Logo

Logo
Latest News
Wednesday, September 17, 2014

Demokrasi Padat Merayap

MB.com, OPINI - Reportase lalu-lintas menyumbang frase kepada bahasa Indonesia. Kalau kita susun berdasarkan tingkat keruwetan hidup yang mau digambarkannya, frase-frase itu antara lain “ramai lancar”, “padat merayap”, dan “macet total”.

Kategori “ramai lancar” terbilang menggembirakan meski anda hanya dapat melaju dengan kecepatan rata-rata di bawah enam puluh kilometer per jam. “Padat merayap” — istilah yang paling ajaib di antara deretan jargon itu — berarti tersendat-sendat tapi anda dapat meyakinkan diri sendiri bahwa anda masih dapat bergerak maju. Adapun “macet total” bisa mendorong anda ke dalam dua kecenderungan: ingin terbang seperti Dora Emon atau ingin bunuh diri.

Buat memastikan dalam situasi mana anda terjebak, lihatlah berapa banyak pedagang asongan di sepanjang jalan. Kian macet lalu-lintas, biasanya kian banyak wirausaha jalanan yang dengan semangat berani mati menjajakan minuman dan makanan ringan ke dekat kendaraan yang anda tumpangi.

Suasana khas Indonesia itulah yang diolah secara satiris oleh penyair Godi Suwarna dalam “Sajak Si Ujang Jalan-jalan”. Ia gambarkan sebuah ambulans berisi jenazah yang terjebak dalam suasana macet total. Jenazah tertahan di tengah jalan, para pedagang asongan ramai menjajakan minuman, makanan, koran, bendera, dan sebagainya. Itulah mati yang hiruk-pikuk. “Héh, naha atuh maké maot dinten Minggu? (Hei, kenapa mati di hari Minggu?),” ujar sebuah suara dalam sajak itu.

Lain lagi di tangan John Sidel, pakar ilmu politik. Ia memakai ungkapan “macet total” sebagai metafora buat menggambarkan perubahan politik, termasuk sirkulasi elite-nya, di akhir zaman Suharto. Elite politik sukar bergerak, transisi kepemimpinan tak berjalan, dan sang jenderal besar mengawasi segalanya seperti patung polisi di tepi jalan.

Reformasi timbul. Orang kuat tenggelam. Udara baru masuk ke rumah Indonesia tapi tak sepenuhnya menyingkirkan sisa-sisa rezim lama. Tahanan politik kemarin jadi staf ahli presiden hari ini, tapi juga benteng presiden kemarin jadi ketua partai hari ini. Jargon “potong satu generasi” tidak terbukti, mungkin karena yang disebut “generasi” tidak seperti kambing di Warung Sate Pak Karjan.

“Dalam tatapan para polisi yang cemas tapi tetap awas, lalu-lintas mengalir lagi di jalan-jalan tapi masih akan ada bentuk-bentuk kemacetan baru di kemudian hari,” tulis Dr. Sidel dalam “Macet Total: Logics of Circulation and Accumulation in the Demise of Indonesia's New Order” dalam jurnal Indonesia Vol. 66 (Oktober, 1998), hal. 159-195.

Sejak otokrasi Suharto runtuh, lalu-lintas elite politik tampak mengalir lagi, meski  padat merayap. Bahkan kian hari kian terlihat arusnya cenderung jadi ramai lancar. Kian banyak pihak bergerak di jalan seraya memperdengarkan suara knalpot masing-masing. Sebagian kalangan malah ugal-ugalan, serempet kanan, serempet kiri, dengan risiko gegar otak setelah tabrakan atau tersungkur jumpalitan. Yang norak juga ada, terhalang sedikit langsung pijit bel, alon-alon asal klakson.  

Figur seperti Jokowi, saya kira, muncul bukan dari lalu-lintas macet total. Figur seperti itu tampil ke muka bukan dengan cara tabrak lari atau menyogok polisi. Ia tak terlihat punya hubungan dengan penguasa jalan periode sebelumnya, bahkan tak dapat disebut sebagai bagian dari pemakai jalan utama. Ia sejenis fenomena baru dalam budaya politik di Indonesia.   

Tampilnya figur-figur seperti itu bisa menggugah harapan tersendiri. Untuk bergerak maju di jalan raya, orang tidak harus melanggengkan struktur kebencian: pengendara mobil membenci pengendara motor, pengendara motor membenci pengendara sepeda, dan seterusnya. Untuk bergerak maju, orang harus mengembangkan kemampuan dan kesanggupan bernegosiasi dengan sesama pemakai jalan.

Setidaknya, itulah yang terlintas di benak saya setiap kali saya mengayuh sepeda ke tempat kerja di jalan raya kota kami yang kian ramai dan bising. Sering terasa, seakan setiap orang, baik pengemudi mobil maupun pengendara motor, ingin membunuh saya. Padahal saya harus bergerak maju seraya mempertahankan keseimbangan kayuhan antara kiri dan kanan. Kalau tidak, niscaya saya terjatuh. Dengan kendaraan bersahaja itu, saya belajar menegosiasikan ruang yang terbatas dengan ratusan bahkan ribuan pengemudi kendaraan lain.

Hari ini, di zaman Jokowi, saya ikut berharap bahwa lalu-lintas yang padat merayap dapat berubah menjadi lalu-lintas yang ramai lancar. Bukankah demokrasi juga meliputi kerja memperlancar keramaian orang banyak yang terus bergerak?
  • Facebook Comments
Item Reviewed: Demokrasi Padat Merayap Rating: 5 Reviewed By: Infiltrasi