MB.com, OPINI - Negara
pertama yang menerapkan konsep hak pilih universal adalah Perancis pada
1792. Sesuai terminologinya, hak pilih dimaknai sebagai hak pilih
universal, artinya semua warga negara boleh memilih dalam Pemilihan Umum
(Pemilu). Konsep hak pilih universal, awalnya merujuk pada hak pilih
seluruh penduduk tanpa memandang harta kekayaan.
Hak pilih
universal memiliki dua komponen penting. Yaitu hak untuk memilih,
artinya hak untuk memilih dan hak untuk tidak memilih; serta kesempatan
untuk memilih, yaitu tidak ada pemaksaan bagi setiap warga negara untuk
memilih. Tetapi, negara wajib memfasilitasi, memberikan pengetahuan,
atau menyediakan layanan dan fasilitas tempat dan waktu, agar warga
negara berkesempatan untuk dapat menggunakan hak pilihnya dalam Pemilu.
Dalam hukum
Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, jaminan partisipasi warga negara
dalam menggunakan hak pilih secara universal dan sederajat tanpa adanya
diskriminasi, juga diatur di dalam berbagai peraturan hukum
internasional. Karena hak pilih juga merupakan ukuran derajat politik
setiap orang sebagi warga negara.
Hal ini
antara lain disebutkan dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM), Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi
melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, dan Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial yang juga sudah
diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999.
Prinsip HAM
universal adalah menjamin pemenuhan hak sipil politik. Bahkan, pasal 21
DUHAM menyatakan, negara pihak yang harus menjamin hak berpartisipasi
dalam pemerintahan dan Pemilu serta hak atas pelayanan umum.
Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pasal 71 menyatakan,
”Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi,
menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam
Undang-Undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum
internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara
Republik Indonesia”.
Sebagai pemegang kewajiban pemenuhan HAM, negara mengemban tiga bentuk tugas. Yaitu negara harus menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to fullfil)
HAM. Oleh karena itu, dalam konteks menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak pilih warga negara, pemerintah tidak boleh mengintervensi
hak pilih warga, karena campur tangan negara justru merupakan
pelanggaran atas hak pilih.
Hak memberikan suara atau memilih (right to vote) merupakan hak dasar (basic right)
setiap individu/warga negara yang harus dijamin pemenuhannya oleh
negara/pemerintah sebagaimana tertuang dalam konstitusi dan aturan
perundang-undangan.
Hak sipil dan politik warga negara dalam Pemilu adalah salah satu pilar utama dalam tatanan negara demokratis berbasis HAM (human-rights based democracy).
UUD 1945 (Amandemen ke-4) dengan tegas menjamin pemenuhan hak
konstitusional warga negara, baik sebagai pemilih maupun sebagai
kandidat yang dipilih dalam suatu rangkaian proses penyelenggaraan
Pemilu yang jurdil.
Negara
dengan segenap aparatnya ditugaskan, bukan hanya untuk menyelenggarakan
Pemilu secara berkala, tetapi juga, malah yang terpenting, mengupayakan
pemenuhan hak konstitusional warga negara sebaik dan semaksimal mungkin.
Untuk itu
Pemilu, Pilpres, dan Pilkada merupakan wahana bagi warga negara untuk
menggunakan hak politiknya untuk memilih orang yang dianggapnya layak
sebagai pemimpin.
Sebagai hak
fundamental, maka hak pilih itu adalah hak yang melekat pada setiap
orang. Tetapi negara, dalam hal ini pemerintah, diberikan kewenangan
untuk mengatur bahkan membatasi.
Negara
memberikan batasan bagi warga negara, yang berhak untuk memilih, yaitu
sudah dewasa atau berumur di atas 17 tahun terhitung saat pemungutan
suara dilaksanakan. Dan, atau mereka yang sudah menikah, sebagaimana
yang diatur pada aturan perundang-undangan. Sebaliknya, hak pilih ini
juga dapat dicabut melalui putusan pengadilan kepada mereka yang
dihukum, karena telah melakukan kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime). Bahkan atas dasar kebijakan negara, TNI/POLRI tidak diberikan hak pilih.
Itulah
letak keistimewaan hak pilih dibanding hak-hak yang lain. Hak pilih juga
tidak dapat di wakilkan. Dengan demikian, pemenuhan hak pilih warga
negara, di mana negara diwajibkan melakukan tindakan proaktif dengan
mengajak dan mendatangi warga untuk memilih. Di lain pihak, negara
dilarang keras melakukan intervensi terhadap independensi setiap orang
untuk memilih.
Hak pilih
tidak sekedar memilih secara partisipatif. Hak pilih juga berkaitan
dengan kesadaran akliah dan kesadaran batiniah, di mana kesadaran itu
tidak mudah untuk diwakilkan. Dalam bahasa yang lebih ekstrem, yaitu hak
setiap orang untuk menentukan masa depannya.
Mengembalikan
hak pilih warga ke DPRD pada Pilkada adalah bentuk dari simbol
otoritarianisme politik, karena bertentangan dengan semangat demokrasi
substantif dan penegakan HAM. Pengembalian hak pilih warga ke DPRD juga
merupakan bentuk marjinalisasi dan diskriminasi masal terhadap warga
negara. Ini adalah pembajakan terhadap hak warga negara.
(M Ridha Saleh, Aktivis HAM dan Lingkungan Hidup, Mediator Profesional)