi dan pemimpin bagi negara?
Jika politik
dipahami sebagai kerja, maka konsep kerja bagi hewan dan bagi manusia
telak berbeda. Binatang bekerja semata untuk memenuhi kebutuhan
fisik-biologis berupa makan, minum dan seks. Tak lebih dari itu.
Sementara manusia bekerja melampaui pemenuhan kebutuhan fisik-biologis,
yakni karena alasan sosiologis, politis, etis, kultural juga psikologis
untuk aktualisasi diri. Binatang juga ditakuti karena kekuatan fisiknya.
Ular ditakuti karena bisanya, singa mematikan karena cakar dan
taringnya, serta badak ditakuti karena culanya. Sementara manusia,
disegani karena nalar dan nuraninya. Itu sebabnya, dalam politik manusia
mengandalkan logika, etika, bahkan estetika.
Dalam politik, sisi
animalitas pemimpin tampak dalam sifat rakus-tamak pada materi, cinta
berlebihan pada uang dan tahta. Kekuasaan dalam arti ini direduksi
semata sebagai alat pemimpin dan politisi untuk memuaskan naluri rendah
hewaninya. Itu mengapa, Eduardus Lemanto dalam bukunya "Presiden,
Manusia 1/2 Binatang" mengungkapkan pemimpin yang gagal menjinakkan
naluri hewaninya pasti terjerembab dalam kubangan korupsi, kolusi, suap
dan grativikasi seks. Pemimpin tipikal ini juga memiliki naluri
predatoris, yakni gemar memangsa, mengorbankan pihak lain.
Bagi
pemimpin dengan insting hewani tinggi, politik dimaknai sekedar arena
konflik untuk merebut benda, harta, tahta. Politik jadi cara adu
strategi untuk berkuasa. Nilai politik merosot menjadi media manipulasi
dan korupsi, mirip binantang buas yang berkelahi demi mendapatkan mangsa
dan mengamankan hidup spesiesnya. Proses perebutannya juga dilakukan
dengan cara kekerasan. Politik direndahkan menjadi arena perebutan
kekuasaan sarat intrik antar-elite guna merebut kekuasaan, ketimbang
sebagai seni menata kota atau seni menata hidup bersama secara
beradab-etis, sebagaimana kata Aristoteles. Dalam arti ini, politik
adalah aktivitas jahat nan menjijikkan yang menggiring negara ke jurang
kehancuran.
Idealnya, semakin tinggi posisi atau jabatan politik
seseorang, mestinya semakin rendah sisi animalitasnya. Pemimpin harus
mampu meredam dorongan rendahan hewaninya, agar tidak membahayakan
rakyat dan negara. Tepat kata Agus Salim, memimpin adalah menderita.
Mother Teresa mengatakan, manusia yang baik adalah yang mampu menekan
egonya hingga titik nol. Dengan kata lain, pemimpin adalah mereka yang
berkorban untuk negara, bukan mengorbankan negara untuk kepentingannya.
Pemimpin adalah juga mereka yang memberi untuk negara, bukan merampok
untuk kepuasan dirinya. Pemimpin bekerja untuk memperkaya negara, bukan
memiskinkannya.
"Binatang" Machiavelli
Berbeda dengan
jalan pikiran di atas, Niccolo Machiavelli justru berpendapat tidak
sepenuhnya sisi animalitas seorang pemimpin adalah buruk. Filsuf aliran
realisme politik ini menegaskan, dalam situasi darurat, seorang pemimpin
justru harus bertindak dengan cara-cara "tidak manusiawi". "Cara tidak
manusiawi" yang dimaksudkannya adalah dengan "cara binatang". Agar tidak
disalah-pahami, Machiavelli merinci penjelasannya bahwa "cara binatang"
yang ia maksudkan bukan naluri predatoris yang mengorbankan pihak lain
untuk kepentingan egoisme pribadi.
"Cara-cara binatang" yang
dimaksud Machiavelli adalah "sifat menakuti lawan" dan
"kelihaian-kelicikan" untuk bisa lepas dari perangkap atau jerat.
Machiavelli berpendapat, seorang pemimpin harus memiliki sifat ditakuti
agar lawan politiknya tidak lebih kuat darinya. Seorang pemimpin juga
harus memiliki kelihaian-kelicikan agar ia bisa lepas dari
jerat-perangkap politik rivalnya. Politik adalah realitas sarat
persaingan dan jebakan. Untuk memahami hal ini, kita perlu memahami
sifat binatang gambaran Machiavelli, yakni singa dan rubah. Singa adalah
binatang buas yang memiliki kekuatan sehingga ditakuti lawannya,
sementara rubah adalah binatang yang peka membaca dan lihai menghindar
dari perangkap atau jebakan lawan
Jadi, naluri binatang ada
yang bersifat positif, ada pula yang negatif, tergantung bagaimana
pemimpin menerapkannya dalam politik. Kekuasaan adalah alat yang
fungsinya sangat ditentukan oleh siapa yang memegangnya. Kekuasaan
ibarat sebilah pisau. Di tangan dokter dan juru masak, ia akan berguna
bagi pengguna dan sesama. Sebaliknya di tangan penjahat, pisau akan
sangat berbahaya dan mematikan. Idealnya, kekuasaan adalah alat pemimpin
untuk mewujudkan bonum communae dan menegakkan keadilan.
Terkait
dengan hal ini, politik bukan hanya soal "how to get the power", tapi
juga "how to use the power". Tentu penggunaan kekuasaan untuk kebaikan,
sebab kekuasan adalah alat untuk menegakkan keadilan dan mewujudkan
bonum communae. Hari-hari ini publik tengah menanti bagaimana Presiden
Joko Widodo (Jokowi) menggunakan "pisau kekuasaan" sebagai solusi bagi
kisruh KPK VS Polri. Beranikah Presiden Jokowi bertindak ala "binatang"
Machiavelli untuk menggilas politik "cara binatang" yang menghancurkan
negara? Butuh keberanian untuk itu. Pemimpin tak cukup hanya baik, ia
juga harus berani. Dan saat ini yang lebih dibutuhkan adalah keberanian
Presiden Jokowi. Presiden Jokowi tentu paham betul kebijakan apa yang
perlu dijalankannya. Yang pasti, hanya "cara-cara binatang" Machiavelian
yang bisa menjinakkan naluri hewani politisi yang merusak negara.***
*Penulis, Direktur Eksekutif Deliberasi Institute, Dosen FISIP Universitas Nasional (Unas), Jakarta.