MB.com, OPINI - Reportase
lalu-lintas menyumbang frase kepada bahasa Indonesia. Kalau kita susun
berdasarkan tingkat keruwetan hidup yang mau digambarkannya, frase-frase
itu antara lain “ramai lancar”, “padat merayap”, dan “macet total”.
Kategori
“ramai lancar” terbilang menggembirakan meski anda hanya dapat melaju
dengan kecepatan rata-rata di bawah enam puluh kilometer per jam. “Padat
merayap” — istilah yang paling ajaib di antara deretan jargon itu —
berarti tersendat-sendat tapi anda dapat meyakinkan diri sendiri bahwa
anda masih dapat bergerak maju. Adapun “macet total” bisa mendorong anda
ke dalam dua kecenderungan: ingin terbang seperti Dora Emon atau ingin
bunuh diri.
Buat
memastikan dalam situasi mana anda terjebak, lihatlah berapa banyak
pedagang asongan di sepanjang jalan. Kian macet lalu-lintas, biasanya
kian banyak wirausaha jalanan yang dengan semangat berani mati
menjajakan minuman dan makanan ringan ke dekat kendaraan yang anda
tumpangi.
Suasana
khas Indonesia itulah yang diolah secara satiris oleh penyair Godi
Suwarna dalam “Sajak Si Ujang Jalan-jalan”. Ia gambarkan sebuah ambulans
berisi jenazah yang terjebak dalam suasana macet total. Jenazah
tertahan di tengah jalan, para pedagang asongan ramai menjajakan
minuman, makanan, koran, bendera, dan sebagainya. Itulah mati yang
hiruk-pikuk. “Héh, naha atuh maké maot dinten Minggu? (Hei, kenapa mati di hari Minggu?),” ujar sebuah suara dalam sajak itu.
Lain lagi
di tangan John Sidel, pakar ilmu politik. Ia memakai ungkapan “macet
total” sebagai metafora buat menggambarkan perubahan politik, termasuk
sirkulasi elite-nya, di akhir zaman Suharto. Elite politik sukar
bergerak, transisi kepemimpinan tak berjalan, dan sang jenderal besar
mengawasi segalanya seperti patung polisi di tepi jalan.
Reformasi
timbul. Orang kuat tenggelam. Udara baru masuk ke rumah Indonesia tapi
tak sepenuhnya menyingkirkan sisa-sisa rezim lama. Tahanan politik
kemarin jadi staf ahli presiden hari ini, tapi juga benteng presiden
kemarin jadi ketua partai hari ini. Jargon “potong satu generasi” tidak
terbukti, mungkin karena yang disebut “generasi” tidak seperti kambing
di Warung Sate Pak Karjan.
“Dalam
tatapan para polisi yang cemas tapi tetap awas, lalu-lintas mengalir
lagi di jalan-jalan tapi masih akan ada bentuk-bentuk kemacetan baru di
kemudian hari,” tulis Dr. Sidel dalam “Macet Total: Logics of Circulation and Accumulation in the Demise of Indonesia's New Order” dalam jurnal Indonesia Vol. 66 (Oktober, 1998), hal. 159-195.
Sejak
otokrasi Suharto runtuh, lalu-lintas elite politik tampak mengalir lagi,
meski padat merayap. Bahkan kian hari kian terlihat arusnya cenderung
jadi ramai lancar. Kian banyak pihak bergerak di jalan seraya
memperdengarkan suara knalpot masing-masing. Sebagian kalangan malah
ugal-ugalan, serempet kanan, serempet kiri, dengan risiko gegar otak
setelah tabrakan atau tersungkur jumpalitan. Yang norak juga ada, terhalang sedikit langsung pijit bel, alon-alon asal klakson.
Figur
seperti Jokowi, saya kira, muncul bukan dari lalu-lintas macet total.
Figur seperti itu tampil ke muka bukan dengan cara tabrak lari atau
menyogok polisi. Ia tak terlihat punya hubungan dengan penguasa jalan
periode sebelumnya, bahkan tak dapat disebut sebagai bagian dari pemakai
jalan utama. Ia sejenis fenomena baru dalam budaya politik di
Indonesia.
Tampilnya
figur-figur seperti itu bisa menggugah harapan tersendiri. Untuk
bergerak maju di jalan raya, orang tidak harus melanggengkan struktur
kebencian: pengendara mobil membenci pengendara motor, pengendara motor
membenci pengendara sepeda, dan seterusnya. Untuk bergerak maju, orang
harus mengembangkan kemampuan dan kesanggupan bernegosiasi dengan sesama
pemakai jalan.
Setidaknya,
itulah yang terlintas di benak saya setiap kali saya mengayuh sepeda ke
tempat kerja di jalan raya kota kami yang kian ramai dan bising. Sering
terasa, seakan setiap orang, baik pengemudi mobil maupun pengendara
motor, ingin membunuh saya. Padahal saya harus bergerak maju seraya
mempertahankan keseimbangan kayuhan antara kiri dan kanan. Kalau tidak,
niscaya saya terjatuh. Dengan kendaraan bersahaja itu, saya belajar
menegosiasikan ruang yang terbatas dengan ratusan bahkan ribuan
pengemudi kendaraan lain.
Hari ini,
di zaman Jokowi, saya ikut berharap bahwa lalu-lintas yang padat merayap
dapat berubah menjadi lalu-lintas yang ramai lancar. Bukankah demokrasi
juga meliputi kerja memperlancar keramaian orang banyak yang terus
bergerak?