MB.com, OPINI - Indonesia berdiri sebagai nasion karena ide-ide yang tumbuh di zaman aufklärung yang menghargai kebebasan berpikir dan menyatakan pendapat. Tapi kini semua berada dalam ancaman.
Dr Max Lane adalah
Indonesianis asal Australia. Ia penerjemah karya-karya sastrawan
Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris. Mengajar di beberapa
universitas di Melbourne, Australia. Ia penulis buku Unfinished Nation: Indonesia before and after Suharto (Verso, 2008). Kini tinggal di Melbourne dan seringkali di Tebet, Jakarta
Sebagai negeri majemuk, yang terdiri
dari berbagai suku bangsa, bahasa dan agama, keberagaman menjadi
keniscayaan di Indonesia. Namun demikian masih banyak persolan yang
melilit bangsa ini, terutama dalam hal kebebasan beragama. Beberapa
pekan lalu lebih dari seribu orang berdemonstrasi di depan Istana
Merdeka, menuntut kebebasan beragama sekaligus menanggapi serangkaian
peristiwa pelanggaran hak kebebasan beragama selama tahun 2010, termasuk
pembubaran jemaat Kristen yang sedang menjalankan ibadah dan serangan
terhadap jamaah Ahmadiyah. Pelanggaran-pelanggaran itu dilakukan oleh
kelompok-kelompok yang mengatasnamakan pembela agama Islam.
Pertanyaannya: kenapa reaksi masyarakat, termasuk lembaga-lembaga
kekuasaan lemah jika dibanding dengan kelompok yang begitu kecil dan
tidak berpengaruh tersebut?
Untuk menjawab masalah itu, kita harus
melihat Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28E ayat pertama yang berbunyi,
“Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan
meninggalkannya, serta berhak kembali.” Namun pelaksanaan masih jauh
panggang dari api. Kalu kita tengok ke belakang, kecenderungan itu
menguat berkali lipat sesudah tahun 1965 dengan kemenangan salah satu
kubu ideologis di Indonesia, kubu pro-kapitalisme anti-sosialis,
pro-otoriterisme dan anti-kemerdekaan. Kekuasaan kediktatoran Orde Baru
yang berkuasa selama 32 tahun itu bersandar pada kekuatan senjata untuk
mempertahankannya.
Selama periode Orde Baru
kebijakan-kebijakan untuk mengkontrol pikiran orang semakin banyak.
Sekolah tidak lagi dipakai untuk mendidik anak supaya kritis terhadap
situasi di sekelilingnya. Cara berpikir kritis yang menjadi andalan
semua pendiri bangsa - baik aliran Soekarno, maupun aliran Sjahrir
maupun Hatta - dibuang ke tong sampah dan diganti dengan cara berpikir
menghafal, mengiyakan dan menerima. Ini menegasi sepenuhnya hasil-hasil
zaman pencerahan (Enlightenment atau Aufklarung) yang merubah wajah umat manusa di atas muka bumi.
Aufklärung memang sesuatu yang berkembang di Eropa pada abad 18. Mungkin ada sebagian pendapat yang menyatakan ide aufklärung
tidak relevan di Indonesia yang "mempunyai tradisi dan budaya sendiri".
Tapi pendapat itu salah. Karena salah satu sebab Indonesia bisa berdiri
sebagai sebuah nasion baru juga dipengaruhi ide-ide aufklarung. Seluruh
pendiri bangsa menganut ide-ide ini dengan pemahamannya
sendiri-sendiri. Sebenarnya gerakan-gerakan anti-kolonial di seluruh
dunia pun merupakan salah satu perjuangan meneruskan nilai-nilai aufklärung.
Salah satu definisi aufklärung
seperti didedahkan oleh filsuf Immanuel Kant, ".... adalah kemunculan
manusia dari ketidakdewasaan dirinya sendiri. Kant berpendapat bahwa
ketidakmatangan terjadi bukan karena kurangnya pemahaman, namun akibat
kurangnya keberanian untuk menggunakan salah satu gagasan, kecerdasan,
dan kebijaksanaan tanpa bimbingan orang lain. Dengan kata lain seorang
manusia takut untuk berpikir bagi dirinya sendiri. Oleh karena itu Kant
berseru bahwa moto pencerahan adalah "Sapere Aude!". Beranilah
menggunakan pengertian dan pengetahuan kamu sendiri! Itulah essensi dari
pencerahan.
Pada zaman kolonial rakyat Indonesia
yang suka disebut "pribumi" oleh kekuasaan kolonial berpikir kalau
dirinya harus terus-menerus mendapatkan bimbingan dari penguasa. Hal
itulah yang ditolak oleh kaum intelektual pemberontak awal abad 20.
Seiring tersebarnya kesadaran tersebut, jutaan rakyat jelata pun menolak
berada di bawah ketiak kekuasaan meneer-meneer penjajah. Dalam
proses itu, kaum intelektual, baik mereka yang lulusan sekolah-sekolah
formal ataupun matang di dalam organisasi pergerakan – menyerap dan
mempelajari ide-ide pencerahan secara umum.
Pembacaan terhadap karya-karya produk zaman aufklärung
di Eropa menumbuhkan pengertian kritis terhadap dunia. Akumulasi ilmu
pengetahuan menjadi pisau analisa sekaligus senjata utama untuk
memperjuangkan kemerdekaan negeri. Itu juga yang dilakukan oleh Sukarno
di dalam memimpin gerakan pembebasan nasional di Indonesia. Sebagai
pemikir paling berpengaruh, dia sering memperkenalkan ide-ide Rousseau
dan Thomas Jefferson, dua pemikir besar zaman pencerahan, kepada rakyat
Indonesia.
Tetapi dengan pembasmian cara berpikir kritis sesudah tahun 1965, hilanglah juga sebuah cara berpikir memandang dunia (weltanschaung).
Padahal itulah yang sebenarnya jadi senjata ampuh dalam perjuangan
mendirikan Indonesia. Tanpa kebebasan untuk berpikir tentang semesta
alamnya sendiri, rakyat digiring kepada bentuk gagasan produk pemikiran
represif ciri khas rezim otoritarian: Tunduklah pada yang lebih tahu,
yakni penguasa dan mereka yang mengaku sebagai ahli di bidang moralitas.
Selama cara berpikir kritis yang
dihidupkan oleh Kartini, Tirto Adhi Soerjo, Sukarno, Sjahrir, Hatta, Tan
Malaka dan semua aktivis pembebasan nasional sebelum dan sesudah 1945
tidak dibangkitkan kembali, maka para manusia sok “pembimbing” akan
selalu menguasai negeri ini. Membuat zaman kembali terkungkung dalam
kegelapannya dan jauh dari ide-ide pencerahan yang dibawa oleh para
aktivis itu. Jadi, beranilah berpikir dengan menggunakan pemikiranmu
sendiri! Dan beranilah mengungkapkannya untuk kebaikan kita semua.
Berjuanglah terus untuk merebut kembali zaman pencerahan yang telah
Sukarno cs. bawa ke negeri ini.